NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan dengan Bayangan Lama

Hembusan angin dingin dari lorong sempit terasa menusuk, membawa aroma lembab bebatuan dan tanah basah. Kabut mulai menipis, memperlihatkan jalan yang lebih terbuka. Rangga, Larasati, dan Ki Jayeng melangkah pelan, napas mereka masih tersengal-sengal setelah lari dari altar yang hampir runtuh.

“Ki,” Rangga memulai, memecah kesunyian yang hanya diisi oleh suara langkah kaki. “Makhluk tadi… apa itu?”

Ki Jayeng menghela napas panjang, pandangannya lurus ke depan. “Eta lain mahluk biasa. Sakali eta dijieun pikeun ngajaga ieu tempat. Kiwari eta tangkal hirup deui, sabab urang ngahudangkeun tempat ieu.”

“Kita? Maksudnya, karena aku?” Larasati bertanya dengan nada bersalah, melirik Rangga yang menatapnya tajam.

“Teu kudu salahkeun sorangan,” jawab Ki Jayeng tegas. “Tempat ieu memang tos waktuna ngahudangkeun dirina. Tapi ayeuna, urang kudu ati-ati. Nu datang ka dieu lain ngan urang, tapi ogé musuh nu kuat.”

Langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika sebuah suara berat terdengar dari depan. “Heh… Jayeng Larang. Akhirnya aku menemukanmu.”

Ketiganya menoleh ke arah suara itu. Dari balik kabut, muncul seorang pria berbadan tegap dengan jubah hitam yang kusut. Wajahnya penuh bekas luka, dan sepasang matanya memancarkan kebencian. Di tangannya, sebuah pedang panjang dengan bilah yang berkilau dingin.

“Saeng, anjeun?” tanya Ki Jayeng dengan nada yang berat, nyaris tidak percaya.

Pria itu terkekeh, suara tawanya rendah tetapi penuh sinisme. “Kamu masih ingat, rupanya. Bagaimana rasanya melihat muridmu yang paling berbakat berdiri melawanmu?”

“Murid?” Rangga bertanya, alisnya terangkat. “Dia… murid Ki Jayeng?”

Ki Jayeng mengangguk pelan, wajahnya suram. “Saeng pernah jadi muridku. Tapi ayeuna, anjeunna geus nyokot jalan nu salah.”

“Jalan yang salah?” Saeng menyeringai. “Kau menyebutku salah hanya karena aku tidak mau tunduk pada aturan bodohmu, Jayeng? Dunia persilatan membutuhkan kekuatan, bukan ajaran lemah tentang kehormatan.”

“Keur naon anjeun di dieu, Saeng?” Ki Jayeng bertanya dengan nada dingin, mengabaikan provokasi itu.

“Untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku,” jawab Saeng sambil melangkah maju. “Tapak Angin Kendan. Kau tahu aku pantas memilikinya. Ilmu itu tidak seharusnya diwariskan kepada seorang anak ingusan seperti ini.” Ia melirik ke arah Rangga, senyum sinis menghiasi wajahnya.

“Jaga bicaramu!” Rangga mendesak maju, tetapi Larasati menarik lengannya.

“Rangga, jangan terbawa emosi,” bisiknya pelan.

Saeng tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Lihat itu, Jayeng. Anak didikmu bahkan tidak bisa mengendalikan amarahnya. Apa kau pikir dia akan mampu melindungi ilmu itu dari orang sepertiku?”

“Kabodoan anjeun teu perlu urang bahas ayeuna,” kata Ki Jayeng tegas, langkahnya maju satu langkah. “Mun anjeun hoyong ngalawan, urang bakal nampi.”

Saeng menyipitkan matanya, wajahnya berubah serius. “Kalau itu yang kau inginkan…”

Ia mengayunkan pedangnya, dan suara desingan tajam memenuhi udara. “Swiing!” Rangga langsung bergerak maju, tetapi Ki Jayeng mengangkat tangannya, menghentikannya.

“Ulah,” kata Ki Jayeng. “Ieu tanggung jawab kuring.”

“Ki, biarkan aku melawannya,” Rangga mendesak.

“Taya gunana ngadebat. Ieu pertarungan kuring, Rangga.”

Saeng tidak memberi mereka waktu untuk berdiskusi lebih lama. Ia maju dengan cepat, pedangnya menebas ke arah Ki Jayeng. “Trang!” Tongkat kayu Ki Jayeng menangkis serangan itu dengan cekatan, suara benturan menggema di antara dinding batu.

Pertarungan antara guru dan murid yang lama dimulai, gerakan mereka seperti tarian maut yang saling menyerang dan menangkis. Rangga dan Larasati hanya bisa menyaksikan dari sisi, wajah mereka tegang.

“Apa kita hanya akan berdiri di sini?” Larasati bertanya pelan.

“Kita harus percaya pada Ki Jayeng,” jawab Rangga, meskipun genggaman tangannya pada tongkatnya semakin erat.

Namun, Larasati bisa melihat keraguan di wajahnya. “Kamu takut dia tidak akan menang, ya?”

Rangga tidak menjawab. Matanya terpaku pada Ki Jayeng, yang terus bergerak dengan ketangkasan luar biasa. Tetapi Saeng tidak kalah, serangannya semakin cepat dan bertenaga, membuat Ki Jayeng semakin terdesak.

“Jayeng, kau sudah terlalu tua untuk ini,” ejek Saeng, menyeringai. “Kenapa tidak menyerah saja?”

Ki Jayeng tidak merespons. Ia hanya fokus pada pertarungan, meskipun napasnya mulai berat.

Rangga tidak tahan lagi. Ia melangkah maju, tetapi Larasati menahan lengannya. “Rangga, tunggu!”

“Dia butuh bantuan kita!” Rangga bersikeras.

“Kalau kamu masuk sekarang, kamu hanya akan mengalihkan perhatiannya!” Larasati balas berbisik, suaranya keras tetapi penuh kepanikan.

Rangga terdiam, tetapi matanya tetap pada Ki Jayeng. Ia tahu Larasati mungkin benar, tetapi hatinya bergejolak melihat gurunya terdesak.

Akhirnya, Saeng berhasil membuat Ki Jayeng kehilangan keseimbangan. Tongkat kayu itu terlepas dari tangannya, dan pedang Saeng mengarah langsung ke lehernya. “Cleb!” Ujung pedang itu berhenti hanya beberapa inci dari kulit Ki Jayeng.

“Kau kalah, Jayeng,” kata Saeng pelan, suaranya penuh kemenangan.

“Teu acan, Saeng,” balas Ki Jayeng dengan suara rendah tetapi penuh keyakinan. Ia menatap Rangga, memberikan isyarat halus.

Rangga langsung mengerti. Ia melompat maju dengan tongkat kayunya, menyerang Saeng dari samping. “Praak!” Benturan itu cukup untuk membuat Saeng mundur, wajahnya terkejut.

“Anak sialan!” Saeng berteriak, menatap Rangga dengan mata penuh kemarahan.

“Kalau kamu ingin Tapak Angin Kendan,” kata Rangga, matanya menyala dengan tekad, “kau harus mengalahkanku dulu.”

1
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!