Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Harini
Mentari belum sepenuhnya terbit, namun Ayu sudah disibukkan dengan pekerjaan rumah. Setelah menjalankan kewajibannya, ia langsung ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Sejak hari ini, Ayu tak hanya menjual baju secara online, namun juga menjadi kurir supaya bisa mendapatkan gaji lebih. Lumayan dan berharap bisa menabung. Selain itu ia juga masih lanjut menulis dan mulai banyak dikenal kalangan. Meskipun sebagian dari mereka julid dengan tulisannya, tetap saja itu menjadi nilai tersendiri.
"Kamu berangkat jam berapa, Yu?" Tiba-tiba suara Harini menyapa.
"Jam tujuh, Mbak.'' Ayu meletakkan panci yang berisi air di atas kompor lalu menyalakannya.
Harini menepuk pundak Ayu dari belakang.
"Apa Ikram gak pernah memberimu uang?" tanya Harini menyelidik.
Ayu menyiapkan beberapa gelas dan mengambil susu. "Aku bukan lagi tanggung jawab mas Ikram. Itu artinya dia tidak wajib memberi uang padaku," bantah Ayu.
Malas membahas orang yang menurutnya tak penting.
"Mbak mau sarapan apa?" tanya Ayu lagi-lagi harus mengalihkan pembicaraan demi menutupi keburukan mantan suaminya.
"Terserah kamu saja, aku ikut," jawab Harini berlalu ke kamar mandi.
Ayu menggeleng kecil. Menatap punggung Harini yang mulai menjauh. Kemudian memilih bahan yang akan dimasak.
Hanan yang baru bangun pun duduk di ruang makan. Menemani Ayu yang bergelut dengan bumbu dapur. Masih malas melakukan sesuatu.
"Hari ini mama pulang?" tanya Hanan pada Harini yang baru keluar dari kamar mandi.
''Iya, Nak. Nanti kalau kangen dengan kamu dan adik-adik, mama akan ke sini."
Sebenarnya Harini tidak ingin meninggalkan mereka, akan tetapi demi misinya, ia harus menjauh lebih dulu.
"Apa kamu mau ikut?" tawar Harini mengangkat dagu Hanan.
Hanan menggeleng tanpa suara. Perlakuan Ikram masih terus membayangi otaknya hingga ia tak ingin bertemu dengan pria tersebut.
Seperti hari biasanya, setiap pagi Ayu tak hanya berbenah rumah dan menyiapkan sarapan, namun juga membantu Hanan dan Alifa yang akan bersekolah. Mereka paling utama sebelum memandikan Adiba.
"Kalau kamu kerja Adiba ikut siapa?" tanya Harini membantu Hanan memakai sepatu.
Ayu mengambil tas dan meletakkan di sofa.
"Bu Ninik. Dia yang suka membantuku, Mbak."
Harini manggut-manggut mengerti. Mengambil uang pecahan lima puluh ribuan dan memberikan pada Hanan.
"Ini untuk uang jajan. Tapi jangan dihabiskan," tutur Harini memasukkan uang itu ke saku seragam sekolah Hanan.
Namun, dengan sigap Hanan mengambilnya lagi dan memberikan pada Harini.
"Tidak usah, Ma. Aku sudah punya banyak uang." Menunjuk celengan yang ada di atas lemari yang membuat Ayu dan Harini terkekeh.
Semenjak pindah bocah itu pun rajin menabung. Menyisihkan uang jajannya demi bisa bersekolah tinggi.
Hanan berangkat lebih dulu. Setelah itu Ayu menyiapkan bekal untuk Alifa. Sedangkan Harini sibuk bermain dengan Adiba.
"Mbak pulang naik apa?" tanya Ayu seraya merapikan rambut Alifa.
"Naik taksi saja. Kamu sendiri berangkat kerja naik apa?" Harini balik tanya.
Ayu menyungutkan kepalanya ke arah motor yang terparkir di teras. Ia memutuskan menjadi kurir hingga Irma menyuruhnya membawa motor yang ada di toko.
Disaat seperti ini Ayu masih bisa tersenyum. Apa Rani bisa seperti dia?
Jika mengingat tentang Rani, darah Harini mendidih. Dia ingin segera pulang dan memulai misinya.
Ayu sudah siap, begitu juga dengan Adiba, Alifa dan Harini. Mereka keluar dari rumah.
Berhenti di depan rumah Ninik. Berpamitan dengan si bungsu yang pasti akan berpisah seharian penuh.
"Jangan nangis ya, mama akan segera pulang," ucap Ayu mencium kedua pipi Adiba bergantian.
Dari relung hati terdalam tak tega meninggalkan sang putri, namun keadaan memaksa melakukan itu.
Alifa duduk di bagian depan, sedangkan Harini di jok belakang. Sekalian memakai helm karena Ayu akan mengantarnya pulang setelah mengantar Alifa ke sekolah. Kasihan jika harus memesan taksi atau kendaraan lain, pasti akan menunggu lama.
Ayu sangat hati-hati melajukan motor. Bukan karena takut jatuh, tapi ia tak ingin membuat Harini tak nyaman karena terlalu cepat.
Sementara itu di rumah Ikram
Rani membisu melihat Ikram sibuk menyiapkan kamar untuk Harini.
"Itu letakkan di sana!" Ikram menunjuk kursi busa yang ada di sudut ruangan.
Memilih gorden jendela yang sesuai dengan kesukaan sang kakak. Sedikitpun tak ingin membuat wanita itu kesal karena kamar yang tak layak.
Suara bel motor terdengar begitu nyaring. Ikram dan Rani menoleh ke arah pintu yang sedikit terbuka. Namun, hanya nampak ban motor bagian depan.
"Coba kamu lihat! Siapa yang datang?" pinta Ikram pada Rani yang nganggur.
Dengan berat hati, Rani memenuhi perintah sang suami. Ia membuka pintu lebar-lebar.
"Aku pergi dulu ya, Mbak," pamit Ayu. Melirik ke arah Rani yang berdiri di ambang pintu.
"Hati-hati! Semoga orang yang suka nyakitin kamu hidupnya tidak bahagia." Ucapan itu sedikit melenceng, namun Harini merasa puas, karena secara tidak langsung itu adalah sindiran untuk Rani.
Ayu hanya tersenyum seraya melambaikan tangannya. Melajukan motornya keluar dari gerbang.
Harini masuk. Melintasi Rani tanpa menyapa. Sungguh, suaranya mahal dan tidak ingin berbincang dengan wanita itu. Ia menghampiri Ikram yang sibuk berbicara dengan benda pipihnya.
"Apa kamarku sudah siap?" tanya Harini ketus.
Ikram menunjukkan sebuah ruangan yang semalam di renovasi seapik mungkin. Berharap Harini akan menyukainya.
"Aku lapar, suruh istrimu memasak untukku." Harini duduk di tepi ranjang dengan pandangan yang langsung mengarah pada foto kedua orang tuanya.
Ikram meninggalkan Harini. Menghampiri Rani yang ada di ruang tamu.
"Mbak Harini mau makan masakan kamu," suruh Ikram dengan lembut.
Apa-apan sih ini? Kenapa jadi aku yang masak? Bukankah di sini banyak pembantu?
Rani hanya bisa menggerutu dalam hati. Ia tak mau menciptakan masalah yang membuat Ikram marah.
"Tapi aku gak terlalu bisa masak, Mas?" keluh Rani.
"Perempuan kok gak bisa masak. Lalu, apa yang kamu bisa," sahut Harini dari arah kamar.
Rani tak berani protes. Ia langsung ke dapur dan mengambil bahan makanan yang ada di lemari pendingin.
"Ingat, aku mau masakan kamu, bukan orang lain," ucap Harini tiba-tiba. Entah kapan datangnya wanita itu, Rani tak menyadarinya.
Sekarang kamu boleh menang, tapi nanti aku yang akan menang dan tidak akan ada lagi yang berani memerintahku seperti ini.
Rani melanjutkan aktivitasnya. Sesekali melihat ponsel demi bisa membuat makanan yang lumayan enak.
Selang tiga puluh menit Rani sudah selesai. Ia bersandar di dinding belakang. Mengurai rasa lelah yang memenuhi dadanya.
"Ternyata capek juga. Aku akan pastikan ini adalah yang pertama juga terakhir."
Menyusun makanan di meja makan. Meminta asisten rumah tangganya memanggil Harini.
Harini duduk di meja makan. Menatap makanan yang tersaji di depannya.
"Silahkan dimakan, Mbak!" ucap Rani pura-pura lembut. Bersandiwara seperti layaknya orang baik.
kueh buat orang susah ga harus yg 500rb
servis sepedah 500rb
di luar nalar terlalu di buat2