Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagaimana
"Terimakasih," ucap Naii sembari merundukkan kepalanya. Ia tak dapat membayangkan jika saja pemuda itu tak menolongnya, maka ia akan menjadi rempeyek karena massa yang mudah termakan hasutan dan belum tentu jelas dengan kebenaran yang disampaikan.
"Ya," jawab Daffa singkat. Senorak itukah dirinya, karena tak dapat menahan rasa senang dalam hatinya. Sembari memalingkan wajahnya ke arah lain, agar tak terlihat ia sedang senyum sendiri, meskipun menggunakan masker dan kaca mata hitam, tetap saja itu akan kentara.
Baru saja ia memutar arah, dan ia tak lagi menemukan wanita yang telah mencuri hatinya dengan begitu dalam.
"Hah, kemana dia pergi? Cepet banget ngilangnya," guman Daffa sembari celingukan mencari sosok Naii.
Dari kejauhan ia melihat sosok Naii telah berjalan dengan kesusahan sebab barang yang dibelinya terlalu banyak, dan juga harus menggendong Aliyah pula.
Daffa ingin menyusul wanita tersebut, tetapi ponselnya berdering dan sebuah panggilan masuk dari sebuah nama 'Abi' tertera dilayar ponselnya. Ia menggeser tombol hijau untuk menjawabnya.
"Ya, Abi. Assalammualaikum," ucapnya lirih.
"Waalaikum, salam, Kamu sekarang dimana?" tanya Abi dengan cepat.
"Emmm, anu Abi. Lagi belanja kebutuhan pokok dipasar untuk para santri,"
"Hah? Kenapa kamu sekarang jadi hobby ke pasar?" sang Abi merasa bingung.
"Ya kan niat nolongin juga, Bi. Soalnya Pak Basri dan Bik Inah hari ini baru balik. Pak Kasim tidak bisa bawa mobil," jawab Daffa beralasan.
"Ya, sudah, buruan belanjanya, ada yang perlu kita rembukkan," sahut Buya Yahya dari seberang telefon, dan memutuskan panggilannya sepihak, sebelum Daffa memprotes.
Daffa menghela nafasnya, kemudian melirik Naii yang sudah menghilang, dan harus melanjutkan berbelanjanya.
Setelah merasa cukup, ia menuju parkiran dan membawa semua barang dagangannya, hari ink ada jatah memasak bubur kacang hijau untuk memenuhi nutrisi para santri.
Ia mengemudikan mobil bak terbukanya, dan meninggalkan parkiran pasar.
Kali ini ia melihat Naii yang berjalan terseok menuju simpang sebab kesulitan membawa barang-barang miliknya dan juga harus menggendong Aliyah yang sudah kelelahan berjalan. Tubuh kurus wanita itu semakin bertambah ringkih saja.
Kali ini, pemuda itu merasa yakin jika sang wanita tersebut akan menerima tawarannya. Ia menghentikan mobilnya tepat disisi kanan Naii yang sedang berjalan dengan kesulitan.
"Mau tumpangan?" tawarnya, berharap wanita itu luluh. Tampak dibagian bawah mata Naii membulat hitam bagaikan mata panda. Sepertinya wanita itu terlalu lelah untuk dalam bekerja.
Naii menghentikan langkahnya, menatap sosok pria yang tadi menolongnya dipasar, dan kini menawarkan tumpangan. Ia terlihat ragu, tetapi jujur ia sangat lelah.
"Aku tidak akan menculikmu, percayalah," ucap Daffa meyakinkan wanita tersebut.
Akhirnya Naii menganggukkan kepalanya. Ia menerima tumpangan dari Daffa, membawa masuk keranjangnya didepan dan naik ke dalam mobil dengan menggendong Aliyah.
Kini ia duduk dijok depan, dan membuka ikatan kain yang menyatukan pergelangan tangannya dengan puteri kecilnya. Ia meletakkan Aliyah diantara ia dan pemuda itu sebagai tameng.
"Makasih," ucap Naii lirih, sembari merunduk.
"Heem," jawab Daffa tanpa kata apapun, meskipun ia sebenarnya sangat senang, akhirnya wanita itu luluh juga.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, berniat ingin memperlama perjalanan, tetapi tidak sesuai ekpektasi, sebab angin yang berhembus membuat Naii merasa mengantuk dan perlahan tertidur pulas, sebab ia sangat lelah karena terbangun sejak pukul tiga pagi.
Aliyah tampak diam, dan asyik memandangi suguhan pemandangan selama perjalanan pulang.
Daffa melirik wanita disisi kanannya. Tampak daster yang terbilang murah, dengan hijab yang itu-itu saja sejak pertemuan mereka tempo hari dipesantren.
"Oh, iya. Aku baru ingat, jika ia pernah ke pesantren, apakah ia juga memiliki anak yang dimasukkan ke pondok?" guman Daffa lirih. Ia kembali melirik wanita itu, "Tetapi siapa, dan tingkatan apa?" Daffa semakin penasaran, tetapi ingin bertanya ia sangat tak mungkin, sebab ia takut jika wanita itu akan memberi kesan buruk padanya.
Tak lama kemudian, mobilnya berhenti ditepi jalan, tepat didepan kios Naii yang berjarak lima belas meter dari jalan lintas.
"Mbak, bangun, Mbak, sudah sampai," ucap Daffa dengan selembut mungkin, bukannya bangun, justru membuat Naii semakin mendengkur. "Sepertinya ia sangat lelah, hingga sepulas itu tidurnya," gumannya lirih.
Sesaat ia melirik ke arah Aliyah yang sibuk menghi-sap permen berbentuk telapak kaki dengan warna merah. Entah apa yang membuat anak-anak menyukai permen berbentuk aneh tersebut.
"Hai, cantik, bangunkan Ibu, karena sudah sampai," ucap pemuda itu memberitahu Aliyah.
Gadis mungil itu mengangguk, dan mengguncang ibunya. "Bu, Bu, anun, ampai," ucapnya sembari menarik lengan baju sang ibu.
Naii tersentak kaget, lalu bergegas mengelap ilernya yang menempel disudut bibirnya. "Hah, oh iya, maaf aku ketiduran," ucapnya dengan nada yang masih kacau, sebab nyawanya belum kumpul.
Ia bergegas turun, lalu menurunkan barang belanjaannya dan juga Aliyah. Kemudian menutup pintu mobil. "Makasih, ya," ucapnya dengan wajah masih mengantuk.
Daffa menganggukkan kepalanya, lalu kembali melajukan mobilnya. Saat Daffa telah menjauh, Naii baru menyadari sesuatu. "Hei, mengapa ia tahu menurunkan ku disini? Aku bahkan tidak menyebutkan alamatku dimana saat naik tadi," Naii merasa bingung. Tetapi rasa kantuk dimatanya membuatnya tak mampu berfikir. Ia bergegas membawa masuk semua barang-barang belanjaannya dan juga Aliyah yang utama.
******
Daffa mengenakan pakaian koko khas seorang muslim. Ia akan memimpin shalat Dzuhur berjamaah dimesjid pondok. Banyak Santriwati yang salah tingkah saat berhadapan ataupun berselisih dengannya.
Bahkan tak menampik jika para pengajar yang merupakan ustazah muda juga menaruh simpati pada anak pemilik pondok tersebut.
Setelah shalat berjamaah selesai. Umi dan Abi Yahya yang merupakan kedua orangtuanya memanggilnya untuk makan siang. Tanpa ia duga. Dikursi makan telah duduk Buya Shohir, beserta istrinya, dan satu wanita bercadar yang sedari tadi merundukkan kepalanya, dan juga Umi Kulsum sang ibunda tercintanya, bersama Abi Yahya yang tampak menantinya sejak tadi.
Daffa terlihat canggung. Ia merasakan debaran dihatinya semakin menderu. Ia mengingat jika malam tadi sang Abi inginkan dirinya untuk berta'aruf dengan seorang gadis yang sholeha dan juga hafizah.
"Assalammualaikum, Abi, umi," sapanya dengan seramah mungkin. Ia tetap ingin menjaga sopan santun dan tak ingin membuat kedua orangtuanya malu.
"Duduklah, kita makan siang bersama untuk mengeratkan tali silaturrahmi," ucap Abi Yahya dengan lembut kepada sang putera.
Daffa menganggukkan kepalanya. Ia menuruti ucapan sang Abi, lalu mengambil kursi kosong untuk duduk disana.
"Ya, Rabb, beri aku petunjuk-Mu," doanya dalam hati dan penuh pengharapan.
Lalu mereka menyantap makan siang dengan doa dipimpin oleh Daffa.
Setelah menikmati makan siang tersebut, mereka kembali ingin melanjutkan obrolan yang sangat dinantikan.
Mereka memasuki ruangan keluarga. Lalu mengobrol ringan, dan hingga akhirnya sang Abi menyampaikan niat kedatangan Buya Shohir yang ingin meminta puterinya berta'aruf pada Daffa.
Untuk meyakinkan jika puterinya itu sangat cantik dan.juga shaleha, maka Daffa diperkenankan untuk melihat Nayla membuka cadarnya.
Saat gadis itu melepas cadarnya. "Astaghfirullah," ucap Daffa tersentak kaget.