Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Hujan yang Menyisakan Luka
Pagi itu, hujan masih mengguyur Kota Malang. Langit terlihat kelabu, memantulkan suasana hati Frasha yang sedang kosong. Rumahnya sunyi, hanya dihiasi gemerisik hujan yang jatuh di atap dan jendela. Frasha berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Tatapannya dingin, tetapi di matanya tersimpan cerita yang tak terucap. Semalaman ia sulit tidur. Kenangan bersama Alarick terus menghantui pikirannya, bercampur dengan bayangan Alastar yang kian sulit ia pahami.
Bunda Frasha mengetuk pintu kamarnya dengan pelan. “Frasha, kamu sudah siap ke sekolah?” tanyanya dari balik pintu.
Frasha menarik napas panjang. “Iya, Bun. Sebentar lagi,” jawabnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Ia tahu hari itu akan menjadi hari yang panjang, tetapi ia tak ingin terlihat lemah, terutama di depan Alarick atau Alastar.
Di ruang tamu, Alarick sedang menunggu. Ia sudah berada di rumah itu sejak 20 menit yang lalu, mengenakan seragam sekolah yang rapi.
Bunda Frasha menyiapkan sarapan sederhana untuk Frasha dan Alarick. Ia berjalan ke ruang tamu, menghampiri Alarick yang duduk di sofa.
“Alarick, sarapan dulu sebelum kamu ke sekolah. Jangan sampai lemas, roti sama susu hangat sudah Bunda siapkan untuk kalian di meja makan,” ujar Bunda Frasha.
Alarick tersenyum kecil, lalu mengikuti langkah Bunda Frasha menuju meja makan. Ia duduk sambil berkata, “Kebetulan Alarick juga belum sarapan pagi, jadi Alarick makan duluan ya, Bun.” Ia menyesap susunya perlahan, mencoba mengalihkan pikirannya yang terus memikirkan Frasha.
Bunda Frasha hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu kembali ke dapur.
Langkah kaki Frasha terdengar mendekat, membuat suasana di meja makan berubah. Alarick berdiri, sedikit canggung, sementara Frasha hanya menatapnya sekilas sebelum mengambil posisi duduk di hadapan Alarick. Ia mengambil roti dan mulai memakannya dengan tenang. Wajahnya dingin, seperti biasa, tetapi di balik sikap itu, hatinya bergetar melihat Alarick masih ada di sana.
“Kamu berangkat sama aku hari ini." ujar Alarick dengan suara pelan setelah mereka selesai sarapan.
Frasha terdiam sejenak, lalu mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ia berjalan mendahului Alarick keluar rumah, tak peduli dengan hujan yang masih turun rintik-rintik. Alarick mengikutinya, mencoba mencari celah untuk berbicara, tetapi ia tahu itu bukan waktu yang tepat. Ia hanya bisa diam, menyadari bahwa jarak di antara mereka semakin terasa meski langkah mereka beriringan.
****
Di sekolah, suasana tak jauh berbeda. SMAGA yang biasanya ramai dengan aktivitas siswa terasa lebih sunyi di tengah hujan. Frasha berjalan lurus menuju ruang OSIS, sementara Alarick memilih untuk langsung menuju kelasnya. Mereka seperti dua orang asing yang kebetulan berada di tempat yang sama.
Namun, langkah Alarick terhenti ketika ia melihat Alastar berdiri di dekat lorong menuju perpustakaan. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga, ada ketegangan yang terasa di udara. Alastar yang biasanya tenang kini terlihat lebih serius. Ia tahu bahwa Alarick masih peduli pada Frasha, tetapi ia juga tahu bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama terhadap gadis itu.
“Kita harus bicara,” ujar Alastar singkat, menghampiri Alarick.
Alarick mengangguk pelan, meski ia tahu pembicaraan ini tak akan mudah. Mereka berjalan ke sudut yang lebih sepi, jauh dari keramaian siswa lain. Alastar membuka percakapan lebih dulu.
“Lo masih sayang sama Frasha, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Alarick menghela napas panjang. “Gue nggak akan bohong, Star. Gue masih sayang sama dia, tapi ini bukan tentang gue. Ini tentang Frasha. Dia lagi nggak baik-baik aja, dan yang dia butuhin sekarang adalah ruang, bukan tekanan dari kita.”
Alastar menatap Alarick dalam-dalam, mencoba memahami maksud dari kata-katanya. “Tapi lo tahu kan, gue juga nggak bisa berhenti peduli sama dia? Gue cuma pengen Frasha bahagia, walaupun itu bukan sama gue.”
“Rick, sekarang gue ikhlas. Lo kembali sama Frasha. Frasha butuh lo, bukan gue,” ujarnya.
Ada keheningan sejenak di antara mereka sebelum Alarick mengangguk setuju. Meski ada perasaan tak nyaman yang tersisa.
Alarick menghela napas dalam setelah mendengar keputusan Alastar. Meski ada kelegaan, namun juga ada beban yang sulit dijelaskan. Ia menepuk bahu Alastar pelan, mencoba menunjukkan rasa terima kasihnya tanpa harus berkata terlalu banyak.
“Gue hargain lo, Star. Gue nggak bakal sia-siain kesempatan ini,” kata Alarick akhirnya.
Alastar hanya mengangguk pelan. “Gue cuma pengen dia nggak terluka lagi.”
Mereka berdua terdiam sejenak sebelum akhirnya Alastar berbalik pergi meninggalkan lorong itu. Alarick masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Alastar yang perlahan menghilang di balik dinding sekolah. Dalam hati, ia berjanji untuk menjaga Frasha dengan lebih baik, apa pun yang terjadi.
****
Alastar yang sedang berjalan menuju kelasnya, tiba-tiba dihentikan oleh seorang siswi. Wajah siswi itu tampak gugup, napasnya terengah-engah seperti baru saja berlari.
"Alastar!" panggilnya dengan nada mendesak.
Alastar menoleh, matanya menyipit, mencoba mengenali siapa yang memanggilnya.
"Ada apa?" tanyanya singkat.
"Kayana... dia kena serangan panik. Tadi Falleo yang bawa dia ke ruang UKS," ujar siswi itu cepat.
Seolah tak butuh penjelasan lebih lanjut, Alastar hanya sempat mengangguk sambil berkata singkat, "Thanks."
Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju ruang UKS. Langkahnya tergesa-gesa, dan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia tidak peduli dengan tatapan para siswa lain yang kebetulan melihatnya. Yang ada di pikirannya hanyalah Kayana.
Ketika ia sampai di depan pintu ruang UKS, ia melihat Falleo berdiri di luar, bersandar pada dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Wajah Falleo tampak serius, tapi ada kegelisahan yang jelas terlihat di sorot matanya.
"Dia di dalam?" tanya Alastar tanpa basa-basi.
Falleo mengangguk. "Iya. Guru piket lagi nenangin dia. Tapi kayaknya belum membaik."
Tanpa menunggu lebih lama, Alastar mendorong pintu ruang UKS dan masuk. Ia melihat Kayana duduk di atas ranjang, membungkuk dengan kedua tangan memegangi kepalanya. Napasnya cepat dan tersengal-sengal, sementara seorang guru piket duduk di sebelahnya, mencoba menenangkannya dengan kata-kata lembut.
Alastar segera menghampiri. "Bu, biar saya yang urus ini," katanya tegas namun sopan. Guru piket itu ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk dan keluar dari ruangan.
Setelah pintu tertutup, Alastar mendekat. Ia menatap Kayana yang masih tampak ketakutan.
"Kay," panggilnya pelan, suara yang dalam namun menenangkan.
Kayana tidak menjawab, hanya menunduk, mencoba mengatur napasnya yang masih tersengal.
Tanpa banyak bicara, Alastar mendekat, lalu menarik Kayana ke dalam pelukannya. Tidak sekadar pelukan biasa, tetapi pelukan erat, seolah ingin mengatakan bahwa ia akan melindunginya dari segalanya.
Kayana terkejut sesaat, tubuhnya sempat menegang. Tetapi pelukan itu, dengan segala kehangatan dan ketulusannya, perlahan meluruhkan ketegangan dalam dirinya. Tangisnya pecah di bahu Alastar.
"Gue di sini, Kay. Nggak apa-apa," bisik Alastar lembut, menenangkan seraya mengusap rambutnya.
Kayana mencengkeram seragam Alastar erat, seolah takut ia akan pergi. Tubuhnya mulai berhenti gemetar, napasnya perlahan menjadi lebih teratur.
"Tenang, gue nggak akan ninggalin lo. Lo aman sekarang," ucap Alastar lagi, sembari mengusap punggung Kayana dengan gerakan lembut yang konsisten.
Tangis Kayana mereda perlahan. Setelah beberapa saat, Alastar melepaskan pelukannya sedikit, cukup untuk menatap wajah Kayana. Ia mengusap air mata yang masih mengalir di pipi gadis itu.
"Lo nggak sendiri, Kay. Kalau semua ini terlalu berat buat lo, bilang. Gue akan ada buat lo."
Kayana menatapnya dengan mata yang masih sembab. Ia tidak tahu harus berkata apa. Alastar, dengan caranya yang sederhana, selalu membuatnya merasa bahwa dunia ini tidak sepenuhnya menakutkan.
"Kenapa lo nggak bilang kalau lo merasa nggak enak dari tadi?" tanya Alastar dengan nada lembut.
"Star..." Kayana berbisik lirih .
Alastar tersenyum kecil. "Lo nggak perlu takut, Kay. Kalau dunia ini terlalu berat buat lo, bagi aja sama gue. Gue kuat kok, buat ngangkat semua itu bareng lo."
Kayana menatapnya, matanya masih merah tetapi kini lebih tenang. Ia tak tahu harus berkata apa. Alastar, dengan caranya sendiri, selalu tahu bagaimana membuatnya merasa aman.