Ia hanya sesosok boneka pada awalnya, hingga satu panggilan membuatnya terjaga.
Bergerak, bicara, bahkan menuruti apa yang kau pinta.
Ia melakukan apapun, asal kau berikan darahmu, sebagai bayarannya.
Namun, jangan sampai lengah! Karena ia akan menghisap jiwamu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedelapanbelas
“Haaa...”
Semua terkejut melihat Deny yang mendadak histeris. Remaja itu melempar piringnya, disusul piring-piring lain yang tergeletak di meja.
“Deny, kenapa?” Mayang panik. Ia berusaha menahan Deny yang tiba-tiba histeris, ketakutan.
“Singkirkan ini! Menjijikkan!” Deny mash berusaha melempar piring di meja tapi Mayang menahannya.
“Apa yang menjijikkan? Ini cuma makan malam biasa.” Mayang mengguncang bahu Deny. Deny terdiam sejenak, lalu melihat ke arah meja. Memang tidak ada yang aneh di sana, hanya makan olahan cumi yang tersaji, bukan potongan tubuh Salima. Melihat itu membuat Deny makin frustasi. Ia merasa mulai gila. Deny menjambak rambutnya kemudian membentur-benturkan kepalanya ke meja.
“Deny...” Maila berdiri dan menahan Deny menyakiti dirinya sendiri. “Hei, hentikan!”
Aini pun berusaha menenangkan tapi sepertinya percuma, Deny masih saja membenturkan kepalanya. Sampai akhirnya Mayang melayangkan tamparannya pada wajah Deny. Deny diam, kepalanya tertunduk, kemudian terisak.
“Lihat mama, Deny!” Mayang menyentuh wajah Deny, membawanya menghadap padanya.
“Ada apa?” tanya wanita itu.
“Aku diteror, Ma! Kalau gini terus aku beneran bisa gila.” Deny terlihat putus asa. Mayang berusaha menenangkan dengan mengusap bahunya.
“Teror apa yang kamu maksud? Kenapa nggak pernah cerita selama ini?”
“Aku kira mama nggak bakal percaya.”
“Mama selalu percaya anak mama.”
“Teror hantu boneka kayu.” Deny sedikit bergetar saat mengatakan itu. Saat itu Maila langsung berlutut di hadapan Mayang.
“Maafin saya, Tante. Ini semua gara-gara saya ngajarin Deny memanggil setan dengan boneka.”
“Apa?”
***
“Semua sudah terjadi, tidak perlu ada yang disalahkan.” Mayang tak menunjukkan kemarahan ketika Maila menceritakan semua yang telah terjadi. Deny sudah tertidur setelah lelah dengan pikirannya. Sementara Maila, Aini dan Mayang tak dapat tidur hingga tengah malam.
Aini menatap puterinya, “Kamu kenapa aneh-aneh, sih? Pantes selama ini kamu ditakuti anak-anak sebayamu!”
Maila terisak, Maila mengaku salah, dan hanya bisa mengatakan, “maaf, Bu. Maafkan aku.”
“Maafmu nggak bikin semuanya membaik!” teriak Aini, lalu memukul bahu Maila.
“Sudah, bi Aini jangan marahin Maila.” Mayang menahan tangan Aini yang hendak mendarat di bahu Aini. “Bisa jadi yang dilihat Deny di ruang makan tadi hanya halusinasi. Besok saya coba bawa dia ke psikolog.”
Brak!
Obrolan mereka teralih ketika terdengar suara gaduh dari kamar tamu. Deny memang lebih memilih tidur di sana tadi. Mayang buru-buru beranjak menuju kamar tamu dan melihat apa yang terjadi. Mayang melihat isi bantal di kamar tamu sudah berhamburan ke penjuru arah. Deny berdiri di atas ranjang dengan menggenggam pisau cutter.
“Apa lagi yang terjadi, Deny?”
Tidak menjawab, Deny justru menancapkan cutter-nya pada bantal lagi, berkali-kai.
“Deny, jangan.” Mayang berusaha merebut pisau cutter di tangan Deny, tapi keduanya justru saling berebut dan ujung pisau itu sampai menggores pipi kiri Mayang.
“Astaga, Nyonya nggak apa-apa?” Aini melihat ada darah uang mengalir di belah pipi Mayang. Namun wanita itu hanya menggeleng dan menjelaskan bahwa itu hanya luka kecil.
“Nggak apa-apa, tenang saja.”
“Pergi! Pergi!” teriak Deny, “Kamu mau apa lagi dariku?” tanya Deny yang tak bisa dimengerti.
“Ini mama, Nak. Kamu tenang dulu.”
Deny meraih selimutnya, lalu bersembunyi di baliknya. “Pergiii...!”
“Oke-oke, kami pergi.”
***
Ini benar-benar sudah gila. Deny melihat Salima ada di mana-mana. Semua membuat Deny frustasi, bermula dari ruang makan tadi, Deny melihat potongan tubuh Salima sebagai menu makan malamnya. Kemudian saat di kamar barusan, saat Deny berusaha tidur, yang ia lihat rambut tebal Salima yang ia gunakan sebagai bantal sehingga ia terus menerus mencoba memotong rambut panjang yang mengerikan itu dengan pisau cutter. Tidak sampai di situ saja, karena detik berikutnya ia melihat Salima muncul dari balik pintu, bukan hanya satu melainkan tiga.
Ketiga Salima itu mendekatinya, bahkan ada yang berusaha merebut pisau cutter-nya. Deny bisa melihat wajah emosi Salima saat boneka itu gagal mendapatkan pisaunya.
“Pergi!” teriak Deny. Beberapa kali ketiga Salima itu menoleh ke arahnya, namun sesaat kemudian mereka keluar kamar dengan teratur. Tubuh Deny melemas seketika, kaki-kakinya goyah dan saat itu juga ia jatuh terduduk di ranjang. Justru saat ketiga Salima itu baru melewati pintu kamar, Deny melihat bahwa ketiga sosok itu bukanlah Salima melainkan mama Mayang, Maila dan bi Aini. Menyadari itu Deny mengurut kening, mendadak kepalanya pusing. Mungkin karena terlalu banyak pikiran. Barangkali tidur sejenak bisa meredakan migrennya.
Nyatanya tidak, teror Salima tidak pernah mengizinkan Deny tenang barang sejenak. Suara dentang jam kuno yang entah dari mana asalnya terdengar memenuhi penjuru ruang. Deny menyembunyikan kepalanya di balik guling, ia meringkuk saat suara itu semakin lama semakin jelas terdengar. Disusul suara langkah kaki yang terseret, menggema secara konstan.
Srak... srak... srak...
Napas Deny tersengal. Bulu di sekujur tubuhnya meremang. Hingga ia merasakan sentuhan tajam di kaki, Deny tercengang. Ia berusaha menghempaskan kakinya untuk menjauhkan sesuatu yang menempel di kakinya. Namun tak berhasil, ia sontak terduduk dan berteriak, “pergilah! Kumohon jangan ganggu aku lagi.”
Sosok wanita dengan rambut panjang mengerikan itu menghilang. Deny menahan napasnya sejenak, masih merasa was-was. Hingga beberapa saat sosok itu tak muncul lagi, Deny baru bisa merebahkan tubuhnya ke ranjang.
Deny terbaring di ranjang sejak beberapa jam yang lalu, matanya menatap langit-langit kamar. Sejak Maila menghancurkan tubuh boneka Salima, bukannya tenang Deny justru merasa Salima makin menjadi.
“Deny...”
Deny menoleh pada sumber suara, tapi tidak ada siapapun di sana. Ia bangkit dan duduk di sisi ranjang, lalu menghela napas, merasa bahwa ia hanya berhalusinasi. Sepertinya ia harus menyambagi dokter kejiwaan, tapi ia yakin dokter akan bilang Deny dalam keadaan baik-baik saja. Deny pun yakin jika ia masih waras, sama sekali tidak mengalami gangguan apapun. Dan jika sekarang ia melihat darah yang menetes-netes dari langit-langit kamarnya, Deny berharap ia sedang bermimpi. Mimpi yang mengerikan, melihat tetes-tetes darah yang membasahi lantai kamarnya. Awalnya hanya setetes dua tetes, namun makin lama aliran darah itu menyerupai anak sungai yang bergerak dengan arus deras.
Deny berlari menuju kamar mandi, lantas mengunci pintu. Namun darah-darah itu masuk melalui sela di bawah pintu dan tetap masuk kamar mandi. Deny menggeleng, lantas menepuk wajahnya keras-keras. Ia menatap wajahnya di cermin wastafel, ia menyalakan kran air dan mencuci mukanya. Dinginnya air membuat Deny benar-benar sadar jika ini bukan mimpi. Deny mundur ketika aliran darah itu makin mendekat ke arahnya, ia terus mundur hingga tumitnya membentur sesuatu, dan ia pun jatuh tercebur dalam bathtub. Bathtub yang tak berdasar. Deny seperti tercebur dalam danau sedingin es. Pemuda itu mencoba berenang ke permukaan, namun kakinya kram. Ia hanya bisa bergerak-gerak tak tentu arah hingga ia lelah, dan tubuhnya melemah. Tubuh Deny perlahan turun ke dasar bathtub.
Deny masih beruntung karena Maila cepat menemukannya terkapar di dalam bathtub. Gadis itu panik saat melihat wajah Deny yang memucat, ia menarik pemuda itu keluar dari dalam bathtub dan menampar wajahnya.
“Hei, kamu mencoba bunuh diri?”