“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan Belas
Sore hari Arini baru selesai mengurus semuanya, ia benar-benar lelah, meski semuanya sudah ditangani dengan baik oleh orang suruhan Raka, dari pihak kepolisian, rumah sakit, sampai pengacara pun orang suruhan Raka semua, akan tetapi tetap saja penat dan lelah menghampiri tubuh Arini, apalagi dia kondisinya sedang tidak baik-baik saja, tubuhnya masih merasakan sakit karena perbuatan Heru semalam. Itu semua karena Arini sebagai pelapor, dan yang bersangkutan secara langsung.
Arini sudah sampai rumahnya, baru saja sampai rumah, belum turun dari mobil yang ia tumpangi, dia sudah dikejutkan oleh seseorang di depan rumahnya. Entah siapa perempuan dengan pakaian rapi di depan rumah Arini.
“Itu orang suruhan Pak Raka, Bu. Jangan kaget, itu orang dari restoran yang Pak Raka suruh untuk mengantarkan makanan spesial untuk ibu, supaya ibu gak masak, atau cari makan untuk makan malam,” ucap seseorang yang ada di dalam mobil.
“Ya ampun ada-ada saja Raka? Aku masih bisa masak sendiri malah begitu,” cebik Arini.
“Kalau laki-laki sudah cinta banget sama perempuan, apa saja pasti dilakukan, Bu. Pak Raka belum pernah melakukan hal seperti ini, setelah mendiang istrinya meninggal,” ucapnya.
Arini mengagguk, mengerti apa yang orang itu katakan. Tidak percaya saja Raka sampai sebegitunya membantu dirinya. Semua Raka yang bertanggug jawab atas apa yang menimpa dirinya sekarang.
“Ya sudah, Pak, saya turun, terima kasih untuk bantuannya hari ini,” ucap Arini.
“Ya, Bu, sama-sama, jika ibu butuh apa-apa, kontak nomor yang tadi saya berikan, atau dengan Pak Raka langsung, akan tetapi ada baiknya Pak Raka tidak terlalu dekat dulu dengan ibu sekarang, supaya sidang perceraian ibu selesai dengan Pak Heru. Anggap saja Pak Raka tak pernah turun tangan dengan masalah ini, ibu sudah mengantongi banyak bukti untuk memenangkan sidang perceraian ibu dengan Pak Heru,” terangnya.
“Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih,” ucap Arini.
Arini turun dari dalam mobil, dia langsung disapa oleh perempuan yang sudah menunggunya, perempuan itu pelayan restoran yang Raka suruh untuk mengantarkan makanan untuk Arini.
“Silakan masuk, Mbak,” ucap Arini sopan dengan mempersilakan perempuan itu masuk.
“Saya Indah, Mbak, saya ke sini disuruh Pak Raka. Ini ada titipan dari Pak Raka, nanti restoran kami akan mengirimkan makanan untuk ibu setiap pagi, siang, dan malam, begitu yang Pak Raka perintahkan pada saya,” ucap perempuan yang bernama Indah itu.
“Terima kasih, Mbak. Tapi gak harus begini, Mbak, saya bisa masak sendiri, saya sudah tidak apa-apa,” ucap Arini.
“Saya tidak bisa menolak perintah Pak Raka dan bos saya, Bu,” ucapnya.
“Baiklah kalau begitu,” ucap Arini pasrah.
“Saya tata makanan ini di mana, Bu?”
“Biar saya saja yang menata nanti, Mbak.”
“Baik, kalau begitu saya permisi ya, Bu?” ucapnya.
Arini mengangguk, ia tidak mengerti kenapa Raka sampai sebegitunya. Iya Arini percaya Raka mencintainya, tapi tidak segila ini.
“Dari dulu ke mana, Ka? Aku sangat menginginkan kamu, aku sangat mencintaimu, tapi kamu malah memilih Asti, iya sih dia cantik sekali, seksi, pintar, lebih segalanya dari aku. Jelas kamu pilih Asti dibandingkan aku. Sekarang, saat aku sudah mencintai Heru, sangat mencintainya meski dia menyakitiku, kamu datang dengan seribu kebaikan. Apa aku bisa membalas cintamu yang sebesar ini, Ka? Sedang hatiku masih ada rasa untuk Heru?” batin Arini.
Arini membawa rantang susun dengan ukuran cukup besar yang berisi makanan dari restoran, lalu ia menatanya di meja makan. Makanan itu cukup banyak, seperti untuk tiga sampai empat porsi. Padahal Arini di rumah sendirian, nasi kotak saja bagi Arini sudah cukup.
Baru saja Arini akan masuk kamar selesai menata makanan, ponsel di dalam tasnya berdering. Arini tahu pasti itu Raka, karena tidak mungkin itu Heru. Heru dari tadi pagi pun tak menghubungi Arini barang sekali saja. Namun ternyata salah, bukan Raka yang menghubunginya. Lebih tepatnya Ayah Arini yang menghubunginya. Arini menerima telefon dari ayahnya, meski dia kebingungan kalau ditanya kenapa lama tidak mengunjungi ayahnya, karena biasanya Arini mengunjungi ayahnya bersama Heru hampir seminggu atau dua minggu sekali, ini sudah hampir dua bulan Arini tak ke sana.
“Hallo, Ayah ....”
“Arini putriku ... kenapa kamu belum jengukin ayah di sini? Ini sudah mau dua bulan lho, Nak? Mentang-mentang sudah terkenal sekarang, jadi begitu, ya?”
“Ih ayah! Kok gitu bilangnya? Arini itu memang lagi sedikit sibuk, Yah. Nanti pasti Arini ke rumah Ayah,”
“Iya, Ayah tunggu kamu dan Heru datang ke sini.”
“Ayah sehat? Ayah lagi apa?”
“Ayah sehat sekali, ini baru saja dari kebun, oh iya, Rin, tadi Raka ke sini sama Putranya, biasa dari rumah mama dan papanya, dia pasti mampir ke sini. Dia lama ya menduda, setia sekali dia, sampai tidak mau menikah lagi.”
“Ayah juga begitu? Gak mau menikah lagi setelah ibu pergi?”
“Ya begitulah, oh iya tadi Raka tanya kamu, kapan kamu terakhir ke sini. Dia masih baik sekali kalau ke sini, tadi bawakan banyak oleh-oleh Anaknya juga lucu menggemaskan, ayah suka, ayah jadi gak kesepian, setengah hari bermain sama Juna,” ucapnya.
“Dia memang lucu, Yah. Dia juga sering ke rumah Arini. Yah, Arini mandi dulu, ya? Arini baru pulang dari kantor, nanti Arini telefon lagi, ya?”
“Ya sudah sana, nanti kapan ke rumah Ayah?”
“Nanti Arini bilang sama Mas Heru, dia lagi sibuk, habis naik jabatan malah tambah sibuk, Yah. Sibuknya melebihi aku sekarang, pulang malam terus.”
“Ya sudah, kalau kalian sudah tidak sibuk, ke sinilah, jenguk Ayah.”
“Iya, Ayah ... I love you, Yah ....”
Arini menyudahi panggilanya dengan ayahnya. Ia kembali memutar otaknya, bagaimana nanti dia bicara pada Heru kalau ayahnya ingin sekali dikunjunginya.
“Aku bisa ke sana sendiri tanpa Heru, aku akan jelaskan pelan-pelan pada Ayah, tentang semua ini, semoga Ayah baik-baik saja nantinya,” ucap Arini lirih.
^^^
Sampai malam tiba, Heru benar-benar tidak menghubungi Arini sedikit pun. Biasanya dia kalau pulang dari kantor mampir barang sejenak, tapi kali ini tidak.
“Lagian ngapain kamu ngarep Heru ke sini sih, Rin? Jelas enggak lah! Kan jalangnya lagi sakit? Mana mau ninggalin tuh perempuan? Lagian sudah dong, kamu ini jangan bodoh-bodoh amat, kamu mau cerai dari dia, dia sudah nyakitin kamu!” Arini merutuki dirinya sendiri yang kadang masih kangen dengan Heru.
Sedangkan Heru, dia sedang disibukkan dengan pekerjaannya, setelah menjadi kepala divisi, dia semakin sibuk, banyak sekali pekerjaannya, tapi Heru menikmatinya, karena ini adalah impiannya. Apalagi dia sudah dicalonkan untuk menjadi direktur. Kariernya makin bagus, karena memang dia pintar, dia karyawan yang cekatan, meski bejat perbuatannya. Heru orang yang bertanggung jawab dalam pekerjaannya, dia begitu karena ingin membuktikan pada papanya yang selalu menyepelekan dirinya. Entah kenapa papanya belum mengizinkan Heru memegang perusahaannya, padahal Heru anak satu-satunya, dan sudah pasti dia adalah penerus papanya.
“Aku akan buktikan semuanya, Pa! Aku bisa tanpa papa, aku bisa tanpa bekerja dengan papa! Papa selalu memandangku sebelah mata, akan aku buktikan semuanya!” batin Heru dengan semangat berapi-api.