Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB - Mau Ikut
Karena weekend, Rumi sengaja bangun lebih lambat. Ia terjaga dan mendapati Kaisar memeluk dirinya. Dilihat dari dekat dan sedang tertidur, nyatanya Kaisar sangat tampan. Dari banyaknya penggemar Kaisar, Rumi beruntung bisa begitu dekat karena mereka sudah menikah.
Tangan Rumi hendak menyentuh wajah Kaisar, tapi urung karena pria itu mulai terjaga. Langsung memejamkan mata pura-pura tidur ketika Kaisar mengerang pelan dan meregangkan tubuhnya.
Rumi masih memejamkan mata saat terasa pergerakan di sampingnya.
“Rumi,” panggil Kaisar sambil menepuk pipi gadis itu. “Hei, Rumi.”
“Apa sih pak,” jawab Rumi lalu menguap seakan ia memang baru saja bangun kemudian berbalik memunggungi Kaisar.
“Bangun dan antar aku ke kota atau tempat yang jaringannya lebih stabil. Aku harus menghubungi seseorang.”
“Ck, ini ‘kan weekend.”
“Iya, aku tahu,” sahut Kaisar. “Makanya bangun. Kamu boleh beli apapun dan makan apapun.”
Rumi langsung beranjak duduk dengan wajah segar. “Serius saya boleh beli apa saja?”
Kaisar mengangguk pelan lalu turun dari ranjang. “Hubungi Medi, bilang kita pinjam mobil kantor.”
Pukul sepuluh mereka sudah meninggalkan kontrakan menggunakan mobil kantor yang datang diantar oleh supir, tentu saja Rumi yang mengemudi. Kaisar mengatakan ia tidak tahu jalan, padahal Rumi pun sama hanya mengandalkan petunjuk arah.
Lebih dari satu jam perjalanan mereka mendekati pusat kota, ada pusat perbelanjaan, rumah makan dan resto cepat saji.
“Coba cek pak, jaringannya bagus nggak di sini,” titah Rumi. “Kalau nggak kita jalan lagi.”
Kaisar mengecek ponselnya. “Lumayan, kamu cari parkiran atau tempat makan saja sekalian kita sarapan.”
Rumi memarkirkan mobil di depan resto cepat saji, Kaisar masih sibuk dengan ponselnya membalas pesan-pesan.
“Bapak yang bayar ya,” ujar Rumi sebelum membuka pintu.
“Iya,” jawab Kaisar lalu menyadari di mana mereka berada di resto ayam crispy. “Aku bilang rumah makan saja, kenapa ….”
“Ini juga tempat makan, saya udah lama nggak makan beginian.”
Sebenarnya tidak setuju dengan pilihan Rumi, tidak biasa makan junk food. Namun, kali ini dia membiarkan. Bahkan saat Rumi menanyakan pesan apa Kaisar hanya menjawab samakan saja lalu menghubungi Johan.
Rumi datang membawakan pesanan, ayam goreng, kentang, burger bahkan soda dan es krim.
“Hm, tinggal mengawasi saja,” ucap Kaisar. “Jadi aku bisa pulang lebih cepat.”
“Aku sudah terima semua foto dan dokumen laporan kamu. Sebelum pergi, buat kebijakan dan pastikan SOP yang berlaku agar masalah macam begini tidak terjadi lagi.”
Kaisar hanya berdehem menanggapi Johan.
“Pak, aku makan duluan ya.”
“Iya,” sahut Kaisar.
“Eh, itu siapa? Suara cewek, berhasil juga kamu.” Johan terbahak di ujung sana lalu terdengar suara istrinya menanyakan cewek siapa. “Kaisar sayang, dia lagi sama cewek.”
“Om, please. Dengar dulu, ada yang harus aku sampaikan dan ini penting.” Kaisar menyugar rambutnya. Bingung harus menjelaskan dari mana tentang pernikahan dia dan Rumi.
“Tenang saja, kalau masalah status dan keluarganya. Selama gadis baik-baik, bukan milik orang dan kalian saling mencintai, aku selalu mendukung. Mama kamu nanti biar Om yang bantu bicara,” tutur Johan di ujung sana.
“Bukan itu.” Kaisar berdiri dan menjauh dari Rumi. Tidak ingin gadis itu mendengar kalau dia sedang dibicarakan. Akhirnya Johan menjelaskan kronologis pernikahannya dengan Rumi.
“Jadi kalian sudah menikah?”
“Ya … iya, malah buku nikah kemarin sudah jadi.”
Bukan penasaran atau kembali bertanya, Johan malah tergelak.
“Om, aku serius.”
“Ya ampun Kaisar, ternyata kamu pulang bawa jodoh. Benar saja kalau di sana kamu akan mendapatkan tulang rusukmu yang selama ini hilang.”
“Nggak usah lebay, kami menikah bukan karena saling cinta, tapi terpaksa.”
“Tapi gadis itu tinggal denganmu ‘kan?”
“Iya sih.”
Johan kembali tergelak. “Kunjungan ke cabang ternyata sekalian honeymoon. Aku harus sampaikan pada yang lain berita baik ini.”
“Om, jangan. Tunggu aku pulang, aku yang jelaskan. Apalagi sama Mama, biarlah aku saja. Jangankan honeymoon, kami belum ….”
“Kalian belum melakukan itu?”
“Astaga,” pekik Kaisar. “Tidak semudah itu om, kami belum ada rasa dan dia hanya akan menyerahkan tubuhnya pada pria yang mencintainya.”
“Berusahalah anak muda. Aku jadi penasaran dengan gadis itu, bagaimana bisa dia menghadapi kamu yang menyebalkan. Kirim fotonya.”
“Nggak ada, nanti juga tahu. Sudah dulu, aku lapar. Mau komunikasi lancar aja harus jalan jauh dari kontrakan.”
“Kai, salam dariku untuk istrimu ya.”
“Nggak bakal aku sampaikan, enak saja.” Kaisar mengakhiri panggilan. Menatap Rumi asyik mengunyah burger. Dengan rambut digerai, tapi tetap setia dengan kacamatanya. Rasanya ingin sekali membuang kacamata busuk itu.
Selesai dengan urusan sarapan yang cukup terlambat, Rumi menagih janji kalau ia boleh membeli apa saja.
“Ini mau kemana? Saya mau belanja pak, tokonya di sebelah sana.”
Kaisar bungkam, ternyata dia membawa Rumi ke optik.
“Ganti kaca mata kamu, pilih yang bagus dan paling mahal.”
“Memang kenapa dengan kaca mata ini, masih baru loh,” sahut Rumi lalu melepas kaca matanya.
Beres dengan urusan di optik dan mereka harus kembali lagi besok untuk mengambil pesanan, Rumi mengajak Kaisar untuk berbelanja. Meski bukan toko dengan merk ternama dengan harga fantastis, Kaisar membeli jaket baru dan membiarkan Rumi mondar mandir memilih barang kesukaannya.
Senyum tidak lepas dari wajah Rumi saat mereka kembali ke mobil membawa beberapa paper bag dan kantong belanja. Kaisar merasa tidak dirugikan mengeluarkan sedikit isi rekening dan berhasil membuat istrinya gembira.
“Makasih ya Pak, semoga makin lancar rezekinya biar saya bisa belanja lagi.”
“Hm.”
Mereka sudah berada di mobil, kali ini Kaisar yang akan mengemudi untuk pulang.
“Rum, perkiraan aku. Minggu depan urusan di sini sudah beres, kamu harus siap aku bawa pulang.”
“Bapak serius mau bawa saya?” tanya Rumi memastikan lagi ucapan pria di sampingnya.
“Ya iyalah, masa saya malah bawa Pak Medi. Kamu tahu Pak Djarot melarang kita main-main dengan pernikahan ini. Kita jalani saja, kalau akhirnya kita tidak bisa saling menerima ya mau gimana lagi.”
“Tapi pak, saya hanya orang kampung bahkan orangtua juga nggak ada. Mantan pacar saya aja malah berkhianat. Saya bukan siapa-siapa dan hanya orang biasa, apa keluarga Bapak bisa terima?”
“Jangan samakan aku dengan mantan kamu yang brengsek itu, dasarnya aja memang dia buaya. Keluargaku … jangan dipikirkan. Seharusnya kamu bisa percaya diri dan jadi orang yang luar biasa. Gimana, mau ‘kan ikut aku? Kalau nggak mau ya tetap harus mau.”
“Mau pak, saya mau ikut ke Jakarta.”
Entah mengapa Kaisar merasa senang mendengar Rumi bersedia ikut bahan terlihat tidak terpaksa.
“Nanti bicarakan dengan Medi, agar dia cari ganti kamu,” titah Kaisar lalu mulai melajukan kendaraan.
Saat mengemudi, Kaisar beberapa kali melirik Rumi yang memandang ke depan seakan memikirkan sesuatu. Dalam hati ia merasa aneh mengapa peduli dengan Rumi, kalau hanya memanfaatkan gadis itu rasanya tidak mungkin. Dia bisa membayar asisten yang lebih profesional hanya untuk sekedar mengurus hidupnya.
Kaisar sempat mengusap dada kirinya karena jantungnya berdebar saat mengingat wajah Rumi yang ceria ketika mengucapkan terima kasih dengan semua belanjaannya. Saat bicara pun, ia sudah menggunakan panggilan aku dan kamu yang lebih akrab. Berjanji akan membelikan banyak barang yang lebih baik saat ia bawa pulang apalagi mengenalkan dengan keluarga besarnya.
“Pak, di Jakarta nanti saya boleh tetap bekerja?” tanya Rumi. Meski akan berusaha menjalani pernikahan, tapi diantara mereka belum ada perasaan apalagi jatuh cinta. Rumi khawatir kalau ia akan terlantar apalagi ditinggalkan. Paling tidak kalau bekerja ia bisa menghidupi dirinya sendiri.
“Istri Kaisar Sadhana harus bekerja, apa kata dunia. Aku kasih kamu nafkah, lahir batin kalau perlu.”
“Hah!”
\=\=\=\=\=
Author : kai, aku ajak ya
Kaisar : bodo amat
rmhtangga Ardi semakin hari semakin berantakan.. Mela tu istri gk sedar diri
gagal total...sabar ya Kai...
klo ardi yg demo q yg maju
klo kaisar yg demo q ikut othor makan kuaci smbil liat kaisar ngomel kagak jelas smp klimpungan mikirin tu pedang 🤣🤣🤣