Remake dari karya berjudul Emas yang belum lama di rilis dan karya teman penguasa berlengan satu yang sudah di drop.
Kisah seorang pria yang selalu di hina akibat dia hanya memiliki satu lengan. Dia di khianati istri yang sewaktu smp di tolongnya sampai mengorbankan lengannya. Mertua dan iparnya menganggap dia sampah karena dia sering di pecat karena kondisi nya.
Dia sempat berpikir mengakhiri hidupnya dan di tolong, dia mendapat lengan bionik karena kebetulan dan sempat mau di bunuh oleh selingkuhan istrinya, namun di saat kondisinya sudah kritis, lengan bionik nya malah menolongnya dan memberinya kekuatan untuk mengubah nasib. Bagaimanakah kisah perjalanan hidup baru nya ?
Genre : Fiksi, fantasi, drama, komedi, supranatural, psikologi, menantu terhina, urban.
100 % fiksi, murni karangan author. mohon like dan komen nya ya kalau berkenan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
“Kamu gimana sih !” Bentak seorang wanita cantik.
“Ma – maaf,” balas seorang pria muda pekerja kantoran.
“Aduh kalau begini, gimana aku bisa bayar cicilan, sana cari kerja, di pecat bukan masalah !” bentak sang wanita.
“Iya sayang, maaf.”
Pria muda itu keluar kembali dari kontrakan lusuh milik nya, dia melangkah gontai menelusuri jalan. Kepalanya terasa pening tujuh keliling, sebab dia baru saja di pecat dari perusahaan yang memperkerjakannya. Dia berjalan sampai ke taman dan duduk di salah satu kursi taman, beberapa anak kecil datang mengejeknya.
“Buntung...buntung,” ujar salah seorang anak sambil menunjuk pria itu.
“Buntung...ih buntung,” tambah anak di sebelahnya yang ikut ikutan menunjuk.
“Eh tidak boleh gitu, ayo anak anak jalan (menoleh melihat sang pria) maaf ya, permisi,” ujar seorang ibu yang buru buru mendorong anak anak meninggalkan pria malang itu.
Pria itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum getir walau hatinya sangat perih, tapi dia tidak bisa berucap apa apa karena memang benar keadaan nya seperti itu, dia tidak memiliki lengan kiri nya. Dia menoleh melihat sebelah kemeja lengan panjang yang tidak ada isinya di sebelah kiri, namun dia bukanlah cacat sejak lahir. Setelah melihat lengannya, dia menoleh melihat ke atas,
“Aku harus bagaimana sekarang, aku tidak punya apa apa lagi, Vania membutuhkan uang untuk bayar cicilan,” ujar nya dalam hati.
Dengan susah payah, dia mengeluarkan smartphone nya dari saku dan meletakkan smartphonenya di paha. Dia mulai membuka situs situs lowongan pekerjaan menggunakan satu tangan, karena sudah putus asa, apapun dia klik tanpa membaca deskripsi atau job desk nya terlebih dahulu.
Selagi asik menekan nekan smartphone nya, tiba tiba sebuah telepon masuk. Dia melihat telepon itu dari mertuanya, wajahnya langsung berubah pucat, dengan tangan gemetar dia mengangkat teleponnya,
“Heh Marlon, kamu benar benar keterlaluan ya, Vania baru saja selesai telepon mama, dia menangis bercerita kamu di pecat lagi sampai dia pinjam uang sama mama untuk memenuhi kehidupan kalian, kamu itu benar benar tidak tahu diri ya. Sudah ceraikan saja Vania, kasihan anak itu harus bersama kamu seumur hidup, sekarang juga !” bentak mertua perempuan nya di telepon.
“Aku sedang mencari pekerjaan baru mah, selama ini aku masih ada tabungan yang cukup untuk membiayai aku dan Vania sekaligus bayar kontrakan,” ujar Marlon.
“Kamu benar benar tidak tahu malu ya, kamu tahu kan keluarga kami seperti apa ? kami pemilik perusahaan, sejak menikah sama kamu, Vania jadi sengsara, lagipula, kontrakan kontrakan kamu itu milik keluarga kita kan, jangan sok kamu. Untung kalian belum punya anak, mama menyesal punya menantu seperti kamu tahu ga !” Bentak ibu mertua tanpa mengerem mulut nya lagi.
“Ma sudah ma, biar aku yang bicara,” terdengar suara seorang laki laki yang terkesan sombong di belakang mertuanya.
Marlon tentu saja mengenal suara laki laki yang sombong itu sebab suara itu milik kakak iparnya,
“Halo Marlon, gini ya, aku jelaskan, Vania barusan telepon nangis nangis katanya kamu di pecat lagi, apa bener ?” tanya nya.
“Be..bener kak,” Jawab Marlon gelagapan.
“Jangan panggil kakak, aku bukan kakak mu, lalu gimana rencana mu ? menyerah begitu saja ?” tanya pria itu dengan sombongnya.
“Tidak, aku sekarang sedang di luar mencari pekerjaan,” jawab Marlon.
“Kamu itu bodoh apa gimana ? cari pekerjaan itu mudah, tinggal klik beres, ah iya lupa, kamu buntung sih ya, cari kerja yang untuk orang buntung dengan gaji gede dong, gini aja, mama papa dan aku sudah sepakat, kalau sampai minggu depan kamu belum dapat pekerjaan, kita minta kamu ceraikan Vania, kalau kamu menolak tahu sendiri akibatnya, kami tidak segan segan main kasar, ngerti tidak !” bentak pria itu.
Marlon diam saja, wajahnya sudah menjadi merah padam karena dia bingung harus bicara apa dan amarahnya sudah sampai ke ubun ubun.
“Baik, aku mengerti,” dengan suara gemetar, Marlon terpaksa menjawab nya.
“Ok, aku anggap kamu sudah paham, sekarang jalan sana, cari kerja.....tuut...tuut.”
Telepon di tutup, Marlon menyimpan smartphone nya di dalam saku celananya, tangannya masih gemetar, dia tertunduk untuk menelan semua emosinya, air matanya sedikit keluar dari pelipis matanya karena menahan malu dan marah nya. Setelah dia kembali tenang, Marlon berdiri dan berjalan pulang sambil berharap lamaran lamaran yang sudah dia masukkan ada hasil nya.
Ketika sampai di kontrakan, Marlon melihat Vania yang sedang duduk sambil menonton televisi di ruang tengah. Vania sama sekali tidak menoleh melihatnya datang apalagi menyambutnya. Marlon yang sudah terbiasa dengan sikap istrinya, melangkah masuk ke dalam kamar, dia duduk di meja sambil terus memandang smartphone nya berharap dia cepat mendapat panggilan pekerjaan.
“Ding dong.” Terdengar suara bel rumah nya berbunyi, dia mendengar langkah kaki Vania yang berlari ke arah pintu dan membuka pintunya, kemudian dia mendengar suara langkah Vania kembali masuk ke dalam. Dengan perlahan, Marlon berdiri dan berjalan ke pintu kamarnya, dia membuka sedikit pintu kamarnya dan melihat Vania sudah kembali duduk di sofa sedang menikmati makanan yang sepertinya baru saja di antar ke kontrakan nya.
“Gruyuuuk,” perutnya berbunyi karena lapar, tapi dia sama sekali tidak berani keluar dari kamar apalagi minta sedikit makanan nya, dia hanya bisa melihat Vania yang sedang makan dan memegang perutnya. Setelah itu, dia kembali duduk di kursi di depan meja dan kembali memandangi smartphone nya. “Ding dong.” Bel kembali berbunyi, sekali lagi terdengar suara langkah kaki Vania yang berlari ke arah pintu.
Tiba tiba pintu kamarnya di buka, Vania masuk membawakan sisa makanan yang baru saja dia makan ke dalam dan meletakkan nya di meja. Tanpa bicara apa apa, dia kembali keluar tanpa menutup pintu, Marlon berdiri dan menutup pintunya, sekilas dia melihat Vania membeli makanan jenis yang berbeda sekali lagi dan sedang melahapnya sambil menonton televisi.
“Berapa banyak dia beli makanan ? oh benar juga, dia baru pinjam dari mamanya,” gumam Marlon di dalam batinnya.
Dengan perlahan dia menutup pintunya dan kembali ke meja, karena perutnya berbunyi sekali lagi dan kebetulan ada makanan di meja, tanpa berpikir lagi dia menyantap makanan nya dengan hati yang sedih. Dia terus bertanya tanya, kenapa sikap Vania berubah terhadapnya dan sangat berbeda dari sikap nya dulu. Marlon sudah mengenal Vania sejak masih duduk di bangku smp dan alasan lengan Marlon harus di amputasi juga berhubungan dengan Vania.
Semua terjadi ketika Marlon dan Vania berumur 14 tahun, mereka kebetulan satu sekolah dan saat itu, Marlon tidak mengetahui latar belakang keluarga Vania yang sebenarnya adalah konglomerat pemilik perusahaan yang sedang booming kala itu. Ketika sekolah mereka sedang mengadakan outing, Marlon kebetulan satu grup sama Vania yang terkenal cantik dan populer di sekolah.
Banyak pria yang mendekatinya, tapi tidak dengan Marlon, dia tahu diri karena merasa dirinya adalah seorang anak yatim piatu yang di asuh oleh paman dan bibinya, di tambah penampilannya yang seperti kutu buku kurang pantas berada di sebelah Vania. Dia menyingkir dari para siswa yang mengerubungi Vania bagai lebah dalam satu grup nya.
Namun ketika hendak menyeberang sungai, guru pembimbing outing menghentikan mereka karena sungai yang sedang bergolak sehingga menutupi jembatan yang hanya terbuah dari susunan papan. Grup Marlon menunggu dengan tenang di tepi sungai, banyak siswa pria yang ingin menunjukkan kejantanan nya di hadapan para gadis dengan nekat bermain main di tepi sungai walau sebenarnya berbahaya.
Marlon yang sebenarnya juga menaruh hati kepada Vania hanya duduk di tempat yang jauh dan melihat Vania dari kejauhan yang sedang tertawa tawa di hibur oleh para siswa. Kemudian seorang siswa mengajak beberapa siswi putri termasuk Vania untuk ikut merasakan sensasi berdebar debar di tepi sungai ketika sungai sedang begolak. Ternyata kejadiaan naas pun terjadi, gelombang sungai yang besar datang dan menghantam tepi sungai.
Semua nya berteriak dan berpegangan, setelah selesai, mereka tidak melihat Vania ada di antara mereka. Marlon yang duduk agak jauh dan terus memperhatikan Vania, menyaksikan Vania tercebur ke sungai dan terseret arus, dia langsung berdiri kemudian berlari ke tepi sungai. Rasa suka terhadap Vania dan rasa takut tidak bisa melihat Vania lagi, membuat Marlon nekat melompat masuk ke sungai.
Setelah terombang ambing oleh derasnya aliran sungai, akhirnya dia berhasil menyusul dan meraih Vania yang sudah lemas, tapi mereka berdua tetap hanyut terbawa aliran sungai yang deras. Ketika melewati celah dua batu besar yang sangat sempit, dia menarik tangan Vania dan berbalik, lengan kiri Marlon masuk ke dalam celah sempit itu, dia merasakan sakit yang luar biasa, tapi dia bersyukur karena mereka berdua berhenti karena terganjal batu tempat tangannya yang terjepit itu.
Lebih dari satu jam keduanya berada di sungai dan terus di hantam arus, Marlon sudah tidak merasakan lagi rasa sakit di tangannya dan seluruh tubuhnya menjadi lemas, tangan sebelahnya terus berusaha mendekap Vania dengan erat di bantu oleh kedua kakinya. Lalu sensei dan para penduduk yang menetap dekat lokasi perkemahan mereka menolong mengevakuasi Marlon dan Vania yang sudah tidak sadarkan diri dan melepaskan tangan Marlon yang terjepit di antara batu.
Para guru langsung menghubungi orang tua Vania dan paman dari Marlon, mereka membawa keduanya ke rumah sakit, namun naas bagi Marlon, diagnosa dokter mengatakan kalau syaraf di tangan Marlon sudah hancur akibat terjepit di batu dan untuk menyembuhkannya membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Akhirnya dengan berat hati dan karena tidak mau membebani paman nya, Marlon mengambil opsi kedua yaitu mengamputasi lengan kiri nya.
Semenjak itu, kehidupan Marlon tidak sama seperti sebelumnya, banyak siswa pria di sekolahnya yang mencibir dirinya karena menganggap dia sok pahlawan di hadapan Vania yang merupakan idola angkatan mereka. Tidak sedikit dari mereka yang merundung Marlon karena kesal dan bahkan samapai memukulinya. Bahkan para guru dan orang tua Vania menyalahkan Marlon atas kejadian yang menimpa Vania.
Bukan hanya dari keluarga Vania, sikap paman dan bibi Marlon pun menjadi berubah karena Marlon yang sok pahlawan menolong Vania dan membuat orang tua Vania jadi menekan mereka karena meminta ganti rugi. “Harusnya biarkan saja dia mati,” ujar paman nya kepada sang bibi ketika Marlon tidak ada, namun Marlon mematung berdiri di balik dinding mendengar nya.
Lalu karena tidak tahan tinggal di rumah itu, Marlon minta di pindah keluar kota tempat kotanya menetap sekarang dan meneruskan sma di sana. Pamannya mengabulkan nya, dia rela membiayai sekolah Marlon, namun Marlon harus mencari penghasilan sendiri untuk biaya hidupnya. Dengan terseok seok, setiap pulang sekolah Marlon bekerja sampai malam hanya demi memenuhi kebutuhannya, sampai Vania akhirnya pindah dan masuk ke sekolahnya.
Vania melarikan diri dari rumah dan menyusul Marlon atas bantuan dari nenek nya yang ternyata satu kota dengan Marlon. Setelah tinggal bersama sampai lulus kuliah, mereka memutuskan menikah, namun setelah mereka menikah selama 3 tahun, sang nenek meninggal, sikap Vania terhadap Marlon mulai berubah total. Dia berubah seakan akan membenci Marlon dan ingin berpisah dengan nya, dia juga memutuskan untuk kembali ke keluarganya sampai membuat Marlon menjadi seorang menantu yang tidak di inginkan di dalam keluarganya.
Sejak itu, caki maki dan tuduhan tuduhan yang tidak masuk akal terus di tujukan kepada Marlon dari papa mertua, ibu mertua dan kakak ipar nya (end flashback). Setelah selesai makan, Marlon keluar dari kamar untuk mandi, namun ketika dia keluar, Vania sudah tidak ada di ruang tengah, di meja hanya ada secarik kertas bertuliskan, “aku pergi sama teman temanku.”
“Pergi sama teman teman ? jam segini ?” Tanya Marlon dalam hati sambil membaca note nya.