Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 29
Aku, Lia dan Denada tidak datang terlambat, justru 30 menit lebih awal. Kami sudah menunggu dan memesan minuman untuk dinikmati sebelum mama Raisa yang kami panggil Tante Yanti datang. Tidak seperti biasanya, kami tidak banyak bicara kali ini, ada ketegangan yang dirasa sehingga kami memilih banyak bungkam satu sama lain. Entah apa yang ada di pikiran merak, apakah sama denganku.
Tak lama, Tante Yanti datang sendiri tanpa suaminya. Meski sedang digeluti kesedihan, ia tetap terlihat tenang, ditambah balutan baju yang anggun membuat ia terlihat lebih muda dari usianya juga lebih mahal aura nilai dari dalam dirinya.
"Udah dari tadi?" Tante Yanti langsung mendatangi kami tanpa basa-basi.
"Baru, kok Tan. Duduk aja dulu." pintaku santai. Aku tidak mau karena gugup, aku akan merusak suasana. Ia duduk tegap penuh percaya diri. Kalau sudah dandan seperti ini, siapa sangka perempuan ini sudah memiliki dua anak yang sudah dewasa.
Sebelum mengobrol, Tante Yanti memesankan makanan terlebih dahulu, awalnya aku menolak jika akn ditraktir. Tapi ia memaksa, katanya ini sebagai tanda awal perkenalan kami semua, iya. Tante Yanti berjiwa muda sekali.
Sambil makan dengan santai, sesekali kami menyinggung soal Raisa, tapi Tante Yanti seperti sedang menyiapkan mental. Ia tidak langsung menjawab, perlahan memperbaiki posisi dan kembali melahap sedikit demi sedikit sajian yang ada.
"Raisa hamil." Tante Yanti mengagetkan, Lia sampai tersendat karena shock. Lia memang tidak baru sekarang mendengar kabar burung itu, tapi karena mendengar dari orang tua Raisa langsung, membuat tenggorokan Lia tidak nyaman.
"Serius Tante?" tekan Denada sambil menatap fokus pada wajah Tante Yanti.
"Tante juga tidak tau kenapa dia se-ceroboh ini." katanya mulai terbata-bata.
"Terus, Tante bicara apa pada Raisa sehingga Raisa memilih kabur?" tanyaku juga ingin ada kelanjutan dari cerita Tante Yanti yang terpotong.
"Tante meminta Raisa menggugurkan kandungan, karena laki-laki yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab dengan banyak alasan. Iya, Tante tau dia bukan tidak mau, tapi tidak diizinkan, tapi apakah orang rumahnya memiliki itikad baik, minimal meminta maaf? Tidak, tidak ada!" Tante Yanti menjelaskan dengan emosi memuncak. Terlihat sekali kemarahan terlukis di wajahnya.
"Jujur sih Tante, meski pun terdengar jahat, aku juga sempat berpikir seperti itu. Karena kemungkinannya kecil kalau laki-laki itu mau bertanggung jawab." sahutku. Denada tiba-tiba saja menendang lewat bawah. Aku kaget, maksud Denada apa?
"Maksudnya kamu sudah tau kalau Raisa hamil." Tante Yanti melotot dan sedikit ternganga setelah melontarkan pertanyaan. Ah sial, kenapa Denada tidak memberi briefing tadi.
"I-i-iya Tante, maaf." mau tidak mau aku harus jujur karena tersudut.
"Dari mana kamu dengar kabar itu?" tekan Tante Yanti menatap penuh harap.
"Kampus," timpal Lia ingin menyelamatkanku membuat Tante Yanti sontak menoleh pada Lia yang sedari tadi hanya diam menyimak.
"Ya Tuhan. Jadi di kampus sudah banyak yang tau, dari siapa?" Tante Yanti melirik kecil pada Denada.
"Tidak, Tante. Maaf. Aku dengar dari sahabat dewa persoalan ini. Bukan Denada." lanjutku, aku takut, ucapanku semakin melarut dan menimbulkan salah paham. Tante Yanti terdiam sejenak, rasanya ia memang salah jika menyembunyikan sesuatu yang sejak kemarin ia pikir adalah rahasia keluarga pribadi tanpa orang luar tahu. Tante Yanti masih tidak bicara, corak bingung mulai timbul di raut wajahnya.
"Kira-kira, apa kita bisa bantu sesuatu Tante?" Denada bersuara layu, berusaha menghangatkan suasana.
"Tante bingung, malu rasanya kalau memang sudah banyak yang tau. Di mana pula anak itu bisa ditemukan. Ponselnya dibawa dan sudah tidak aktif. Seandainya dia mengerti, orang tuanya melakukan ini demi masa depan yang akan ia kenyam, sayangnya Raisa salah paham." matanya mulai berkaca-kaca, ya. Orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya memiliki masa depan yang cemerlang, karir yang bagus, kehidupannya an yang layak. Orang tua hanya ingin membantu memberi jalan dan peluang agar anak-anaknya bisa kembali ke jalan yang benar, meski memang, caranya tidak baik. Lagi pula benar, Dewa tidak mau bertanggung jawab, lantas apa yang harus diperjuangkan lagi?
"Loh, bagaimana dengan cctv rumah sakit?" Denada baru kepikiran.
"Sudah dicek, orang itu menggunakan pakaian serba hitam dan menutup wajahnya pakai topeng."
"Niat sekali orang itu. Apa Tante berpikir akan melaporkannya ke polisi?" Lia bereaksi.
"Belum, masih banyak yang Tante pertimbangkan, terlebih tentang kabar kehamilan Raisa. Tante takut jika membuat laporan dan berita, keluarga besar kami akan malu. Apa lagi kakek Raisa itu masih kolor soal keturunan ningrat. Jadi kalau Tante nekat, anak itu pasti diminta untuk dikeluarkan dari kartu keluarga. Tante mana tega." aku semakin mengerti mengapa orang tua Raisa terpaksa menyuruh Raisa membuang janin di dalam perutnya.
Karena tidak lagi kuat menahan beban, Tante Yanti menangis hingga sesenggukan. Ia menyesali diri mengapa tidak bisa menjaga Raisa dengan ketat, padahal seandainya pak Joyo, ayah Raisa yang berkata tidak tidur, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.
"Tante, kemarin aku juga dengar kalau Dewa tidak ditemukan oleh keluarganya, mungkin tidak ya kalau dia memang dalang dibalik ini semua?" aku menerka-nerka.
"Bisa jadi, lalu bagaimana?" Tante Yanti butuh penjelasan.
"Sebelum melapor. Kita ancam keluarga Dewa untuk ikut mencari keberadaan anaknya. Kalau tidak kita akan menyebarkan berita hamilnya Raisa dengan bukti bahwa selama ini Raisa pacaran dengan Dewa."
"Apa mereka akan bergerak?" sambung Lia.
"Tentu Li. Mereka juga, kan takut reputasi keluarganya hancur. Minimal mereka tidak lepas tangan atas hal ini." aku meyakini ucapanku. Tante Yanti hanya mengangguk mulai menyetujui. Akhirnya kami sepakat untuk tetap berpura-pura tidak tahu bagaimana tentang Raisa, namun tetap mencari info demi ketenangan keluarganya.
Keesokan harinya, aku mendatangi Riski yang terlihat lesu, matanya memiliki kantung seperti kurang tidur. Ah, laki-laki biasa main game hingga larut malam, itu sebabnya mereka selalu terlihat pucat pasi di siang hari seperti vampir. Mendengar permohonanku, Riski dengan senang hati memberikan nomor telepon dan juga alamat rumah Dewa, dan sejak saat ini lah misi kami dimulai. Semua harus diusut secara tuntas, karena Raisa memiliki hak untuk merdeka, ia tidak boleh terjebak dalam permainan kutu bangsat Dewa, aku, Lia dan Denada tidak boleh terlambat dalam menyelamatkan Raisa dan masa depannya. Mumpung janin yang dikandung juga masih kecil, bayangkan jika sudah semakin membesar, mana mungkin juga kami tega melakukan hal-hal buruk padanya. Itu sebabnya kami harus berjuang hingga batas waktu yang kami tentukan sendiri. Yakni, dua bulan.