NovelToon NovelToon
Binar Cakrawala

Binar Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen School/College / Romansa / Slice of Life
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: And_waeyo

Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.

Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?

"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"

Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18. Saudara

Tadi, Cakra pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup karena nekad menerobos hujan, lelaki itu juga kedinginan. Sekarang, ia sudah membersihkan diri dan berniat makan karena perutnya sudah keroncongan.

"Bi Iyah!" panggil Cakra sambil agak berteriak.

"Bi! Siapa aja asisten rumah tangga yang ada di rumah ini woi! Datang ke sini!" teriaknya lagi.

"Iya Den, sebentar!"

Tak lama setelah suara itu terdengar, seorang perempuan yang sudah agak paruh baya datang dari arah pintu menuju ruang makan.

"Ada apa, Den?"

"Cakra heran Bi, di rumah ini asisten rumah tangganya ada berapa sih? Karena yang Cakra lihat cuma Bibi lagi, Bibi lagi," kata Cakra.

"Banyak Den, cuma kerjaannya kan dibagi-bagi dan bergiliran. Rumah ini kan luas. Mungkin pas yang lain nugas, Den Cakra nggak lihat. Tugasnya banyak, ada yang harus ngurusin hal-hal yang berbau dapur, ada yang tugasnya bersihin rumah, ada yang nyuci, menyetrika---"

"Stop!" Cakra mengangkat sebelah tangannya sesaat mengisyaratkan agar bi Iyah berhenti bicara.

Lelaki itu mengusap hidungnya yang terasa gatal sebentar.

"Kalau Cakra dengar Bibi bicara terus, malah keburu pingsan karena lapar. Cakra pengen mi instan, Bibi masakan ya," kata lelaki itu.

"Kalau lapar makan nasi aja Den, banyak makanan yang lebih bergizi," kata bi Iyah.

"Mau mi instan Bi."

"Nggak usah, nasi banyak di meja makan. Jangan minta yang belum ada."

Seorang pria yang baru saja memasuki ruang makan menyahut, membuat Cakra dan bi Iyah langsung menoleh. Di belakang lelaki itu ada seorang gadis cantik dan perempuan yang terlihat masih muda meski usianya sudah menginjak kepala tiga.

"Tuan, mi instan ada di lemari. Tinggal di---"

"Nggak usah Bi, saya tahu dari Lavanya, Cakra sudah sering makan mi instan dari kemarin-kemarin. Untuk satu minggu ini dia libur dulu makan mi instan."

Cakra mengernyitkan kening. Lalu menatap Lavanya yang bersembunyi di balik papanya.

"Benar kata papa kamu, kamu udah keseringan makan mi instan sendirian. Ayo kita makan sama-sama sekarang di sini, bi Iyah dan yang lainnya udah masak banyak," kata Laras.

Lelaki itu jadi menghela napas. "Yaudah Bi, Nggak jadi deh."

Dengan pasrah, Cakra melangkah menuju meja makan.

Setelah Asgar duduk di kursinya, Lavanya dan Laras baru ikut duduk.

"Nak, ayo sini yang dekat. Jangan jauh-jauh," kata mami Lavanya pada Cakra.

"Cakra mau di sini," kata lelaki itu.

Ia mengambil tempat tidak berdekatan dengan mereka bertiga. Total kursi ada 12, yang berarti lima pasang berhadapan kanan kiri. Dan satu pasang sebagai kursi yang biasanya di tempati kepala keluarga. Dulu, jika nenek dan kakek dari pihak papa serta mamanya berkunjung ke rumah ini, kursi itu pasti ditempati kakek.

"Biarin aja Mi," kata papa Cakra.

Mami Lavanya menghela napas pelan, ia tersenyum tipis sembari mengangguk. Kemudian, ia mengambilkan nasi beserta lauk pauknya untuk Asgar.

"Papa dengar Senopati berprestasi lagi. Menang lomba ditingkat nasional kemarin, pas papa tanyain ternyata benar. Dia memang nggak pernah mengecewakan."

Cakra melirik sekilas.

"Oh ya? Lomba apa, Pa?" tanya Laras.

"Itu, lomba pene---"

"Nggak jadi lapar." Cakrawala berdiri dari kursinya. Lalu mulai beranjak pergi.

"Duduk, Cakrawala," kata Asgar.

Bukannya menurut untuk kembali duduk, Cakra malah tetap melanjutkan langkahnya. Ia malas jika sudah seperti ini, obrolannya pasti akan tambah panjang, Senopati akan terus dipuji. Padahal Cakra malas dengar nama itu disebut-sebut. Pada akhirnya, tetap dibanding-bandingkan dengan sang kakak. Seolah ia tidak ada nilainya sama sekali.

"Cakra, papa bilang duduk!"

"Nggak!" Cakra yang sudah hampir mendekati pintu ruang makan jadi membalikkan tubuh.

"Yang Papa bahas pasti Senopati lagi, Senopati lagi. Dia nggak ada di sini kalau seandainya Papa lupa. Udah lah, malas dengarnya."

Baru saja akan kembali melangkah, Cakra urung melakukannya mendengar apa yang dikatakan Asgar.

"Kalau nggak Senopati, siapa lagi? Kamu? Apa yang kamu bisa?"

"Sayang, udah," mami Lavanya menyentuh lengan Asgar.

Bukan sekali dua kali ia menyaksikan perdebatan Cakra dan ayahnya. Sementara Lavanya, duduk terdiam di kursi. Bi Iyah yang tadi menyajikan makanan di piring Cakrawala juga hanya diam.

Cakra tersenyum miring. "Aku hebat bikin Papa kecewa," katanya, kemudian melanjutkan langkah.

"CAKRA!!!"

Teriakan itu masih terdengar di pendengaran Cakra meski ia sudah keluar dari ruang makan. Ia tetap lanjut melangkah, namun tiba-tiba ada yang menarik lengannya sampai Cakra membalikkan tubuh.

"Coba bilang sekali lagi apa yang tadi kamu bilang ke papa."

Cakra tidak menyangka jika papanya menyusul. Lavanya dan Laras juga ikut di belakang sang papa.

"Pa---"

Asgar mengangkat sebelah tangannya sesaat pada mami Lavanya yang barusan akan berbicara agar tak ikut campur. Cakra menarik diri dan mundur satu langkah.

"Cakra tahu, Papa kecewa karena nggak dapat hak asuh Senopati. Terus apa itu jadi salah aku? Di mata Papa yang kelihatan itu cuma dia. Tapi yang Papa juga harus tahu, bukan cuma Papa aja yang kecewa. Cakra mau sama mama, seharusnya Cakra yang sama mama, bukan Senopati. Aku nggak pernah minta sama Papa, Cakra benci Senopati karena ambil semua yang seharusnya Cakra punya!"

"Mungkin dia memang lebih berhak mendapatkan semua itu daripada kamu! Daripada kamu iri pada kehidupan orang lain, lebih baik syukuri apa yang kamu punya."

Cakra menatap sang papa yang baru saja berbicara. Ia menaikkan sebelah sudut bibirnya sesaat.

"Iri? Oke. Makasih siraman rohaninya," sarkas lelaki itu, lalu ia berbalik dan melangkah pergi dengan cepat.

Asgar hendak kembali menyusul Cakra, namun Laras menahannya. Wanita itu takut, kalau dibiarkan, bukan hanya adu mulut saja, Laras takut Asgar lepas kendali dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sampai hubungan ayah dan anak itu tambah merenggang.

"Kalian seharusnya bisa bicara baik-baik," kata mami Lavanya.

Asgar menghela napas kasar. Ia melepaskan tangan Laras dan melangkah pergi.

"Mi ...." Lavanya memanggil maminya.

Laras menatap Lavanya, ia tersenyum, kemudian memeluk putrinya.

"Kak Cakra sama papi kenapa?" tanya Lavanya di pelukan maminya.

Laras tak tahu harus menjelaskan apa pada Lavanya. Ia sendiri tak begitu mengerti apa yang terjadi. Tapi, dari apa yang Cakra bicarakan, sepertinya hal ini juga berkaitan dengan kakak sulung lelaki itu, yang kini tinggal bersama mama kandung Cakra.

"Mami nggak tahu."

Lavanya menghela napas pelan. Cakra terlihat marah tadi. Ia tak begitu mengerti, tapi beginilah yang terjadi ketika Cakra bersama papinya. Tidak ada yang tidak diperdebatkan, dan kalau diingat-ingat, semua itu diawali dengan satu nama, Senopati.

"Mi, aku ke atas dulu ya."

Laras mengangguk. Gadis itu kini berjalan menuju lift. Lavanya berniat menemui Cakra.

Setelah beberapa saat, gadis itu telah berada di depan pintu kamar Cakrawala. Lavanya menghembuskan napas pelan, kemudian mengetuk pintu kamar kakak tirinya.

"Kak Cakra ada di dalam? Ini Lava."

Tidak ada jawaban.

Lavanya terus mengetuk pintu kamar lelaki itu. "Kak Cakra? Tolong buka pintunya."

Tak berapa lama setelah itu, pintu sedikit terbuka menampakkan sebagian tubuh sang empunya kamar.

"Mau apa sih lo?" tanya Cakra dengan ekspresi datar.

"Kak Cakra mau mi? Aku buatin gimana?"

"Nggak usah." lelaki itu hendak menutup pintu. Namun Lavanya menahannya.

"Kak, tunggu dulu!" tahan Lavanya.

Cakra mendecak singkat. "Udah gue bilang, nggak mau! Berhenti ganggu dan jangan bersikap sok peduli sama gue!" Cakra agak membentak dengan ekspresi kesal.

Ia menutup pintu agak keras tepat di depan wajah Lavanya. Gadis itu terkejut bukan main, Cakra memang terkesan cuek dan rada jutek, tapi tak pernah separah ini. Lavanya menggigit bibir bawah, ia berbalik dan mulai melangkah dengan perlahan. Lavanya tak bermaksud mengganggu Cakra, ia hanya ingin membantu. Bukan sok peduli, tapi benar-benar peduli, selalu. Meskipun Cakra tak melihat itu.

Lavanya hanya berusaha, ia ingin Cakra menganggapnya sebagai saudara tanpa ada sekat antara kandung atau bukan, tanpa perlu ragu untuk saling berbagi suka dan duka, seperti halnya perasaannya pada lelaki itu.

Apa itu salah? Apa permintaannya terlalu berlebihan? Apa ia sama sekali tidak punya kesempatan untuk berhak atas hal itu?

1
anggita
biar ga cemburu terus, kasih like👍+iklan☝.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!