Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEMBURU
Di ruang makan paviliun yang luas, meja panjang telah dihiasi dengan beragam hidangan yang mewah. Ayah Aksa duduk di ujung meja dengan temannya, Pak Rendra, yang datang bersama putrinya, Kanaya. Regita duduk di sebelah Aksa, sementara Kanaya duduk di hadapan mereka berdua. Sepanjang malam, Regita hanya memperhatikan interaksi antara Aksa dan Kanaya dengan tatapan yang sulit ditebak, perasaannya sedikit gelisah.
“Kamu ini sudah lama di luar negeri, ya, Kanaya? Aksa juga dulu sering pergi untuk beberapa proyek kampusnya,” Ayah Aksa membuka percakapan dengan nada ramah.
Kanaya tersenyum sopan. “Iya, Om. Saya baru saja kembali beberapa bulan yang lalu. Sekarang saya bekerja di perusahaan papa.”
Aksa mengangguk. "Berarti kamu cukup sibuk, ya? Bagus sih, biar enggak kaget saat masuk dunia kerja sepenuhnya."
“Oh, lumayan, Kak. Tapi… rasanya masih perlu belajar banyak nih. Mungkin aku bisa minta bantuan dari Kak Aksa, kalau perlu, he-he,” Kanaya menjawab, sambil tersenyum manis ke arah Aksa.
Regita menggigit bibirnya pelan, merasa risih melihat interaksi tersebut. Meski mencoba bersikap biasa saja, di dalam hatinya ada perasaan yang terusik.
“Kalian sepertinya punya banyak kesamaan, ya. Sama-sama suka dunia bisnis,” Pak Rendra menambahkan sambil tersenyum bangga pada Kanaya.
"Memang ada banyak yang harus dipelajari di dunia bisnis," kata Aksa sambil tersenyum. "Apalagi kalau baru mulai."
Mendengar itu, Regita tak tahan untuk tidak mengomentari. “Iya, Kak Aksa memang berbakat di banyak hal, ya. Tapi tetap harus hati-hati, terlalu fokus kerja juga enggak baik,” katanya, mencoba menjaga nada suara tetap santai, meski ada sedikit ketus dalam kata-katanya.
Aksa melirik Regita, lalu tersenyum tipis, memahami nada cemburu di balik kalimatnya. "Benar juga sih, Git. Bukan hanya soal kerja, kan?"
Kanaya, yang tidak menyadari ketegangan antara mereka, hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan ringan dengan Aksa. Ia tak berhenti menatap Aksa dengan kagum, tanpa sadar membuat Regita semakin jengah.
Sampai akhirnya, ketika suasana makan malam mulai mereda, Pak Rendra tiba-tiba mengusulkan sesuatu. “Bagaimana kalau kita buat acara kumpul lagi lain kali? Supaya Aksa dan Kanaya bisa lebih saling mengenal, bukan begitu, Mas Antonio?”
Ayah Aksa mengangguk antusias, tampak sangat setuju. “Ide bagus, Pak. Kanaya, kamu mungkin bisa berkolaborasi dengan Aksa di proyek ke depan.”
Senyuman Kanaya semakin lebar. “Saya senang sekali, Om.”
Regita berusaha keras menyembunyikan ketidaksukaannya dan hanya tersenyum samar. Hatinya sedikit bergemuruh mendengar rencana tersebut, tapi ia tahu tak ada alasan yang bisa ia sampaikan. Namun, sebelum ia tenggelam dalam rasa kesalnya, Aksa menoleh ke arahnya dan berbisik pelan, "Jangan cemberut gitu, Git. Gue cuma ngobrol biasa."
Regita terdiam, tersipu, dan hanya bisa balas menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Saat suasana mulai tenang, pintu ruang makan terbuka, dan Ibu Aksa masuk dengan membawa nampan berisi dessert lezat yang terlihat menarik perhatian semua orang. Dia tersenyum ramah, meletakkan dessert di tengah meja, menyapa tamu dengan anggun.
“Ini dessert yang saya buat khusus untuk malam ini. Semoga semuanya suka,” kata Ibu Aksa dengan senyum hangat.
“Oh, kelihatannya enak sekali, Tante!” ujar Kanaya, tampak sangat antusias. “Saya suka sekali makanan manis, apalagi buatan rumah.”
Ratih tertawa kecil. "Terima kasih, Kanaya. Saya senang kalau kamu suka. Ini resep lama keluarga, jadi semoga cocok di lidah."
Aksa mengambil salah satu piring kecil dan mengangkatnya untuk Kanaya. “Coba dulu, semoga cocok dengan seleramu.”
Regita, yang duduk di sebelah Aksa, hanya menatap piring dessert di hadapannya tanpa banyak bicara. Perasaannya campur aduk melihat perhatian Aksa yang seolah terpusat pada Kanaya malam ini.
Ratih tampak memperhatikan Regita. “Regita, kamu sudah coba? Biasanya kamu suka dessert, kan?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana dengan nada lembut.
“Oh… iya, Bun. Aku coba, kok,” jawab Regita pelan, berusaha tersenyum.
Aksa melirik ke arah Regita, lalu menyodorkan piring kecil dengan sepotong dessert. “Coba yang ini, Git. Biar enggak cemberut lagi,” katanya pelan, sedikit menggoda.
Regita terdiam sejenak, wajahnya memerah, tapi ia tetap menerima piring yang disodorkan Aksa. “Makasih, Kak,” jawabnya canggung, mencoba menghindari tatapan semua orang.
Pak Rendra, yang menyadari interaksi itu, tertawa kecil. “Wah, Aksa ini memang perhatian sekali, ya. Kelihatan sekali kalau Regita ini sangat spesial buatnya.”
Ratih tersenyum lembut, tapi tanpa menyinggung lebih jauh, ia hanya menambahkan, “Regita dan Aksa memang akrab. Apalagi, kan, mereka baru mulai tinggal bersama sebagai keluarga.”
Kanaya hanya mengangguk, tampak tidak terlalu memperhatikan, dan mulai menyantap dessert di hadapannya. Namun, tatapan Regita tanpa sadar kembali tertuju ke Aksa, meski ia mencoba menyembunyikan rasa canggungnya.
Seolah menyadari ketegangan yang mulai mereda, Ratih kembali bicara, “Regita, Aksa, terima kasih sudah ikut meramaikan malam ini. Setelah ini, mungkin kita bisa lebih sering kumpul dengan keluarga Pak Rendra, ya?”
Aksa tersenyum tipis. “Tentu saja, Bun,” jawabnya singkat. Tapi, tatapan matanya masih sedikit tajam ketika melirik Regita, seolah menunggu reaksi gadis itu.
Regita hanya tersenyum kecil, sedikit gugup. Ia tak bisa menebak maksud tatapan Aksa, tapi ia tahu malam ini bakal terus terbayang di pikirannya.
Setelah makan malam berakhir dan para tamu mulai berpamitan, Aksa dan Regita kembali ke rumah utama dengan perasaan berbeda. Regita memilih untuk langsung naik ke kamarnya, namun langkahnya terasa berat, masih merasakan sisa-sisa ketegangan malam itu.
Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Regita menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Masuk,” katanya pelan.
Aksa melangkah masuk dengan wajah yang sulit ditebak. “Kok langsung naik ke atas? Tumben,” tanyanya sambil bersandar di pintu, memandang Regita dengan ekspresi yang penuh teka-teki.
Regita mengangkat bahu, berusaha terlihat biasa. “Cuma… capek aja. Lagian… kayaknya Kak Aksa sibuk banget tadi sama Kanaya,” katanya, mencoba terdengar datar tapi ada nada cemburu yang tak bisa disembunyikannya.
Aksa menatapnya tajam, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. “Kamu ngeliatin, ya? Cemburu?”
Regita langsung mendelik, pipinya memerah. “Enggak kok! Kenapa juga aku harus cemburu?” katanya cepat, berusaha menyangkal.
Aksa melangkah mendekat, membuat Regita sedikit mundur. “Gue bisa tahu dari cara lo liatin gue tadi malam,” bisiknya, suaranya serak, menatap Regita yang kian gugup. “Dan lo enggak usah bohong sama gue.”
Regita merasakan detak jantungnya semakin cepat. “Kak, kita ini… cuma kakak adik, inget?” bisiknya, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Aksa hanya tersenyum, memiringkan kepalanya sedikit. “Kakak adik, ya?” ucapnya pelan. “Tapi kenapa, Git, rasanya enggak cuma itu?”
“Gue tanya sama, Lo, adik Kakak mana yang ciuman penuh nafsu?”
Regita terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kata-kata Aksa membuatnya tak mampu berpikir jernih. Sekilas, Aksa mengangkat tangannya, menyelipkan rambut Regita ke belakang telinga. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, dan kedekatan itu membuat Regita tak bisa menahan diri untuk menatap langsung ke mata Aksa.
“Gak ada, kan? Gue cuma… nggak mau kehilangan lo, Git,” bisik Aksa tiba-tiba, mengagetkan Regita.
Regita merasa matanya berkaca-kaca, tak yakin dengan apa yang barusan Aksa katakan. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Aksa tersenyum tipis, kemudian berbalik menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh lagi dan berkata dengan nada lembut, “Ingat, cuma gue yang boleh bikin lo deg-degan kayak gini. Selamat malam, Git.”
Aksa meninggalkan Regita yang masih tertegun, membiarkannya sendiri dengan perasaan yang semakin membingungkan.