"Entahlah...aku harus berbuat apa dengan pernikahanku? Katanya cinta setengah mati, tapi kenyataannya cinta kita seolah akan mati. Aku tidak merasakan kehangatan yang semestinya. Aku lelah mengemis suamiku. Aku lelah..."
"Bantu aku untuk meraih jawaban untuk masa depan yang mesti kita lakukan. Aku tidak meminta banyak. Hanya ingin dibelai sayang sebagaimana sewajarnya seorang suami pada istri. Aku hanya butuh kamu sebagai teman berbicara ketika aku berkeluh kesah. Dan satu hal lagi yang membuatku jatuh sebagai martabat seorang istri, aku jarang disentuh." Seorang perempuan dengan kulit bersih kini memerah karena sejak sujud dia tergugu menangis. Dia hanya mampu berkeluh kesah pada sang Khalik di setiap sujudnya atas kondisi pernikahan yang sedang dijalaninya sekarang. Ya... sebagai manusia biasa dia pun kini merasa di titik terlemahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teti Kurniawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebuah permintaan
"Ehem.. ehem.. saya saudaranya juga. Betul kan Zahira?" Arsel menoleh pada Zahira. Zahira yang merasa dilihat dan tak bisa menolak dia hanya mengangguk.
"Iyalah saudara se adam. Sebenarnya pak Arsel mau apa sih?"
Sikut Zahira tiba-tiba ada yang menyenggol. Dia adalah uminya.
"Dia dosen Zahira mi." Bisik Zahira pada ibunya. Tak lama kemudian uminya Zahira mengangguk. Dia tidak mau bertanya banyak.
"Oh.. iya silahkan masuk!" Perawat tadi mempersilahkan tiga orang yang mengaku saudaranya pak Anwar untuk masuk ke ruang ICU. Didalam ruang ICU ada beberapa ruangan, di antaranya ada ruangan khusus dokter berjaga.
"Silahkan duduk!" Ketiganya pun duduk menghadap meja yang diseberangnya sudah ada dokter yang sudah menunggu.
"Selamat sore! Maaf semuanya keluarga pasien?" Tanya seorang laki-laki paruh baya, dokter senior yang ditugaskan rumah sakit di bagian ICU.
"Betul dok." Jawab uminya Zahira.
"Begini bu, pak. Saya mau menginformasikan keadaan kesehatan pak Anwar pada keluarga." Sang dokter melihat satu persatu orang yang ada di depannya.
"Iya dok. Bagaimana keadaan suami saya?" Tanya umi Zahira.
"Begini bu. Keadaan pak Anwar sekarang sedang darurat. Meksi keadaannya sudah sadar, tapi beliau ada pendarahan di otak yang membutuhkan untuk segera operasi. Kemungkinan berhasilnya fifty-fifty. Sekarang terserah keluarga. Apakah keluarga mengizinkan untuk tindakan atau mau menundanya. Karena kalau ditunda, keadaan pak Anwar pun tak ada pilihan. Keadaannya akan semakin memburuk." Ucap dokter menjelaskan apa yang terjadi pada abinya Zahira.
Semuanya terdiam. Zahira menggenggam tangan uminya yang bergetar. Menguatkan ibunya agar tabah dan kuat menghadapi ujiannya ini.
Umi Zahira menoleh pada Zahira. "Bagaimana menurut kamu Ra?" Meski ibunya adalah orang yang paling tua, tapi dia ingin meminta pendapat dari Zahira sendiri.
"Mmm.. lebih baik secepatnya dioperasi saja mi." Zahira kembali menggenggam tangan ibunya memberi kekuatan mental.
"Baik. Kalau begitu saya sependapat dengan anak saya dok. Saya minta yang terbaik untuk suami saya." Ucap uminya Zahira pada dokter yang sedang menunggu jawaban.
"Baik bu. Kalau begitu disini ada beberapa yang harus dipelajari oleh keluarga pasien. Dan diantaranya untuk biaya jaminan pasien." Dokter menyodorkan lembaran yang di sana sudah tertera peraturan dan perjanjian yang harus dipelajari keluarga pasien.
"Zahira.. kamu berdiri dulu. Biar saya pelajari dahulu!" Arsel melihat uminya Zahira terdiam begitu lembaran-lembaran itu sudah dibacanya.
"Mmm.. baik pak." Zahira pun berdiri menurut. Tadi dia bersama ibunya sudah membaca lembaran itu. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan dosennya itu.
Arsel mengeluarkan kacamatanya dari balik kemejanya lalu membacanya dengan teliti apa yang tertera di lembaran kertas itu.
"Baiklah. Segera lakukan operasi! Untuk jaminannya biar nanti saya bayarkan lewat transferan." Ucap Arsel melihat ke arah dokter.
"Tapi pak.. " Zahira dan uminya kompak menyela.
"Nanti kita bicara diluar! Yang terpenting sekarang ayahmu bisa ditolong sesegera mungkin." Ucap Arsel.
"Terima kasih banyak pak! Maaf kami jadi merepotkan bapak." Ucap Ibunya Zahira yang tadi sempat bingung melihat uang jaminan yang harus masuk sebesar 200jt. Tabungannya di rekening tidak terlalu banyak. Itupun dicadangkan untuk biaya kuliah Zahira ke depannya.
"Kalau begitu anda tanda tangani disini sebagai penjamin dan disini keluarga pasien." Dokter memberi arahan pada Arsel juga uminya Zahira untuk menandatangani berkas yang harus segera ditandatanganinya.
"Baik." Arsel segera menandatangani begitupun dengan uminya Zahira.
"Baik. Sekarang anda boleh menjenguk pak Anwar kebetulan beliau sudah sadar meski ingatannya tidak terlalu baik. Kami harap berbicaralah yang tenang! Jangan sampai membuat pasien stress!" Ucap Dokter memperbolehkan keluarga Zahira untuk menjenguk.
"Iya dok. Terimakasih." Ucap umi Zahira. Arsel mewakili keluarga menjabat tangan dokter. Lalu ke tiganya pun masuk ke ruangan dimana abinya Zahira dirawat.
"Assalamu'alaikum abi.. " Ucap Zahira lalu disusul uminya.
Abi Zahira menoleh ke arah keduanya yang sedang berdiri di pinggir ranjangnya.
"Waalaikumsalam.. " Bibir abi Zahira bergerak dan menjawab salam dengan terbata-bata akibat serangan stroke. Lidahnya kini kelu dan tak bisa berkata jelas.
"Apa kabar abi?" Tanya Zahira.
"Mmm ba.. ik." Jawab Abi Zahira dengan mata mengembun. Wajahnya tidak lagi terlihat seperti sebelumnya. Biasanya abi Zahira selalu terlihat semangat dan ceria. Tapi sekarang wajahnya terlihat lemas tak bertenaga. Tersirat wajah sedih juga putus asa.
Kini wajahnya menoleh ke samping satunya lagi melihat Arsel yang sedang berdiri di samping satunya lagi.
"Kenalkan bi. Beliau dosen Zahira." Ucap uminya Zahira buru-buru memperkenalkan Arsel sebelum abinya Zahira bertanya. Padahal Arsel baru saja ingin memperkenalkan dirinya pada abinya Zahira. Meski dia sering ke kantor, tapi untuk bertemu pak Anwar sendiri dia masih belum pernah. Karena yang sering berinteraksi untuk urusan kantor biasanya dilakukan oleh Michel. Jadi kebanyakan orang kantor lebih banyak mengenal Michel daripada dirinya.
"Saya Arsel." Ucap Arsel mengenalkan diri.
Abinya Zahira mengangguk.
Kini wajahnya kembali melihat kedua perempuan yang sedang berdiri disampingnya itu.
"Zahira... abi harap... jika kamu sudah punya calon, segeralah menikah! Abi ingin melihat kamu menikah sebelum abi dioperasi." Ucapnya lirih sambil bibirnya bergetar
Deg
Zahira terhenyak kaget mendengar keinginan abinya itu.
"Mmm.. abi... Abi jangan banyak pikiran dulu! Sekarang lebih baik abi sembuh!" Ucap Zahira menyemangati abinya. Pasti dipikiran abinya terbersit pikiran-pikiran negatif. Apalagi melihat kondisinya yang sekarang lemah tak berdaya.
"Iya abi... abi harus semangat! Jangan terlalu banyak pikiran!" Ucap uminya Zahira menambahkan. Dia tahu suaminya itu paling tidak bisa memikirkan perihal anak semata wayangnya itu. Dia sangat menyayangi Zahira. Apapun keinginan Zahira sejak kecil selalu saja diturutinya. Tergambar di dalam raut wajahnya banyak kebimbangan.
Abinya Zahira menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanda dia tidak mau ditolak.
"Abi... " Panggil Zahira sedih. Dia tahu abi nya tidak mau dirinya menolak.
Zahira khawatir ini adalah permintaan abi nya yang terakhir. Tapi Zahira pun bingung dengan siapa dia akan menikah. Karena tiba-tiba saja dia diminta menikah. Sungguh itu hal di luar dugaannya.
"Abi.. tenanglah!" Ucap umi Zahira lebih mendekat. Karena bola mata abi Zahira bukan lagi mengembun, tapi sekarang bulir-bulir kristal mengalir di ujung kelopak matanya dan meleleh di pipi.
"Abi.. takut kamu tidak ada yang bertanggung jawab sepeninggal abi nak!" Ucapnya lirih.
"Abi.. abi pasti sembuh!" Kini Zahira ikut meneteskan airmata.
Arsel yang melihat drama sedih di depannya seakan hatinya tergerak begitu saja. Dia takut jika itu permintaan abi nya Zahira yang terakhir.
"Maaf... pak Anwar jangan khawatir! Saya bersedia menikahi Zahira sekarang juga jika bapak menginginkan Zahira menikah. Tapi bapak harus sembuh ya!" Ucapnya tiba-tiba tanpa direncanakan ataupun tanpa paksaan siapapun. Entah dorong apa yang membuat Arsel tiba-tiba berbicara seperti itu. Padahal dia baru Dua hari mengenal Zahira. Itupun hanya selewat karena dia mengajar di kampus. Kebetulan Zahira waktu itu kesiangan sehingga mendapatkan hukuman darinya, dia baru mengenalnya waktu itu. Sungguh itu di luar perkiraan Zahira dan uminya.
Deg
"Bapak... " Tatapan Zahira melebar mendengar dosen killer nya itu bersedia menikahinya demi permintaan abi nya. Dia tidak bisa membayangkan kalau dosen killer dan cooler nya itu tiba-tiba saja menjadi suaminya.
Apa jadinya?
"Bagaimana ini?"
Ucap Zahira bimbang.