Nakki hanyalah gadis kecil yang lugu, kesehariannya hanya bermain, siapa sangka ia dinikahkan dengan Jendral karena janji kakeknya dan kakek Sang Jendral, sebelum meninggal menulis wasiat, agar Manik menikahi Nakki kelak di kemudian hari.
Jendral yang patuh pada kakek nya dan juga sangat sibuk dengan urusannya bersama raja, tidak punya banyak waktu untuk berfikir langsung menikahi Nakki tanpa melihat wajah gadis itu lebih dulu.
Sayangnya, Jendral meninggalkan istri mudanya untuk waktu yang lama, bersama istrinya yang dipenuhi rasa cemburu, hingga membawa kesulitan bagi Nakki yang tidak memahami apa kesalahannya.
Di dera banyak ujian bersama istri pertama dan kedua Jendral Manik, Nakki kabur dan pulang ke kebun peninggalan kakeknya, sebuah konspirasi jahat membuat Nakki terjatuh ke jurang, lalu muncul sinar terang dari langit menyambar tubuhnya, tubuhnya hanya luka ringan, bahkan memiliki kekuatan setelahnya membuat dirinya jenius dalam berbagai hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Nafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gairah Membara
Hei.... Anda jangan main-main tuan, aku tidak "bisa mengangkat anda, tubuh anda ini berat." Mia mengeluh dengan sedikit kesal.
Tiba-tiba saja rintik-rintik hujan turun, sore yang tadi memang cukup mendung, sekarang mulai menjatuhkan airnya yang awalnya hanya rintik segera berganti hujan deras disertai petir dan guntur.
Mia memapah tubuh Jendral Manik ke sebuah dangau di tepi sawah yang kosong, dengan cepat tubuh mereka menjadi basah kuyup.
Meski merasa risih dan canggung bercampur rasa marah karena ditinggalkan begitu saja diantara istri-istrinya yang ingin mencelakakan dirinya, Mia tidak bisa mengabaikan keadaan Jendral Manik yang terluka.
"Tahan Jendral, aku harus mencabut anak panah ini." Ucap Mia setengah berteriak, deru air hujan cukup menelan suara mereka berdua.
Jendral Manik mengangguk pelan, membiarkan Mia berbuat sekehendaknya.
"Argh.... " suara Jendral Manik menahan rasa sakit, saat panah dicabut dengan gerak cepat oleh Mia. Darah mengucur lebih deras.
"Maaf tuan, aku akan merobek pakaian anda, aku harus mengikat disini." Mia menunjuk kearah lengan Jendral Manik.
Jendral Manik hanya mengangguk lemah.
Dalam hati sang Jendral meringis dan terkekeh sekaligus, meskipun banyak mengeluarkan darah, sebatang anak panah tak beracun bukan apa-apa bagi seorang Jendral besar sepertinya.
Beberapa anak panah bisa menancap di tubuh seorang prajurit dalam satu pertempuran dan mereka masih bisa bertahan karena memiliki tenaga dalam yang cukup memadai, terlebih Jendral Manik yang telah memimpin banyak pertempuran.
Tapi kali ini Jendral Manik tak mampu mengalahkan pesona seorang gadis belia yang semula disangkanya penakut ternyata cukup bar-bar bahkan memiliki kekuatan tersembunyi dalam dirinya.
Gadis itu sudah menunjukkan kekuatan dirinya dan lebih mengejutkan gadis inilah yang pernah ditemuinya.
Rasa ketertarikan dan rasa penasaran demikian besar bercampur di benak Jendral muda yang memiliki daya tarik memikat lewat wajah tampan dan keperkasaan fisik itu.
Merelakan dirinya yang sesungguhnya seorang Jendral dingin, pendiam dan tenang itu, untuk mengikuti kemana gadis itu membawanya.
Mia mengikat lengan Jendral Manik untuk menghentikan pendarahan dengan hati-hati, takut akan lebih menimbulkan rasa sakit terlebih tubuh Jendral terlihat mulai menggigil kedinginan.
Mereka berdua basah kuyup, sehingga tidak memiliki selembar kain kering pun sebagai pengganti, namun berbeda dengan Jendral Manik yang sudah menggigil.
Mia tidak merasakan kedinginan sedikit pun, ia merasakan hawa panas menjalar dari kalungnya perlahan turun menyapu seluruh tubuhnya menjadi hangat memberinya rasa nyaman.
Jendral diam-diam memperhatikan Mia, gadis itu tidak menggigil sedikitpun meski pakaiannya basah kuyup.
"Glek... Jendral mengalihkan pandangannya, sesuatu yang nampak menggunung tercetak indah di dada gadis itu dan akibat basah membuatnya nampak jelas disana, meski gadis itu sesekali mencoba menutupinya dengan memeluk lengannya.
Sang Jendral memejamkan mata, ia tak bisa melakukan apapun saat ini, sampai rasa perihnya berkurang, lebih baik jika ia tertidur atau ia akan tersiksa memikirkan seorang gadis cantik dan menarik yang begitu dekat dan sangat menggoda hatinya.
Rasa canggung kian mendera perasaan Mia, jantungnya sebenarnya sudah tidak teratur sejak tadi, kalau mau jujur, berada di dekat Sang Jendral sesungguhnya sangat membuat jantungnya berdebar, gadis itu hanya pandai menyembunyikan perasaan.
Melihat Jendral semakin menggigil hatinya berperang, haruskah ia menolongnya? Pria itu perlu melepaskan pakaian dan menghangatkan tubuhnya.
Hujan yang awet dan makin deras, seiring alam yang semakin gelap, Jendral Manik bersandar pada dinding kayu masih dengan tubuh menggigil.
"Tuan... tuan... maafkan aku, tapi aku terpaksa memeluk anda, tubuh anda menggigil". Suara Mia mencicit ragu.
"Hemmh.... " Jendral Manik hanya mengangguk dengan bergumam, jantungnya berpacu cepat, seorang gadis yang sangat menggodanya menawarkan untuk memeluknya.
Perlahan Mia mengulurkan lengannya menggapai tubuh Jendral Manik dan memeluknya dari samping.
Mia memejamkan mata, mencoba tidak memikirkan apapun, bukankah ia hanya ingin menolong? bisik hatinya menenangkan.
Kalau mau jujur, bukankah mereka sudah menikah? tidak ada larangan bagi mereka untuk berpelukan.
Seiring perasaan Mia yang mencoba berdamai, Jendral Manik membuka mata, dan tatapan mereka bertemu, tatapan lembut dan sendu, seakan saling menenangkan diri dalam kegelisahan.
Jendral Manik bergerak dengan tangannya yang tidak sakit, menggapai wajah Mia dan membelainya.
Mia yang terus membujuk diri...
Dia adalah suaminya, meskipun Jendral Manik tidak menyadarinya, tapi Mia tahu itulah kebenarannya, jadi tidak apa-apa.
Mia merasakan tangan itu menjelajahi seluruh wajahnya, mengelus dari kelopak matanya, turun ke pipi, mengusap berkali-kali, meraih dagunya hingga menyentuh bibirnya dengan sentuhan teramat lembut, Mia terpejam, gadis itu tidak bisa berbohong, ia menikmatinya.
Mia bisa merasakan tangan kokoh itu mengangkat wajahnya, Mia diam saja, seakan menantikan sesuatu, hingga ia tercekat tak berdaya dan pasrah merasakan sebuah kecupan dalam dibibirnya, ia tak kuasa menolak.
Merasa tak mendapat penolakan, Jendral Manik kian memperdalam lumatannya, menyadari dirinya sangat bergairah akan kepasrahan gadis didepannya.
Bibir Jendral Manik terus mengulum dan mengisap disana, menuntut Mia membuka mulut dengan lidahnya, hingga Mia terbawa dalam buaian turut memberi balasan dengan mengecup, dan membalas ciuman itu dengan gairah yang sama.
Hasrat itu makin menuntut untuk lebih dari sekedar ciuman, tangan Jendral Manik perlahan mengelus punggung dan tubuh Mia, yang anehnya pakaiannya tidak terlalu basah lagi, Jendral Manik tidak ingin menghiraukan itu, keinginan untuk menyatukan diri dengan gadis itu lebih kuat.
Tubuh Mia melenguh dan bergetar tiap kali merasakan sentuhan itu menggelitik seluruh persendiannya.
Mengapa ia tidak bisa menolak? Mia merasakan kebingungan dan tidak berdaya, ia pun larut dalam keinginan yang sama, ia membiarkan tangan Sang Jendral terus menjelajahi dan masuk dibawah pakaiannya menyentuh kulitnya yang semakin terasa terbakar gairah.
Otaknya ingin berontak melepaskan diri, tapi hatinya berkata lain, bahkan hatinya tak ingin berhenti, terlebih mulut Jendral ikut berpartisipasi saat pakaiannya bagian depan terbuka.
Rasa apa ini? Gadis itu belum pernah merasakannya, rasa nikmat dan geli bercampur, bahkan ia merasa sesuatu berdenyut di bawah sana, setiap kali merasakan kenikmatan yang kian bergelora.
"Kau cantik sekali Mia, sangat indah, aku tidak mampu berhenti lagi." Suara serak Jendral Manik akhirnya terdengar diantara deru nafasnya.
Mia terbuai, ia tidak sanggup menjawab, ia hanya ingin merasakan sentuhan itu lagi, ia tersiksa dengan perasaannya yang semakin menginginkan lebih.
Pria itu pun menyatukan tubuh mereka, menidurkan Mia pelan diatas dipan yang hanya beralas baju mereka yang basah.
Rasa perih dan nikmat diantara desahan nikmat dan suara lenguhan panjang pendek silih berganti seakan menyatu dengan deru hujan yang tak kunjung berhenti, sekeliling mereka yang gelap hanya air hujan seakan memagari mereka dari dunia luar.
Malam gelap menjadi saksi sepasang muda mudi yang saling berbagi rasa sayang dan keinginan menggebu dan menuntut hingga mencapai kenikmatan yang tak terlukiskan.
Saat kenikmatan itu berujung peluh dan lelah mereka terbuai dalam mimpi dengan saling mendekap.
Mia yang pertama tersadar di gelap buta itu, rasa malu tiba-tiba menderanya, ia merasakan sesuatu membentur kepalanya memberinya kesadaran.
Sungguh memalukan, pria yang semula sangat ingin dibencinya, bahkan keinginan membalas dendam kepadanya ternyata malah tak sanggup ditolaknya.
Mia bangkit perlahan, meraih bajunya dalam diam, memakainya dengan sangat pelan berharap pria itu tidak terbangun dan kembali melihat tubuhnya yang polos. Ia sungguh merasa sangat bodoh dan memalukan.
Hujan masih menyisakan gerimis yang cukup menimbulkan keinginan untuk tetap bergelung dalam lelap, namun Mia memilih menerobos hujan itu, berjalan cepat, tujuannya tidak jelas namun ia merasa harus segera pergi dari sana, ia tak sanggup untuk bertatap muka dengan pria yang tidak tahu kalau mereka telah menjadi suami istri.