Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAH
Setelah sama-sama sepakat untuk menikah demi Emir dan memenuhi keinginan terakhir Amir, akhirnya pernikahan mereka pun terselenggara. Diadakan dengan sederhana dan hanya dihadiri oleh para tetangga sesuai yang Amar katakan, supaya tidak ada lagi yang membicarakan hal buruk tentang mereka terutama Mahira. Akan tetapi yang namanya manusia apalagi tetangga tetap saja ada yang menjadi bahan gunjingan mereka.
"Benar-benar tidak punya perasaan, kuburan suami saja belum kering, dia sudah menikah lagi."
"Nikahnya sama kakak ipar sendiri lagi."
"Atau jangan-jangan mereka sudah ada hubungan sebelum Pak Amir meninggal."
Mahira yang baru saja keluar dari kamar untuk bersiap bersanding dengan Amar yang tengah melafalkan ijab Kabul hanya bisa menarik nafas dalam-dalam mendengar tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan. Meskipun tidak secara langsung, tapi Mahira dapat mendengar dengan jelas gunjingan mereka. Terlebih saat mereka belum selesai berbicara tiba-tiba pengeras suara yang tengah digunakan untuk ijab Kabul seketika mati sehingga gunjingan mereka terdengar lebih jelas. Bahkan beberapa orang turut menatap kearah mereka.
Mereka yang sibuk membicarakan Mahira tersenyum canggung ketika beberapa orang melihat mereka, terlebih saat melihat Mahira di belakangnya di apit oleh ibu dan perias pengantin, membuat mereka saling mencubit satu sama lain.
"E-Mahiraaa... kamu cantik sekaliiii..." puji salah satu mereka bersikap seperti tidak habis menjelek-jelekkan Mahira.
"SAH... SAH... SAH..." kata sah yang para saksi teriakan mengagetkan Mahira yang belum sempat membalas ucapan mereka.
Dengan hati dan pikiran yang tak karuan, Mahira mengikuti Ibu yang menarik tangannya supaya meninggalkan mereka dan duduk di samping Amar untuk menandatangani buku nikah dan prosesi lainya. Tapi sebelum itu untuk pertama kalinya Mahira bersalaman dan mencium punggung tangan Amar yang kini telah resmi menjadi suaminya. Sementara Amar meskipun dengan gerakan yang sangat kaku, Amar mengusap kepala Mahira yang dipenuhi rangkaian bunga melati.
"Sudah boleh di cium kalau mau cium," celetuk Pak Penghulu sehingga membuat Amar dan Mahira canggung dan memaksakan senyumnya.
"Ayo gak papa... jangan malu-malu." Pak Penghulu yang suka bergurau itu semakin mendekatkan keduanya saling berhadapan, kemudian mendorong kepala Amar sampai menyentuh kening Mahira sehingga tawa dan sorak sorai memenuhi ruangan.
"Yeee... hahaha... prok-prok-prok..."
Suara riuh itu mengagetkan Amar dari lamunan panjangnya, dimana seharusnya malam ini menjadi malam yang paling indah bagi pengantin baru, tapi tidak bagi Amar dan Mahira. Karena Amar justru meminta Mahira kembali ke kamarnya setelah memastikan semua orang meninggalkan rumahnya.
"Apa yang ku lakukan, bukankah ini sudah menjadi kesepakatan ku dengan Mahira, lalu kenapa aku merasa bersalah padanya?" batin Amar yang menjadi resah dengan keputusannya.
Sementara di kamarnya, Mahira yang sebelumnya sudah membawa beberapa pakaian dan barang lainnya ke kamar Amar kembali merapikan pakaiannya di lemari. Sebenarnya Mahira sudah mengira pasti ini akan terjadi mengingat kesepakatan yang sudah mereka buat bersama, tapi demi bersandiwara di depan ibu, supaya Ibu percaya jika pernikahan ini bukan hanya kesepakatan bersama tanpa adanya niat untuk menjalani kewajiban sebagai suami istri, sehari sebelum ijab Mahira membawa beberapa pakaian ke kamar Amar. Tapi Sore tadi ibu sudah pulang ke kampung halamannya sehingga tidak perlu lagi Mahira maupun Amar bersandiwara.
Suara tangis Emir mengagetkan lamunan Mahira, Ia bergegas bangkit dan berlari keluar dari kamar untuk melihat Emir yang kini tengah berada dibawah penjagaan baby sitter.
Cklekkk...
"Emir kenapa Mbak?" tanya Mahira begitu melihat baby sitter yang bernama Lia tengah menimang-nimang Emir yang terus menangis tak jauh dari kamarnya.
"Badannya agak panas Nyonya, didalam nangis terus kirain dibawa keluar diem, tapi sama saja, maaf kalau sudah menganggu Nyonya."
"Gak papa, sudah dikasih obat penurun panas belum?" tanya Mahira yang langsung mengambil Emir dari gendongan Mbak Lia.
"Sudah makanya panasnya sudah mulai turun, tadinya lebih panas lagi." jelas Mbak Lia.
Amar yang juga mendengar tangisan Emir bergegas keluar untuk melihatnya. Dengan perasaan cemas Amar mendekati Mahira yang berusaha mendiamkan tangisan Emir.
"Kenapa dengannya?" tanya Amir mengusap kepala Emir. Mendapati Emir panas, Amar semakin khawatir dan langsung mengambil Emir dari gendongan Mahira tanpa menunggu jawaban darinya.
"Sejak kapan dia panas, kenapa tidak membawanya ke Dokter!?" tanya Amar pada Mbak Lia dengan penuh kemarahan. Tapi lagi-lagi Amar tidak butuh jawaban dari mereka karena Amar yang sudah merasa sangat khawatir langsung berlari membawa Emir.
"Kak Amar..." Mahira ikut berlari mengikuti Amar yang berlari membawa bayinya.
Bersambung...
Ditunggu karya selanjutnya
sehat wal'afiat selalu ya mbak Noor.
pasti direkam pula buat bukti