Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Rawa Hutan Bambu
Suara riuh memecah pagi. Pak Wira mendorong pintu garasi dengan kruk, terdengar sangat tidak sabar, jika masih memiliki dua kaki, ia pasti sudah berlari.
Tergopoh-gopoh ia berjalan ke arah kamar Dara. Tadi malam ia mimpi buruk, membuatnya tersentak bangun dengan napas memburu. Keringat dingin sebesar biji jagung menetes tanpa henti dari keningnya, hatinya benar-benar tidak tenang, dilingkupi kecemasan akibat apa yang ia lihat dalam mimpinya.
Ia tiba di depan kamar Dara, dan hatinya seketika seolah jatuh ke perut.
Kamar Dara terbuka lebar!
Gadis itu tidak ada di sana. Tempat tidurnya masih berantakan, bahkan bantalnya jatuh di lantai, seolah dia pergi terburu-buru.
Jelas dia pergi terburu-buru. Kemarin dia pasti merasa sangat ngeri, mengira dirinya hampir mati terbakar di dalam kamar terkunci.
Ketika menemukan Siti membakar kertas di depan pintu, membiarkan asap masuk lewat celah di bawahnya, Pak Wira meradang. Untunglah ia tiba tepat waktu, telambat sedikit... entah apa yang akan menimpa gadis itu.
Ia mencengkeram lengan Siti dan menginjak-injak kertas-kertas yang menyala itu hingga padam dengan kruk dan kakinya, tidak memedulikan ada api yang menjilat telapak kakinya, membuatnya melepuh.
“LO GILA APA?!” Pak Wira berteriak, memelototi Siti. “Tuan sama Nyonya lagi gak ada, lo mau rumah ini kebakaran?”
“Loh, bukannya Pak Wira mau ngusir dia? Biar dia cepetan pergi dari sini?” Siti balas berteriak, tidak terima disalahkan.
“Tapi gak gini caranya.” Pak Wira masih melotot, menoyor kepala Siti sekuat tenaga sampai gadis itu oleng. “Dasar tolol. Punya otak dipake!”
“Kenapa jadi guuue yang salah?” Siti masih tidak terima, merotasi matanya.
Pak Wira mengabaikannya, dan bergegas mendobrak pintu dengan bahunya yang tebal. Ia bahkan tidak peduli untuk meminta kunci.
“Gak usah banyak bacot.” Pak Wira bergumam geram. Jika menuruti emosi, ia ingin sekali mencekik gadis jelek iri dengki yang tolol ini.
Asap yang memenuhi kamar berangsur-angsur buyar dan menipis begitu pintu dibuka dan udara masuk dari luar.
Pak Wira menemukan Dara tergeletak di lantai, tidak sadarkan diri.
“Cepetan! Bantuin gua angkat dia ke kamarnya.” Pak Wira berteriak pada Siti yang berdiri diam sambil melipat tangan di depan dada.
“Kok gue?”
“Lo bantu gak?” Pak Wira mengangkat kruknya, berlagak hendak memukul kepala Siti. “Atau mau kepala lo yang pecah?”
Dengan terpaksa, Siti melangkah maju. Pak Wira menyelipkan satu lengan ke bawah kedua dengkul Dara, dan Siti diperintahkan memegang kedua lengan Dara untuk mengangkat tubuhnya.
Beringsut mereka menggotong Dara ke kamarnya, lalu membaringkan gadis itu di tempat tidurnya.
“Awas kalo lo macem-macem lagi!” Pak Wira menunjuk hidung Siti. “Gua laporin polisi atas percobaan pembunuhan lo!”
“Kok? Gua gak ngerti. Pak Wira bukannya benci sama dia? Bukannya mau dia cepet-cepet pergi dari sini?” Siti mengernyit tak mengerti.
Pak Wira tidak menjawab. Setelah menyalakan exhaust fan dan menutup pintu, ia pergi dari kamar Dara.
Ia memang tidak kembali untuk mengecek kondisi gadis itu. Dan itu adalah kesalahan terbesarnya!
Entah mengapa, ia ketiduran, sangat pulas seolah dibius. Bahkan mendapat mimpi buruk yang sangat panjang tanpa ia bisa terbangun. Ketika matanya berhasil terbuka, pagi telah menjelang. Dan hatinya langsung mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi.
Inilah yang buruk itu.
Dara menghilang!
“SITI! SITI!” Pak Wira menggedor-gedor pintu kamar Siti.
Terdengar suara kaki diseret dari dalam kamar. Tak lama, pintu dibuka dan wajah Siti muncul, mengerjapkan mata karena dibangunkan terpaksa.
“Apa sih Pak? Gak ada kiriman kan? Kenapa ribut banget ngebagunin subuh-subuh.” Siti mengomel, mulutnya cemberut.
“Dara hilang,” Pak Wira menjawab singkat.
“Palingan juga nemuin lakinya yang suka nyupang gak kira-kira itu. Dasar gatel. Cih!” Siti mencibir jijik.
“Gak usah banyak omong. Teleponin si Dio sama Hadri, suruh cepetan datang.”
Dio dan Hadri adalah salah dua dari pekerja di sana yang tempat tinggalnya tidak jauh, sehingga bisa segera tiba. Dan kebetulan, keduanya kakak adik yang tinggal serumah.
“Gak ada kiriman buat apa mereka disuruh datang, Pak?” Siti masih bergeming.
“Udaaahh… cepetan. Bisa gak sih lo nurut tanpa banyak tanya?!” Pak Wira mengernyit.
Dengan ogah-ogahan, Siti meraih ponselnya untuk menelepon kedua orang yang dimaksud.
“Cepetan ke sini.” Siti berucap tanpa mengatakan halo, lalu melanjutkan setelah mendengar jawaban dari seberang, “Gak taaauuu… pokoknya Pak Wira nyuruh lo orang datang.”
“Udah ya. Gua mau tidur lagi.” Siti berbalik kembali masuk ke kamarnya.
Pak Wira mendengkus, tidak memedulikannya lagi, lalu berjalan ke arah pintu gerbang, menunggu Dio dan Hadri datang.
Begitu mereka tiba dengan wajah penuh tanda tanya, Pak Wira langsung mengajak mereka pergi.
“Kita mau ke mana, Pak?” Tanya Dio.
“Kirain disuruh datang karena ada kiriman dadakan.” Yang ini Hadri yang bicara.
“Bantuin gua ngecek sesuatu.” Pak Wira berkata singkat.
Mereka berjalan ke arah belakang rumah, menyusuri jalanan tidak beraspal yang mengarah ke hutan bambu. Pak Wira berjalan tergopoh-gopoh, meskipun tampak sulit karena mengenakan kruk.
“Buru-buru banget Pak?” Tanya Dio. "Kita ngejar apaan sih?"
Pak Wira terengah-engah, campuran antara kecepatan gerakannya yang tergesa-gesa dan kegelisahan. Wajahnya tampak cemas.
Akhirnya, mereka tiba di tempat yang dituju.
“Kita ngapain ke sini, Pak?” Hadri menoleh padanya dengan heran.
Karena...
Tidak ada apa-apa di sana selain rawa dan hutan bambu rimbun yang tak terurus. Tidak ada pondok, bahkan tidak ada jembatan yang menyeberangi rawa.
Area itu telah dipagari kawat berduri karena dianggap tidak aman. Menjaga agar tidak ada orang yang tanpa sengaja masuk atau tersesat di sana. Bahkan di pagar itu dipasang papan dengan tulisan besar-besar: "AREA BERBAHAYA. DILARANG MASUK."
Bertahun-tahun yang lalu, pernah ada seorang pemuda yang mati mengenaskan karena digigit ular, dan baru ditemukan tiga hari kemudian.
Nama pemuda itu, Damar.
byk yg qu skip krn byk yg g penting
karyawan baru emg hrs byk belajar g salah jg mirna menyuruh bangun dini hari
Kejutannya di karya ini adalah ternyata Qing Qing dan Dara Sepupuan.
ahh terpaksa komentar di bagi bbrpa kna kepanjangan wkwkwkwk
semangatt ka Dela👍👍👍
spt cinta Damar dan Qing Qing, tak ada yg salah sama Cinta mereka, wlpn Qing Qing 14 thn dan Damar 19 thn, mereka iya salah kna terpancing gelora muda hingga MBA... tapi jika spt ungkapan ada hukum sebab akibat bkn kah Damar dan Qing Qing sudah mendapatkan nya?