Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 17 ~
Tubuh mas Bima menempel begitu rapat, sementara wajahku rasanya panas.
Kedua tanganku mendarat di pinggiran westafle, bersisian dengan tangan mas Bima yang juga mendarat di sana.
Kami sama-sama diam, dengan kondisi batin yang mungkin tak sejalan.
Satu detik, dua detik, hingga berganti menjadi tiga detik, masih dengan posisi kami berdiri saling berhadapan dengan jarak yang tak terkikis, mas Bima akhirnya bersuara.
"Kamu nggak nyadar, aku sudah pulang sedari tadi?" pertanyaan yang sama dari mas Bima yang belum sempat ku jawab tadi.
"Eng-enggak" jawabku terbata, lalu berusaha menelan ludah yang seakan tercekat di tenggorokan.
Sebenarnya, bisa saja aku mendongak untuk melihat ekspresi wajah mas Bima seperti apa, tapi keberanianku nol besar.
"Kamu menantangku, Arimbi? Atau kamu sudah hilang kewarasan?"
Mendengar kalimatnya, mendadak aku seperti ingin marah, ada secercah rasa malu juga yang menyergap, namun sebisa mungkin ku tahan.
"Kamu punya pakaian seperti ini?" tanyanya lagi. "Sejak kapan punya niatan menjadi wanita penggoda?"
Aku diam, benar-benar tak tahu harus memberikan jawaban apa.
"Mulutmu sebenarnya bisa berfungsi atau enggak, Bi?"
"Apa kamu gugup, nervous, atau lebih ke takut?"
Satu tangan mas Bima mengangkat daguku. Dan otomatis kepalaku langsung terdongak.
Aku memejamkan mata, nyaliku menciut kalau harus mempertemukan netranya.
"A-aku akan ganti baju"
"Buka matamu!"
Aku menggeleng untuk menolaknya.
"Buka, Bi!"
Hening, aku masih bergeming tak berani melakukan perintahnya.
"Kalau kamu nggak mau buka" katanya mengusap wajahku lalu turun ke area leher, sementara bulu kudukku seketika meremang. "Aku akan_"
"A-akan apa?" Aku memenggal kalimatnya bersamaan dengan mataku yang reflek terbuka, dan langsung bertemu pandang dengan mas Bima.
Dengan jarak sedekat ini, jaringan di otakku seakan kacau, sama sekali tak bisa berfikir secara logis.
Alih-alih menjawab, Pria di hadapanku justru tersenyum miring lengkap dengan satu alisnya yang terangkat.
"Melanjutkan pembicaraan kita? Mumpung nggak ada Lala?" ucap mas Bima dengan suara rendahnya.
"P-pembicaraan apa?"
"Tentang pertanyaanmu yang sudah melampaui batas saat aku jemput Lala bersama Gesya"
Memberanikan diri, sekuat tenaga aku mendorong tubuh mas Bima, dan mas Bima tersentak ke belakang.
Akhirnya, aku bisa menjauhkan tubuhnya dariku.
"Aku tidak mau mencampuri urusan mas, apapun hubungan kalian, aku tak mau tahu"
Selesai mengatakan itu, aku melangkah meninggalkannya. Namun, baru saja selangkah pergi, kurasakan pergelangan tanganku di cengkram dengan sangat kuat, lalu di tarik dan tubuhku otomatis menabrak dadanya. Satu tanganku spontan mendarat di dada mas Bima, sedangkan satu tangan mas Bima melingkar di pinggangku dengan agak sedikit meremas gaun lembut yang ku kenakan.
Kami kembali dalam posisi tak berjarak, dengan tatapan tajam mas Bima yang langsung menghujam kedalaman netraku.
"Mau sampai kapan kamu diam dengan asumsimu? Apa kamu tidak ada keberanian sedikit saja untuk protes dengan sikapku?"
"Bagaimana aku mau protes jika setiap kali dan sebelum aku melakukannya, mas selalu mengingatkanku tentang mencampuri urusan pribadi"
"Jika aku mencabut peraturan itu untuk sesaat, apa kamu berani mengeluarkan antipatimu?"
"Aku sudah tidak berniat"
Kening mas Bima mengernyit, mungkin tak menduga dengan respon cepatku.
"Bisa jadi sebentar lagi aku akan pergi dari sini, sesuai dengan keinginan mas"
"Ternyata kamu cukup keras kepala, Bi"
"Karena untuk apa aku bertahan sendirian disini, sedangkan cintaku tak terbalaskan?"
"Apa kamu sedang memintaku untuk membalas cintamu?" pertanyaanya terdengar seperti mengejek, apalagi ada senyum miring yang tersungging di bibirnya.
"Menurut mas?"
Hening tak ada jawaban dari mas Bima, pria ini hanya menatapku penuh intens, dengan bibir terkatup rapat, dan rahang mengerat.
"Maaf sudah menyita waktu mas untuk membahas sesuatu yang nggak penting. Sekarang, lepaskan tanganku!"
"Kita belum selesai bicara, bundanya Lala"
"Tapi tidak ada lagi yang harus kita bahas" balasku tajam, setajam sorot matanya yang terus menatapku.
"Apa seperti ini bicara dengan suamimu?"
Mendengar kalimatnya, aku memberanikan diri mengangkat kepala, aku ingin memastikan lewat sorot matanya.
Jujur saja aku tercenung mendengar kalimat mas Bima, ini pertama kalinya dia menyebut dirinya sebagai suamiku. Tentu saja aku terkejut.
"Katakan padaku apa aku harus membalas cintamu?" Tanyanya dengan fokus penuh tertuju ke sepasang manik hitamku.
Aku tak langsung menjawab. Yang ku lakukan hanya diam sambil mengikuti gerakan bola matanya yang terlihat kian kelam.
"Katakan Arimbi!" Desisnya sambil menguatkan cengkramannya.
"Apa aku perlu menjawab pertanyaan yang mas sendiri tahu jawabanya?"
Ku lihat pria di depanku tersenyum smirk, bersamaan dengan perpindahan bola mata yang tadinya tertuju ke manik hitamku, kini ia lempar ke arah lain.
"Berikan alasanmu kenapa aku harus mencintaimu?"
"Aku tidak punya alasan apapun, karena cinta tak butuh alasan" jawabku sekenanya.
"Lantas apa jaminannya kamu akan setia padaku?"
"Aku tidak punya jaminan apapun untuk pria yang meragukan kesetiaanku"
"Aku hanya ingin tahu apa jaminanmu"
"Apa aku meminta pamrih atas apa yang ku lakukan selama dua tahun di rumah ini, apa aku meminta imbalan pada mas karena sudah menjaga dan menyayangi putri mas?"
"Aku tidak pernah meminta balasan apapun, bukan? tapi apa yang mas lakukan, mas malah meminta jaminan atas kesetiaanku, itu artinya mas sudah meragukanku. Mas seharusnya menyadari, bahwa mas selalu di hantui dengan perselingkuhan mbak Hana, padahal jelas sekali aku dan mbak Hana adalah dua wanita yang berbeda"
"Semua wanita sama saja" potong mas Bima kilat. "Mereka setia di depan kita, tapi main api di belakang kita"
"Tidak semua!" Sahutku masih bertahan membalas tatapannya. "Kalau mas bilang semua wanita sama, lalu mami, bunda Nina? Apa mas juga menganggap mereka wanita yang sama dengan mbak Hana?"
"Jangan samakan mami dan bunda dengan wanita seperti dia, jelas dua wanita itu sangat berbeda, mereka wanita terhormat, berkelas dan kesetiaannya tak di ragukan lagi"
"Kalau begitu, jangan samakan aku dengannya"
"Aku bilang apa jaminannya?"
"Aku bilang aku nggak punya jaminan" Timpalku memberanikan diri, namun dengan nada gugup.
"Kepercayaanku mahal, Arimbi!"
"Lebih mahal kesetiaanku, mas"
Alis mas Bima kembali terangkat satu.
"Oh ya?" jawabnya santai.
"Lepaskan tanganku"
Aku tak tahu dari mana datangnya keberanianku ini, yang jelas semua kalimat mas Bimalah yang memantikku bisa seberani ini.
"Lepaskan tanganku!" pintaku sekali lagi.
Tak ada respon dari mas Bima, sepasang mata kami lekat saling menatap, dan untuk pertama kali aku berani membalas tatapannya yang tajam dalam waktu lebih dari satu menit.
Tiba-tiba, suara ponsel membuat fokus kami yang tengah saling beradu pandang langsung buyar.
Jujur, aku kasihan dengan mas Bima. Orang sebaik dia, bisa di khianati oleh mbak Hana. Sampai-sampai dia takut untuk kembali menjalin hubungan dengan wanita.
Ya, bisa ku katakan begitu, karena sangat jelas rasa takut itu tampak dari gurat wajahnya dan sorot matanya.
"Thalia mau bicara" ucapnya sendu, sambil menyerahkan ponselnya ke tanganku.
Aku menerimanya dengan jantung berdebar. Sejenak, aku menyesali perkataanku. Kesannya, aku sudah membantah setiap ucapan mas Bima tadi.
Menelan ludah, kemudian ku tempelkan ponsel di telinga kananku. Sepasang mataku tak lepas dari punggung mas bima yang melangkah gontai menuju kamar.
"Asalamu'alaikum, bunda"
"Wa'alaikumsalam"
"Bunda kapan kesini?"
"Sebentar lagi ya, nak. Ayah baru saja pulang, ini mau makan malam dulu, baru bisa jengukin Lala"
"Jangan lama-lama ya, bun"
"Enggak sayang" Suaranya, membuatku ingin sekali memeluknya, melampiaskan rasa yang begejolak dalam dada.
"Lala sudah makan?"
"Sudah, bun. Tadi budhe Zara yang suapin Lala, terus budhe Kanes yang bantu Lala makan obatnya"
"Anak pintar"
"Cepat datang ya bun, Lala udah kangen sama bunda"
"Kalau gitu, matikan telfonnya, supaya bunda sama ayah cepat-cepat makan, terus temui Lala"
"Ya udah, assalamu'alaikum, bunda"
"Waalaikumsalam"
Aku menggeser ikon merah, begitu panggilan terputus, aku langsung di suguhi wajah Lala di layar ponsel mas Bima.
Foto Lala yang sudah di atur menjadi tema walpaper pada layar depan.
Senyumku reflek tersungging menatap wajah cantik Lala.
"Bunda miss you, nak!"
Meletakkan ponsel mas Bima di atas meja makan, aku melangkah naik untuk mengganti pakaianku. Saat melewati depan kamar mas Bima, aku menghentikan langkahku, menatap pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup.
Maafkan aku, mas. Aku sudah bersikap berani seperti tadi.
Menghela napas, kembali ku lanjutkan langkahku menuju kamar.
Bersambung..
Nggak semudah itu ferguso.... 😀😀😀 buat acak2 keperawanan Arimbi
Janjiku tuntas hari ini ya, sampai jumpa besok kalau enggak lupa. Hehe
jujur pgn jg ada kisah ttg kalangan menengah ke bawah. Misal guru SD, dokter yg bertugas di desa terpencil dg kehidupan yg sederhana...ato apalah...😁
tp gpp lah ...nikmati kisah rumah tangganya sj...
lanjutt... .
pasti Bima ke hotel itu ngelabrak Gesya krn sdh blg yg engga2 ke Arimbi wkt itu. Gesya itu licik, pandai memanfaatkan situasi, mgkn pas Bima telp mo ngemabrak...Gesya sengaja menyuruh menemui di hotel. sengaja menciptakan kesalah pahaman dg dibantu Yoga....