Irene Jocelyn harus kehilangan masa depannya ketika ia terpaksa dijual oleh ibu tiri untuk melunasi hutang mendiang sang ayah. Dijual kepada laki-laki gendut yang merupakan suruhan seorang pria kaya raya, dan Irene harus bertemu dengan Lewis Maddison yang sedang dalam pengaruh obat kuat.
Malam panjang yang terjadi membuat hidup Irene berubah total, ia mengandung benih dari Lewis namun tidak ada yang mengetahui hal itu sama sekali.
hingga lima tahun berlalu, Lewis bertemu kembali dengan Irene dan memaksa gadis itu untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi lima tahun lalu.
Perempuan murahan yang sudah berani masuk ke dalam kamarnya.
"Aku akan menyiksamu, gadis murahan!" pekik Lewis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merayunya
Setelah beberapa waktu mencari keberadaan Irene. Ken akhirnya berhasil menemukan di mana wanita cantik itu berada.
Ia sudah mengamati mansion Lewis beberapa hari dan mencari celah untuk membawa Irene kembali.
Ia segera menghubungi Irene dengan tidak sabar.
"Ada apa Ken?" tanya Irene yang masih terjaga.
"Aku ada di luar! Kamu lihat ke jendela bagian belakang ini dekat pohon mangga," ucap Ken membuat Irene terkejut.
Ia langsung melihat kearah yang ditunjuk oleh Ken.
"Kamu bisa melompati pohon itu, aku akan menyambutmu dibalik tembok!" titah Ken membuat Irene ragu.
Satu sisi ia ingin pulang dan merawat kedua putranya, namun di sisi lain ia sudah terikat dengan perjanjian bersama dengan Lewis.
"Ayo Ren! Kita gak punya banyak waktu lagi!" desak Ken membuat Irene semakin bimbang.
Jika ia pergi hari ini, sudah dipastikan anak-anaknya menjadi taruhan. Karena Lewis dengan berani menjadikan mereka sebagai ancaman jika Irene berani melanggar kontrak.
Ia menatap foto kedua putranya dengan raut wajah sedih. Cukup lama Irene berpikir, hingga ia memilih untuk patuh kepada perjanjian yang sudah disepakati.
"Ken, terima kasih atas niat baikmu. Aku, aku tidak bisa!" lirih Irene membuat Ken terdiam.
"Ren, anak-anak mu sedang sakit. Apa kamu sudah tidak peduli lagi dengan mereka?" pekik Ken dengan marah.
"Aku lebih takut laki-laki ini membawa mereka jauh, Ken! Pulanglah! Jangan membahayakan diri sendiri. Dia bukan tandingan kita," lirih Irene dengan air mata yang mengalir.
Ken hanya mengeraskan rahangnya dan menatap tajam ke arah jendela. "Ren, sudah sejauh ini! Kita bisa membawa mereka pergi ke luar negeri! Aku akan membiayai semua kebutuhan kalian!" tegasnya.
"Ken, Cukup!" tukas Irene sambil menghela napas. "Maaf! Biar aku yang menanggung semuanya! Salahku yang sudah terlibat dari awal dengannya," sambung wanita cantik itu.
"Apa maksudmu?" tanya Ken bingung.
"Ken, aku minta kamu untuk berhenti sampai di sini! Dia terlalu berbahaya. Kamu tidak akan bisa melawannya," peringatan Irene membuat Ken benar-benar terdiam.
Ia sadar bagaimana posisinya di hati Irene. Bahkan sebanyak apapun pengorbanan yang ia berikan, Irene tetap saja memandangnya sebagai sahabat dan tidak lebih.
"Ren, aku sudah melakukan semuanya untukmu! Bahkan khawatirku tidak berharga bagimu sedikitpun!" lirih Ken dengan rasa kecewa.
Irene hanya terdiam, ia tidak ingin bertindak gegabah karena Lewis pasti akan melakukan apa yang sudah disepakati.
Ia tidak ingin kehilangan Diego dan Devon, hanya mereka yang ia miliki. Sementara Lewis masih sangat sulit untuk ia pelajari.
Sifatnya yang berubah-ubah dan emosinya yang masih terlihat labil, membuat Irene kesulitan untuk mencari titik lemah pria tampan itu.
"Ken, Maaf! Kita sudah membahas ini sebelumnya. Aku akan membujuk dia untuk membawaku bertemu dengan anak-anak!" ucap Irene tegas.
Ken hanya terdiam. Rahangnya mengeras menahan emosi yang bergejolak di hatinya. Semua usaha yang sudah ia lakukan terasa sia-sia karena gadis ini.
"Ren, sekali lagi aku bertanya, Apa kamu tidak ingin ikut pulang denganku?" tanya Ken dengan suara rendahnya.
Irene terdiam, ia memahami bagaimana posisi Ken. Namun semua tidak bisa dipaksakan dengan alasan apapun.
"Aku tidak! Maaf Ken, aku lebih sayang nyawa putraku lebih dari apapun!" ucap Irene tegas.
Ken hanya terdiam dan mematikan panggilan itu. Mobil yang membawanya juga perlahan menjauh dari Mansion.
Irene hanya bisa meneteskan air mata melihat kepergian Ken. Ia sadar, konsekwensi apa yang akan ia ambil jika salah melangkah.
Pada akhirnya, ia memilih untuk kembali merayu Lewis agar mengizinkannya untuk kembali ke kota Sanford.
Tanpa banyak pikir, Irene langsung menghubungi George dan meminta bantuan laki-laki itu untuk merayu Lewis.
"Nanti akan saya sampaikan kepada Tuan, Nyonya! Apa ada hal lain?" tanya George.
"Tolong bantuannya, Asisten George. Mereka masih membutuhkan saya!" lirih Irene.
"Baik, Nyonya," jawab George.
Irene terdiam ketika mendengar teriakan Lewis di balik telepon.
"Nanti saja tanyakan setelah emosinya mereda!" ucap Irene membuat George terdiam.
Setelah menjawab, George langsung mematikan ponsel. Ia menatap Lewis yang masih berdebat di perusahaan dengan Mark yang masih saja bersikeras untuk menikahkannya dengan Clara.
Dengan kesal, Lewis melempar sertifikat pernikahannya di atas meja. "Saya sudah menikah!" ucapnya lirih.
Semua orang terdiam, Mark mengambil sertifikat itu dan terkejut bukan main. Ia menatap Lewis dengan sangat marah.
"Sudahlah Tuan Mark! Tuan muda sudah menikah! Anda harus mengalah dan menurunkan ego anda! Kita tidak bisa seperti ini terus menerus," ucap salah satu pemegang saham.
"Betul sekali, Tuan Mark! Jika anda bersikeras untuk menurunkan tuan Lewis, maka saya akan mundur sekarang juga!".
Lewis hanya mengeraskan rahang. Ia ingin keluar dari perusahaan ini, namun saham yang ia miliki di sini sangat banyak dan sangat tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja.
Mark menatap semua orang dengan tajam. Ia menghela napas berat dengan dada yang terasa sesak.
"Baiklah, saya mengalah!" ucap Mark pasrah
Mereka semua bernapas lega. Berita ini langsung diterbitkan agar tidak membuat saham perusahaan semakin merosot.
Lewis langsung kembali ke ruangannya dan memeriksa berkas-berkas yang sudah terbengkalai selama ia tinggalkan.
"Tuan!" panggil George.
Lewis tetap fokus pada pekerjaannya, namun ia selalu mendengar apa yang dikatakan asistennya ini.
"Katakan!" tegas Lewis dengan wajah datar.
"Ini tentang Nyonya Irene!" ucap George membuat tangan Lewis terhenti.
"Kenapa dia?" tanya Lewis itu menatap tajam.
"Apa tidak sebaiknya anak-anak Nyonya Irene kita bawa ke sini, Tuan? Mereka sedang sakit dan baru saja dilarikan ke rumah sakit," ucap George membuat Lewis menatapnya semakin tajam.
"Biarkan saja!" tukas Lewis membuat George terkejut.
"Tuan! Anda begitu paham bagaimana rasanya diabaikan," ucap George membuat Lewis mengeraskan rahang.
Ia menatap George tidak suka. "Pergilah!" titahnya membuat George menghela napas.
"Saya permisi, Tuan!" pamitnya.
"Jangan bawa Irene! Bawa saja anak-anaknya ke sini! Suruh orang untuk membereskan kamar dan panggil dokter!" Tegas Lewis membuat George tersenyum tipis.
Ia yakin, jika Lewis masih memiliki sedikit kasih sayang di balik sikap kasarnya.
George mengangguk paham dan langsung menyiapkan jet perusahaan untuk menjemput Diego dan Devon.
Lewis menatapnya dengan pandangan yang tidak terarah. Ucapan Irene dan George telah menyentuh hingga titik terendahnya.
Sejenak, Lewis terdiam. Ia mengusap wajahnya dan menatap ponsel yang sedang menyala. Irene tengah menghubunginya.
"Apa?" jawab Lewis dengan ketus.
"Terima kasih banyak, Tuan! Pulanglah lebih awal, saya akan memasak makanan kesukaan anda!" ucap Irene dengan suara tercekat.
"Hmm! Layani saya malam ini dengan baik!" ketus Lewis membuat Irene mengangguk pasti.
"Saya akan persiapkan semuanya!" ucap Irene terdengar sangat bahagia.
"Tarik ucapanmu kemarin!" titah Lewis.
Irene terdiam, ia berpikir maksud dari ucapan Lewis. "Baik, Tuan! Saya tarik ucapan saya kemarin!" ucapnya.
Lewis mematikan panggilan itu tanpa menjawab apapun lagi. Sedikit ia merasa tenang mendengar rayuan Irene yang begitu manis tanpa paksaan.
semangat kak☺
gila ya lewis nyari irene cuma pengen tubuh dia doang , ayo kasih karma lewis seenggaknya biar dia ga seenaknya lagi sama irene