Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 - Menjelajah Kastil
Setelah berpikir beberapa kemungkinan dan berulang kali diyakinkan oleh Tora, akhirnya Naina memutuskan untuk ikut. Hanya berharap pikirannya yang semrawut bisa teralihkan setelah melihat-lihat keadaan kastil.
Burung gagak itu hinggap di bahu Naina, memberi arahan melalui mulut. Kaki tanpa alasnya menginjak dedaunan kering di sepanjang lorong yang di sisi kanan dan kirinya berjajar beberapa ruangan kosong, sebagian ruangannya tak memiliki pintu.
“Sejak pertama kali menginjakkan kaki ke kastil ini, aku langsung bertanya-tanya. Kenapa kastil semegah ini tak pernah dibersihkan? Sayang sekali, bangunannya terlihat terbengkalai, padahal masih dihuni,” tanya Naina sembari mengedarkan pandangan, mengamati atap-atap kastil yang sebagian berlubang, cahaya dari luar masuk dari celah tersebut.
Tora tidak langsung menjawab, paruhnya terbuka menggelak tawa. Membuat Naina menoleh dan menatapnya penuh kebingungan.
“Bagaimana, ya...” Sayapnya mengusap-usap kepala, kedua matanya bergulir cepat tampak bingung harus menjawab seperti apa.
“Mungkin ini citra yang dibuat Tuan Minos?” Tora tidak yakin dengan jawabannya, karena dirinya pun tidak tahu soal ini.
“Tapi yang paling masuk akal adalah karena aku ataupun Tuan Minos tidak mungkin bisa membersihkan kastil ini. Banyak waktu terlewati, dan waktu yang tersedia kala itu bukan untuk memikirkan kastil ini tetap bersih dan terawat. Bahkan sampai sekarang, rasanya Tuan Minos tidak berpikir demikian.”
Naina manggut-manggut, mencoba memahami penjelasan yang selalu terselip maksud tertentu. Kembali fokus melihat-lihat ke sekeliling, berdiri sebentar pada tembok pembatas, halaman kastil terpampang jelas dari atas sini.
Tangannya terulur keluar, menampung rintik hujan yang turun. Gerimis-gerimis kecil masih berupa butiran yang tak membasahkan, tapi suasana dinginnya mulai menyergap.
“Lalu...” Mendadak Naina teringat sesuatu. “Sebenarnya siapa Tuan Minos? Tiga hari lalu dia datang ke kamarku, dan tiba-tiba saja melakukan sesuatu sampai luka-luka di tubuhku hilang. Entah bagaimana caranya, tapi apakah itu termasuk sihir?”
Tora diam sejenak. Mencari kalimat yang pas untuk menjelaskan. “Bisa dikatakan begitu. Dan kau masih tidak tahukan bahwa di dunia ini bersisian dengan aliran sihir?” Pertanyaan yang dilontarkan barusan sengaja untuk membuat perhatian gadis itu teralihkan.
Naina mengangguk. “Benar. Dari semua buku yang kubaca, sihir dikatakan mitos dan itu hanya karangan anak-anak. Dunia ini realistis tidak ada hal semacam itu. Dan semua di dunia ini memiliki penjelasan, tidak bisa disangkut pautkan dengan energi sihir yang berasal dari antah berantah. Tapi...”
Naina menanggahkan kepalanya, mengamati awan kelabu yang memenuhi langit. Menggumpal, bersatu padu menurunkan bulir-bulir bening yang berlomba mencumbu tanah.
“Setelah melihat semua yang terjadi di kastil ini, semua pernyataan dalam buku yang sudah kubaca, aku jadi bingung sendiri. Jika memang sihir itu tidak nyata, lalu yang dilakukan dan dimiliki oleh Tuan Minos itu apa?” imbuhnya mengutarakan pikiran yang mengganjal.
“Seharusnya kau lebih mempercayai apa yang terlihat oleh mata kepalamu sendiri dibanding dengan sekumpulan barisan kata yang kau temukan di buku kuno. Entah pengaruh dari buku yang kau baca, atau mungkin karena memang kau tidak pernah melihat dunia luar. Atau bahkan keduanya,” balas Tora, perlahan ia mengepak untuk beranjak dari bahu Naina.
“Sekarang, ayo ikuti aku!” Tora sudah terbang, mengajak Naina menuruni tangga, sebab apa yang akan ditunjukkannya ada di lantai satu.
Gagak itu membawa Naina ke sebuah ruangan. Tepat di samping tangga, ruangan dengan pintu model kupu-kupu menjulang setinggi empat meter. Pintu tersebut terbuka sendiri, seperti ada sensor jika ada seseorang yang berusaha untuk masuk.
Sebelum membuntuti Tora yang sudah lebih dulu masuk ke ruangan tersebut, Naina memicingkan matanya pada patung kelelawar yang mengisi pojok-pojok ruangan utama. Karena mendapatkan penerangan dari celah-celah atap yang berlubang, ruangan utama ini tidak terlalu remang.
Dan mata-mata merah yang mengawasi sejak hari kedatangannya untuk pertama kali ke sini, ternyata dari patung kelelawar di sana. Tapi yang menjadi pertanyaannya, memangnya patung bisa bergerak dan mengedipkan mata?
Tora yang menyadari Naina tak kunjung masuk langsung bertanya, “Kau sedang melihat apa?”
Naina terhenyak, langsung mengerjapkan mata, buru-buru berlarian untuk menyusul ke dalam. Sesampainya di sana, kakinya reflek terhenti dengan mulut yang terbuka lebar, sorot matanya menguarkan tatapan penuh kekaguman.
“Pe-penuh dan banyak sekali!” Naina belum mengedipkan mata sekalipun, matanya sibuk berkeliling mengamati jajaran buku yang tersusun rapih di dalam rak-rak yang menutupi seluruh permukaan dinding.
Menyisakan ruang tengah yang luas dan ditempati oleh meja panjang. Itu berarti sudah dua meja panjang yang Naina temui di kastil ini. Meja panjang yang setiap sisinya dipasangi lilin, sinarnya kalah saing dengan cahaya yang menembus kaca besar— menjadi atap dari ruangan ini.
“Ini adalah perpustakaan, Naina. Bagaimana menurutmu? Bukankah ruangan ini menakjubkan?” Tora terbang mengelilingi setiap rak, diikuti oleh sorot mata gadis itu.
Naina langsung mengangguk antusias, tapi kemudian gurat kebingungan tercetak jelas di wajahnya. “Tapi, apa itu perpustakaan?”
“Perpustakaan adalah tempat penampungan buku-buku. Umumnya segala buku yang mencakup aspek di kehidupan ini pasti tersedia. Tapi perpustakaan khusus di sini, hanya membahas tentang sejarah dan ilmu-ilmu sihir yang bisa kau baca untuk menambah pengetahuanmu tentang apa yang tidak kau pahami,” jelas Tora kemudian.
“Apa aku boleh setiap saat mendatangi tempat ini?” Pancaran matanya berbinar-binar.
Gadis itu amat suka dengan buku-buku. Tidak ada kegiatan lain paling menyenangkan yang pernah dia lakukan selain duduk sepanjang hari dengan buku di tangannya.
Belum sempat Tora menjawab pertanyaan tersebut, sebuah suara lain datang menyahut. Masuk ke dalam obrolan tanpa aba-aba, membuat atensi keduanya langsung beralih pada bingkai pintu.
“Tu-tuan?!” Naina melotot terkejut, tapi sedetik kemudian kepalanya langsung tertunduk.
Meski baru tiga hari, tapi rasanya sudah lama sekali tidak bersitatap dengan pria itu. Kecanggungan menggerayangi, tak sanggup jika berlama-lama beradu pandang dengannya.
“Ini adalah perpustakaan pribadiku. Memang aku mengizinkanmu datang ke sini, tapi tidak untuk setiap saat. Memangnya hanya itu tugasmu selama tinggal di sini? Ingat, setiap seminggu sekali kau harus pergi ke bukit untuk mengambil mawar biru. Lalu membuatkanku makanan enak, membersihkan rumah. Seperti apa katamu, kau bisa berguna untuk melakukan hal-hal seperti itu. Maka lakukanlah semua itu dengan baik,” cerocos Tuan Minos tanpa jeda.
Naina mengangguk paham, kepalanya masih tertunduk. “Baik, Tuan. Aku akan melakukan semuanya dengan baik.”
Tubuh jangkung setinggi dua meter tersebut sudah berbalik, hendak beranjak pergi. “Kalau begitu siapkan makan malam sekarang. Sebelum matahari terbenam, aku ingin hidangan yang kau masak sudah tertata rapih di meja ruangan utama.”
Lagi, Naina mengangguk. “Baik, Tuan.”
“... Rasa masakanmu menentukan apakah kau layak untuk tetap tinggal di sini atau tidak. Mengingat, kau yang akan mendampingiku hingga umurku habis nantinya. Jadi aku harus memastikan, istriku yang sekarang bisa memasak dengan baik atau tidak,” tambah Tuan Minos, kaki panjangnya sudah melaju pergi tapi kengeriannya masih bersarang dalam ruangan ini.
Naina meneguk ludah. Setelah tiga hari hidup dengan penuh kesepian dan rasa bosan, sekarang jantungnya kembali berpacu kencang, otaknya jungkir balik dibuat berpikir berkali-kali lipat. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa selamat malam ini.
***