Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Menulis
Pertemuan itu menjadi awal dari kebersamaan kami. Kami mulai sering bertemu dan berbicara tentang banyak hal. Laura menjadi semacam mentor dan sahabat bagiku. Dia selalu tahu bagaimana mengangkat semangatku dan memberikan perspektif baru yang menyegarkan. Aku merasa nyaman dan bebas saat berbicara dengannya.
Hari itu, di toko buku yang sering kami kunjungi, Laura memberikan ide yang mengubah segalanya.
"Ryu," katanya sambil menyeruput kopinya, "kenapa kita tidak menulis novel bersama? Aku bisa merasakan bahwa kamu memiliki banyak cerita dalam dirimu yang belum terungkap. Bagaimana kalau kita menulis tentang kebun apelmu dan kisah cintamu dengan Ringa?"
Aku terkejut dengan saran itu. Menulis novel? Bersama Laura? Ide itu terdengar menarik dan sekaligus menakutkan. Tapi di dalam hatiku, aku tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa kulewatkan.
"Aku tidak yakin, Laura. Aku belum pernah menulis apa pun sebelumnya."
Laura tersenyum dan menggenggam tanganku. "Kamu tidak sendiri, Ryu. Kita akan melakukannya bersama. Aku yakin kita bisa menciptakan sesuatu yang indah."
Aku duduk di ruang kerja Laura, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk memulai bab pertama. Laura duduk di sebelahku, laptopnya terbuka, siap untuk menulis. "Jadi, Ryu," katanya lembut, "bagaimana kita memulai ini?"
Aku mengambil napas dalam-dalam. "Mungkin kita bisa memulai dengan pertama kali aku bertemu Ringa di kebun apel. Itu adalah momen yang sangat berarti bagiku."
Laura tersenyum dan mulai mengetik. "Baiklah, ceritakan padaku detailnya."
Aku memejamkan mata, mencoba membayangkan kembali momen itu. "Waktu itu, ketika kami kecil. Kebun apel sedang berbuah lebat. Ringa datang ketempatku, memanen kebun apelku," aku menceritakan semua yang aku ingat.
Laura mengetik dengan cepat, menangkap setiap kata yang kuucapkan. "Bagaimana perasaanmu saat itu?" tanyanya, matanya tak lepas dari layar laptop.
"Aku merasa... terpikat. Ada sesuatu tentang Ringa yang membuatku ingin mengenalnya lebih dekat. Dia tampak rapuh namun kuat pada saat yang sama. Dan ketika dia tersenyum, hatiku langsung tertawan."
Laura menatapku sejenak sebelum kembali mengetik. "Itu indah, Ryu. Bagaimana dengan interaksi kalian? Apa yang kalian bicarakan?"
Aku tersenyum mengingat momen itu. "Kami berbicara tentang apel, tentu saja. Ringa sangat tertarik pada cara menanam dan merawat pohon apel. Dia ingin tahu segalanya, dan aku senang bisa berbagi pengetahuanku dengannya. Dari percakapan sederhana itu, kami mulai mengenal satu sama lain lebih dalam."
Laura terus mengetik, menambahkan detail demi detail yang kuberikan. Aku bisa melihat bagaimana cerita kami mulai terbentuk di layar laptopnya.
Proses menulis novel kami berlanjut dari hari ke hari. Setiap malam, setelah bekerja di toko buku, aku akan pergi ke rumah Laura. Kami duduk bersama di ruang kerjanya yang nyaman, dengan cahaya lembut dari lampu meja dan aroma kopi yang selalu menenangkan.
Laura selalu mendengarkan dengan penuh perhatian setiap kali aku menceritakan kisahku. Dia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku menggali lebih dalam ke dalam ingatanku. "Bagaimana perasaanmu ketika pertama kali kamu menyadari bahwa kamu jatuh cinta pada Ringa?" tanyanya suatu malam.
Aku menghela napas, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Itu adalah perasaan yang luar biasa. Seperti menemukan bagian dari diriku yang hilang. Ringa membuatku merasa hidup, dan aku tahu bahwa aku ingin selalu berada di sisinya."
Laura tersenyum lembut dan mengetik. "Itu sangat indah, Ryu. Aku bisa merasakan cinta itu dalam kata-katamu."
Kami menulis bab demi bab, menceritakan kisah kami dari awal pertemuan hingga saat-saat sulit yang kami hadapi bersama. Menulis tentang masa-masa bahagia sekaligus menyakitkan ini tidak selalu mudah, tetapi Laura selalu ada untuk mendukungku.
Suatu malam, setelah menulis tentang salah satu perpisahan paling menyakitkan dalam hidupku, di mana orangtua Ringa mengusirku karena hubungan kami yang dianggap tabu—kami adalah sepupu—Laura menatapku dengan mata penuh keprihatinan. "Ryu, bagaimana perasaanmu setelah menulis semua ini?" tanyanya lembut.
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kenangan itu terlalu menyakitkan. "Laura, bisakah kita berhenti sejenak? Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini sekarang."
Laura menghentikan ketikannya dan menatapku dengan penuh perhatian. "Ryu, apa yang terjadi? Apa yang membuatmu begitu terganggu?"
Aku merasakan gelombang emosi yang menggelegak dalam diriku. "Ini terlalu berat, Laura. Setiap kali aku mencoba mengingat saat-saat itu, rasanya seperti luka lama yang terbuka lagi. Aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan."
Laura menatapku dengan penuh keprihatinan, namun aku bisa melihat kilatan frustrasi di matanya. "Ryu, aku tahu ini sulit. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Menulis tentang masa lalu adalah cara untuk menyembuhkan, bukan untuk melukai dirimu lagi."
Aku berdiri, merasa perlu untuk menjauh dari tekanan ini. "Aku tahu, Laura. Tapi aku tidak bisa melanjutkan sekarang. Aku butuh waktu."
Laura menghela napas panjang dan menutup laptopnya. "Baiklah, jika itu yang kamu butuhkan. Tapi kamu harus mengerti, Ryu, menunda ini tidak akan membuatnya lebih mudah. Kita harus menghadapi kenyataan, bukan lari darinya."
Aku merasakan ketegangan antara kami semakin meningkat. "Aku tidak lari, Laura. Aku hanya butuh waktu untuk merenung dan memahami perasaanku."
Laura berdiri dan mendekat, meletakkan tangan di pundakku. "Ryu, aku hanya ingin membantu. Tapi jika kamu terus menutup diri, aku tidak tahu bagaimana lagi caranya."
Aku mundur sedikit, merasa semakin terpojok. "Laura, kamu tidak mengerti. Ini bukan hanya tentang menulis novel. Ini tentang menghadapi rasa sakit yang telah lama terkubur. Aku butuh ruang untuk bernapas."
Laura menatapku dengan mata penuh luka. "Aku mencoba memahami, Ryu. Tapi aku merasa kita berdua berada di jalan yang sama, dan aku tidak tahu apakah kita bisa terus seperti ini."
Aku terdiam, merasakan beban dari kata-katanya. "Mungkin kita memang perlu waktu untuk sendiri-sendiri. Aku menghargai semua yang telah kamu lakukan, Laura. Tapi aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya."
Laura mengangguk perlahan, "Baiklah, Ryu. Aku akan memberimu waktu. Tapi ingat, aku akan terus menulis cerita ini jika kamu menginginkannya."
Aku tersenyum tipis, meski hati terasa berat. "Terima kasih, Laura. Aku juga selalu menghargai itu."
Kami berdiri dalam keheningan sejenak sebelum aku akhirnya berpamitan dan pergi dari rumah Laura. Perasaan campur aduk memenuhi pikiranku, dan aku tahu bahwa hubungan kami sedang diuji oleh ketegangan ini.
Di jalan pulang, aku merenungkan semuanya. Aku tahu bahwa menulis novel ini penting, tetapi lebih penting lagi untuk menjaga keseimbangan emosiku. Laura adalah sahabat dan mentor yang luar biasa, tetapi mungkin aku harus menemukan cara untuk menyembuhkan diri sendiri sebelum bisa melanjutkan cerita kami.
Malam itu, aku duduk di kamar, mencoba merangkai perasaanku. Aku menatap kebun apel yang punya banyak kenangan, mencurahkan segala kegelisahan dan ketakutan yang kurasakan. Dengan memandang kebun apel ini adalah cara untuk merenung dan memahami diriku sendiri.
Hari-hari berikutnya, aku menjaga jarak dari Laura, fokus pada diriku sendiri. Aku tahu bahwa pada akhirnya, kami akan menemukan cara untuk melanjutkan cerita ini bersama-sama, tetapi untuk sekarang, aku butuh waktu untuk menyembuhkan luka lama dan menemukan kekuatan baru dalam diriku.