Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Vano memasuki ruang rapat dan semua yang hadir langsung menunduk hormat kepadanya.
"Mulai rapatnya!" Katanya dingin sambil mendudukan dirinya di kursi.
Rapat kali ini membahas tentang penangunan kantor cabang perusahaan mereka yang akan di bangun sebentar lagi di daerah cukup terpencil. Vano berusaha untuk fokus namun pikiran nya tertuju pada undangan pernikahan yang ada di grup SMA nya.
Ia berusaha sabar hingga pembahasan memuakan itu berakhir. Begitu selesai Vano segera melaju menuju kota kembang! Ia butuh penjelasan. Gadis itu harus menjelaskan kepadanya kenapa tiba-tiba ia menikah. Apa alasannya?
Vano melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pria itu tidak sabar untuk menemui gadisnya. Ya selama ini Vano juga sudah berusaha melupakan Juwita, namun itu tidak mudah. Rasa cinta nya malah semakin kuat hingga ia begitu sakit sekarang.
Di belakang mobilnya, Yuna mengikuti nya. Ia sudah tahu kemana tujuan atasanya, sehingga ia berkendara dengan santai dan tidak terburu-buru. "Kalau bukan karena kakak ku aku tidak mau jadi assisten mu, Tuan arogan." Gerutu Yuna. Alden kakak keduanya mengalami cedera karena kecelakaan mobil dan masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit untuk beberapa bulan kedepan. Yuna selama ini memang di rumah saja tanpa bekerja tiba-tiba di panggil oleh mantan majikan ayahnya menggantikan peran Alden.
Awalnya Yuna menolak, namun karena titah sang ayah tercinta membuat gadis yang belum genap 29 tahun itu tak bisa mengelak. Dan bukan karena itu saja, ada niat terselubung dari Wira yang ingin mendekatkan Yuna dan Vano, tidak tahu saja Wira kalau Yuna dan Vano bagai minyak dan air yang akan sulit di satukan.
"Haahh menyebalkan."
Setelah dua jam perjalanan yang begitu melelahkan akhirnya ia sampai juga. Yuna turun dari mobil mengamati dari kejauhan apa yang Tuan arogan nya lakukan. Vano berdiri di depan sebuah yayasan menunggu orang yang di tunggunya. Ia sudah sangat hapal dengan jadwal mengajar gadis pujaan nya itu.
Juwita tersenyum sambil menutup pintu kelas, akhirnya mengajar hari ini selesai dengan baik. Ia melangkah ke kantor guna mengambil tas. Ia hanya guru honorer di sini dan mengajar seminggu 3 kali. Usaha orang tua nya sempat bangkrut namun ada Rama yang baik hati membantu menyuntikan dana hingga perusahaan Ayahnya bisa bangkit kembali. Tidak hanya itu ayah nya pun sempat sakit-sakitan dan Rama yang menanggung semua biaya nya. Maka Rama lelaki yang baik yang pantas mendampingi nya, batin nya menyakinkan diri. Ia tidak bisa tersenyum mengingat sosok tunangan nya itu. Rama seperti malaikat di hidupnya, Juwita masih menyunggingkan senyum sampai langkah nya terhenti karna kehadiran seseorang, mata nya membelalak tak menyangka setelah sekian lama nya takdir mempertemukan mereka kembali. Di depannya sekarang berdiri sosok pria yang sudah terlihat dewasa dengan setelan kantor yang di pakainya, Vano mantan cinta pertamanya sekarang berdiri dengan gagah di hadapannya. Pandangan mereka berhenti pada satu garis lurus. Vano memandang Juwita dengan penuh perasaan cinta sementara Juwita memandang Vano sebaliknya, asing dan risih.
"Va .. no."
"Hai, long time no see." Sapa Vano dengan suara beratnya. Juwita tiba-tiba merinding, entah kenapa merasa pria di hadapannya itu sudah banyak berubah dan nampak berbahaya.
"Kau, mau apa kau kemari?" Tanya Juwita takut-takut. Dan entah kenapa ia justru melangkah mundur.
"Ada yang perlu kita bicarakan." Ujar Vano to the point.
"Apa? Aku rasa kita tidak punya urusan lagi."
"Apa begini cara menyapa kekasihmu? Juwi?" Juwita menelan ludah nya kasar, ia takut sekali sekarang. "Vano, jangan mendekat!"
"Mendekat? Bagaimana sih? Begini?"
Sret.
Vano menarik tubuh Juwita dengan sangat keras hingga tubuh bagian depan mereka bersentuhan. Juwita bergetar, ia berusaha melepas belitan tangan Vano di perutnya namun begitu sulit. "Vano! Kamu jangan kurang ajar!" Teriak Juwita.
"Syuut! Biarkan aku merindukanmu." Dengan kurang ajar nya Vano makin mempererat pelukannya, Vano bahkan menaruh kepalanya ke ceruk leher Juwita yang tertutup hijab dan membaui aroma gadis itu dengan rakus. "Vano!"
"Diam Juwi! Biarkan aku puas memelukmu. Sebentar saja."
Juwita menginjak kaki Vano dengan keras dan itu sukses membuat pria itu mengaduh.
"Kurang ajar!"
Plak.
"Jadi begini kelakuan kamu, hah!"
Wajah Vano tertoleh ke samping, karena tamparan keras yang gadisnya layangkan. Ia tersenyum tipis menggerakkan rahang nya yang rasanya sedikit ngilu sambil menatap tajam gadisnya. Mereka sama-sama melemparkan tatapan tajam. "Apa ini Vano! Apa yang terjadi sama kamu? Kita sudah putus." Teriak Juwita di depan muka Vano.
"Tidak! Kau yang tiba-tiba memintaku melupakanmu dulu. Aku tidak pernah menyetujui kalau hubungan kita berakhir." Juwita merasa kotor karena sudah di peluk seseorang yang bukan muhrim, semoga saja Rama belum menjemputnya atau pria itu akan salah paham nanti. "Vano please! Jangan kayak gini. Kita sudah berakhir." Pinta Juwita dengan tatapan memohon.
"Tidak! Kau milikku Juwi!"
"Lihat Vano! Lihat ini! Sebentar lagi aku akan menikah!" Juwita menunjukkan cincin yang tersemat di jari manis nya pada Vano berharap pria itu mengerti.
"Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?" Tanya Vano dengan suara sarat penuh kesakitan.
"Aku sudah tidak mencintai kamu Vano. Dulu kita cuman cinta monyet. Aku hanya mencintai Rayyan." Ucap Juwita dengan kejam nya, hati Vano sakit. Jadi apa hanya dia seorang yang mencintai sendirian selama ini?
"Kenapa? Kenapa kau buat aku jatuh cinta dulu? Kenapa? Juwi?" Teriak Vano menggelegar, tangannya mencengkram kedua pundak kecil Juwita hingga gadis itu meringis kesakitan. "Lepas!"
"Jawab dulu kenapa? Juwi, aku bahkan rela menjauh agar aku bisa mengerti dirimu! Tapi apa! Kau malah mau menikah dengan Rayan? Harusnya aku! Harusnya aku! Aku yang menikah denganmu!" Juwita sungguh ketakutan, ia tak berani memandang bola mata Vano yang seperti menusuk hingga renungan hati terdalam.
"Kenapa! Kenapa! Kau jawab aku!" Vano menangis, ia bahkan tidak peduli apa pendapat wanita itu, hatinya sakit. Vano memaksa memeluk Juwita lagi meski gadis itu terus memberontak.
"Vano aku minta maaf, lepas! Kita tidak boleh seperti ini." Tidak munafik masih ada sedikit tempat di hati Juwita untuk Vano, namun cuman sedikit karena sepenuhnya sekarang hatinya milik Rayyan.
"Vano."
Bugh!
"Lancang sekali kau!" Rama datang dan langsung menghajar Vano membabi buta. Pria itu kaget dan langsung turun dari mobilnya ketika melihat calon istrinya itu di lecehkan.
Rama menghentikan menghajar Vano saat Vano sudah tidak berdaya. "Menjauh eh." Vano bangkit dan tersenyum miring, mengusap darah di sudut bibirnya dengan ibu jari. Vano sengaja tak melawan tadi, ingin melihat seberapa hebat pria yang sudah merebut gadisnya. "Sekarang giliranku." Vano menerjang Rayyan dan membalas pria yang menghajar nya tadi. Rayyan kualahan, Juwita berteriak meminta bantuan namun kondisi sekolah yang sudah sepi karna sudah jam pulang.
"Tolong! Rama, Vano berhenti!" Teriak gadis berhijab itu, ia berusaha menarik Rama namun dengan mudah tubuhnya di singkirkan.
"Tolong!"
Juwita tidak menyerah mencoba menghentikan perkelahian namun yang ada malah ia kena tampar oleh Vano sampai pipi nya memerah dan Juwita terjatuh. "Sayang."
"Cukup! Vano cukup! Aku nggak cinta sama kamu." Juwita mengangkat tangannya.
"Aku pilih Rama." Sambungnya.
Vano menggeleng, ia tidak terima. Namun saat ia mendekat Rama kembali menghalangi nya. "Minggir! Juwi bilang apa kau barusan?"
"Kau tidak dengar siapa yang dia pilih? Kau yang harusnya minggir! Juwita memilihku, Vano!"
"Tidak! Juwita kau pasti bercanda kan? Katakan kau mencintaiku!" Paksa Vano.
"Nggak Vano, cinta itu sudah hilang." Juwita menggandeng Rama menjauh menuju mobil pria itu, Vano tidak percaya, ia hendak mengejar namun langkah nya terasa berat. Harga dirinya menahan nya, sial!
Rama membukakan pintu mobil untuk tunangannya, mempersilahkan gadis manis berhijab yang tengah menangis itu masuk. "Ayo!"
Rama tidak menyangka hari ini ia bertemu kembali dengan rival nya. Ia tidak akan pernah mau melepaskan Juwita, tinggal selangkah lagi mereka akan menikah.
"Rama."
"Iya?"
"Maaf yah, Ram. Aku tidak sengaja bertemu dengannya." Juwita takut Rama salah paham. Rama tersenyum tipis, terlihat menenangkan sekali di mata Juwita. "Iya aku tau pasti Vano yang datang ke sekolah kan?" tanya Rama.
Juwita mengangguk. "Aku gak nyangka dia kaya gitu sekarang."
"Orang pasti berubah ta."
"Dia bukan Vano yang ku kenal. Aku benci."
'Ya benci saja Vano.' Batin Rama puas. Hanya dia yang pantas mendampingi gadis cantik di sebelah nya ini.
"Mau makan siang dulu?"
"Ngga usah Ram, aku mau pulang aja."
"Siap permaisuriku."
"Apaan sih." ucap Juwita malu.
Beberapa tahun sudah ia menjalin kasih dengan Rama kemudian memantapkan hubungan ke jenjang lebih serius. Rama selalu berada di sisi nya selama ini dan selalu membantu keluarga nya yang saat kesulitan, pria itu baik. Berkat Rama juga kedua orang tua nya kini telah berubah. Jadi apa yang salah? Untuk cinta bisa dia dipikirkan belakangan. Yang terpenting Juwita sudah yakin kalau Rama lah orang yang tepat untuknya. Juwita tercenung menatap jalanan yang sudah di hapal di luar kepala memikirkan kejadian yang mengejutkan tadi.
"Kenapa sayang?"
"Nggak papa."
"Apa kamu menyesal?" Tanya Rama.
"Menyesal?"
"Hm mungkin kamu masih mencintai Vano." Ujar Rama dengan senyum pahit.
"Nggak Ray, aku sudah melupakan dia sejak lama, aku cuma kaget saja. Bisa kan jangan bahas dia lagi?" Rama mengangguk mengerti, setelah dua puluh menit mereka telah sampai di rumah yang mungil namun tetap tidak meninggalkan kesan mewah.
"Makasih yah Ram."
"Iya."
"Kamu nggak mampir dulu?"
"Nggak usah aku ada kerjaan."
"Oh ya udah hati-hati." Rama mengangguk kemudian melajukan kendaraan roda empat nya meninggalkan pelataran rumah tunangannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...