Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Nasehat Nurita
Pagi Senin itu keduanya sudah berada di kediaman Nurita. Bisma tidak ingin menundanya lagi. Dengan terpaksa Ajeng meninggalkan kerjaannya hanya untuk mengikuti keinginan Bisma yang mengajaknya bertemu mertua.
“Eh, pagi-pagi sekali kalian berdua sudah bertamu di sini ..... “ senyum ramah terpancar di wajah Nurita melihat putra dan menantu kesayangannya sudah bertandang di rumahnya, “Lala mana?”
Matanya memandang ke kiri dan kanan berusaha mencari sosok mungil cantik kesayangannya.
“Di rumah ma, sama sus Rumida,” Ajeng berusaha menjawab dengan ceria untuk menutupi hatinya yang terluka.
Bisma memandang Ajeng sejenak. Ia melihat Ajeng bersikap biasa saja. Ia berharap kerjasama Ajeng untuk meyakinkan mamanya bahwa keputusan mereka adalah yang terbaik.
“Ma, aku ingin membicarakan sesuatu,” Bisma sudah tidak sabar untuk mencapaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka sepagi ini.
“Wah, mama jadi penasaran,” Nurita segera menggandeng tangan Ajeng mengajaknya duduk di sofa ruang keluarga.
Bisma menghela nafas sesaat sebelum mengungkapkan apa yang sejak awal sudah ia pikirkan selama perjalanan.
Kini ia berhadapan dengan mamanya yang duduk di samping Ajeng. Ia harap Ajeng bisa meyakinkan mamanya.
“Aku dan Ajeng sudah sepakat untuk berpisah,” Bisma berkata seketika membuat Nurita membulatkan mata tak percaya.
“Candaan apa ini?” Nurita masih tak percaya dengan ucapan Bisma.
Ia memandang Ajeng yang terdiam tanpa suara. Bagaimana mungkin rumah tangga keduanya yang tampak adem tak bergejolak harus berada di titik ini. Nurita tidak akan membiarkan hal buruk menimpa rumah tangga anak dan menantu kesayangannya.
“Aku serius ma. Kami sudah membicarakan ini,” tegas Bisma.
Nurita menatap Ajeng lekat. Sebagai sesama perempuan ia dapat melihat sorot kesedihan tergambar di wajah menantunya. Ia yakin, setiap perempuan tidak menginginkan terjadinya perpecahan dalam rumah tangga yang telah terbina.
Walau terkadang permasalahan hidup yang terlalu berat, membuat pasangan memilih jalan terakhir sebagai solusi untuk mendapat ketenangan masing-masing.
“Jeng, apa benar apa yang dikatakan suamimu?”
Nurita berusaha meyakinkan pendengarannya. Ia mengelus pundak Ajeng yang terdiam sambil menghela nafas.
Ia mulai yakin, Bisma lah yang telah membuat keputusan. Dan ini pasti berkaitan dengan perempuan yang dibawanya ke rumah beberapa bulan yang lalu saat aqiqahan Lala.
Hati perempuan mana yang tak akan kecewa, jika lelakinya telah menghadirkan seseorang diantara mereka. Apalagi seorang istri, tak akan bisa menerima kenyataan bahwa sang suami telah mendua.
“Nak, katakan semua kebenarannya. Apa benar kamu dan Bisma telah sepakat untuk berpisah?”
Ajeng mengangguk perlahan. Bibirnya terasa terkunci untuk mengungkap kenyataan pahit yang melanda rumah tangganya dan Bisma.
“Apa karena perempuan itu?” Nurita tanpa tedeng aling langsung menembak Bisma yang menatap Ajeng dengan sinis.
“Mama tidak perlu melibatkan orang lain dengan perpisahan kami,” Bisma berusaha mengelak atas tuduhan yang dilontarkan mamanya.
“Yang namanya perpecahan dalam ruamah tanggga tentu saja ada pemicunya. Mama yakin kalian tidak punya masalah. Semuanya baik-baik saja. Tapi semenjak kamu membawa perempua n itu, semua jadi berubah.”
“Namanya Deby ma. Bukan dia yang menyebabkan kami berpisah,” Bisma tidak terima dengan tuduhan Nurita yang terus menerus menyudutkan perempuan yang secara perlahan mulai hadir di benaknya.
“Kamu putra mama satu-satunya. Walau kamu berusaha mengelak, seorang ibu paling tau apa yang disembunyikan putranya,” Nurita berkata dengan parau.
Ia tidak menyangka hati Bisma begitu keras. Dapat ia rasakan bahwa pikirannya sama dengan Ajeng, bahwa kedekatan Bisma dan Deby lah yang membuat perpecahan dalam rumah tangganya.
“Terserahlah, mama bisa menyimpulkan apa pun. Hanya mama perlu tau, pernikahan yang ku jalani hampir dua tahun ini tidak memberikan apa pun dalam kehidupanku,” Bisma mulai mengakui apa yang ia rasakan dalam rumah tangga yang telah mereka arungi.
Hati Ajeng kembali teriris mendengar ucapan suaminya. Pengorbanan yang ia berikan selama ini, ternyata tidak memberi arti dan berdampak apa pun pada Bisma.
“Kamu bilang apa?” Nurita tak mempercayai pendengaranya.
“Tak perlu ku jelaskan,” Bisma menolak untuk mengatakan semua pada mamanya, “Selama ini aku sudah berusaha memenuhi keinginan mama. Dan aku sudah mengabulkan keinginan mama untuk memberikan seorang cucu.”
Nurita menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Bisma. Nafasnya sesak. Ia merasa terluka atas pengakuan Bisma. Ia melihat Ajeng yang diam tanpa kata. Ia berdosa pada menantunya karena memaksakan kehendak yang membuat anak dan menantunya tidak bahagia dengan pernikahan yang mereka jalani.
“Aku bukan suami yang baik buat Ajeng. Dan aku merasa berdosa karena menjadi suami yang dzolim .... “
“Apa semua ini tidak bisa diperbaiki? Kalian berdua telah memiliki Lala. Bertahanlah untuk tumbuh kembangnya,” pinta Nurita penuh harap.
Bisma menggelengkan kepala dengan tegas, “Sampai kapan pun Lala adalah putriku. Kami bisa berbagi waktu untuk membesarkannya.”
“Mama tak habis pikir dengan jalan pemikiranmu .... “ Nurita menggeleng-gelengkan kepala atas kekeuhnya pendirian putranya.
“Mama tidak usah khawatir. Menantu mama tetap akan pendapatkan tunjangan dengan perpisahan kami. Dia tidak akan kekurangan walau pun kami tidak bersama. Aku sudah memperhitungkan itu sejak awal,” ujar Bisma sambil memandang Ajeng datar.
Ucapan Bisma sangat melukai Ajeng. Ia tau bukan kali ini saja Bisma mengatakan bahwa ia hanya menginginkan hartanya.
“Nak .... “ Nurita menepuk pundaknya yang terpekur dalam kesedihan.
“Ya ma .... “ suara Ajeng nyaris tak terdengar.
“Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?” Nurita bertanya dengan prihatin.
Berusaha mengumpulkan kekuatan yang tersisa Ajeng menampilkan senyum walau pun berbalut luka.
“Mama tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja,” lirih Ajeng getir.
Ia tidak ingin memandang wajah datar Bisma. Saat lelaki batu bergelar suaminya mengucapkan kata pisah, ia meyakinkan diri dalam hati tidak akan memandang wajah yang telah menorehkan luka di lubuk hatinya terdalam.
“Tidak! Mama tau Bisma telah memaksamu menerima semua ini,” Nurita masih berusaha membujuk keduanya dengan segala wejangan sebagai orang tua ia sampaikan..
Ia yakin Ajeng akan menuruti perintahnya. Ia ingin menantunya bersabar dan tetap mempertahankan pernikahan mereka. Ia tidak ingin keluarga besar mereka mengetahui keretakan hingga menyebabkan perpisahan dalam keluarga kecil Bisma.
“Mama jangan mengkhawatirkan tanggapan orang-orang,” Bisma menyadari kegundahan mamanya, “Perceraianpun tidak akan terjadi secepat ini.”
Luka hati Ajeng kembali berdarah mendengar Bisma yang menyebut kata cerai dengan enteng. Ia tidak tau, bagaimana harus menceritakan masalah besar ini pada Dimas dan lek Yati keluarga terdekatnya.
“Apa kamu sudah mempunyai rencana menikahi perempuan itu?” Nurita benar-benar kesal dengan jalan pikiran Bisma.
Tapi kembali lagi ke masalah hati, ia sadar tidak bisa selamanya memaksakan kehendak yang hanya membuat keduanya menderita dalam pernikahan mereka.
“Jika waktunya tepat, mama pasti orang pertama yang akan ku beritahu. Tapi tidak dalam tahun ini. Semuanya masih perlu waktu,” nada Bisma mulai santai mendengar suara mamanya yang melunak.
Tatapannya kembali pada Ajeng yang termenung menatap ke luar jendela. Ia tidak tau apa yang berada dalam pikiran istrinya yang tak lama lagi akan menjadi mantan.
“Jika ini sudah menjadi keputusan kalian berdua, mama bisa berkata apa....” Nurita berkata dengan pasrah, “Mama hanya mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Bagi mama, Ajeng bukan hanya menantu, tapi sudah menjadi putri mama seperti Mayang.”
Bisma merasa lega setelah mengungkapkan keinginannya dan mamanya merespon dengan positif walau tak bisa menyembunyikan kesedihan di wajahnya yang semakin menua.
“Dalam dua bulan ke depan, mungkin aku tidak bisa pulang. Kerjaan di Jakarta begitu menyita waktu,” Bisma melanjutkan perkataannya, “Sore ini aku akan kembali ke Jakarta.”
Bisma tidak menunggu lama di rumah mamanya. Ia pamit kembali ke rumah untuk bersiap kembali ke Jakarta. Ajeng masih bertahan di rumah Nurita karena mertuanya meminta ia tinggal sementara.
Setelah kepergian Bisma, keduanya terlibat percakapan serius. Nurita mulai mengungkit rasa penasaran akan perpisahan yang kini dialami putra dan menantu kesayangannya itu.
“Sebenarnya sebelum saya mengandung Lala, mas Bisma telah mengungkapkan keinginannya untuk berpisah .... “ Ajeng berkata lirih berusaha mengingat kembali semua yang pernah mereka bicarakan setahun lewat.
“Astaghfirullahaladjim .... “ Nurita menepuk dadanya yang terasa sesak.
Ia tidak menyangka putra kebanggaannya bisa menyakiti menantu kesayangannya sedalam itu.
“Mungkin jodoh kami memang hanya sampai di sini ma ....” pasrah Ajeng sambil menatap wajah Nurita yang kelihatan kesal bercampur sedih.
“Maafkan mama nak. Mama tidak tau kamu menderita dalam pernikahan ini,” rasa sesal begitu dalam di mata Nurita saat mengatakannya.
Ajeng menggelengkan kepala. Ia tidak ingin membuat mertuanya yang begitu menyayanginya bersedih.
“Mama tidak bersalah. Semua sudah takdir dari Yang Kuasa dan harus saya terima dengan lapang dada,” Ajeng sudah menerima kenyataan bahwa Bisma memang bukan tercipta untuknya.
Nurita memeluk Ajeng dan menumpahkan tangisnya. Ia tau bahwa menantunya itu memang perempuan shaleha dan ia tidak akan membiarkan keduanya dalam kesusahan jika perceraian telah dilegalkan.