Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIDANG KELUARGA
Barra menghela napasnya melihat perempuan dengan penampilan sosialita itu meneliti Btari dari atas sampai bawah. Wajah Btari memang sedatar biasanya, namun mimiknya terlihat sangat tidak nyaman.
"Udahlah Ma, Btari jadi tidak nyaman Mama tatap seperti itu."
"Kamu nemu dimana sih, Bar, perempuan modelan gini?" Indah-mamanya Barra bertanya tanpa memikirkan perkataannya akan menyinggung hati Btari.
"Dia teman SMA Barra, Ma. Dia Btari Almadina. Gadis yang Mama bilang menantu idaman Mama dulu." Bisik Barra pada Indah yang kini sudah duduk di samping Barra.
Setelah mengetahui hal itu, Indah terdiam sesaat. Pikirannya mundur ke beberapa tahun silam. Tentang sosok gadis muda yang memenangkan lomba pidato di sekolah Barra dulu. Selain itu, seingat Indah gadis muda itulah yang menggeser posisi Barra dari peringkat pertama dulu. Hal itulah yang membuat Indah mengingat Btari dengan jelas. Kalau kata Indah dulu, kecerdasan dan semangat Btari mengingatkannya semasa muda dulu.
"Saya Btari, Tante. Salam kenal." Ucap Btari lalu mencium tangan Indah dengan takzim.
"Kamu benar Btari teman sekolah Barra dulu? Saingan berat Barra?"
Btari mengangguk kikuk. "Mungkin iya, Tante. Tapi sepertinya saya bukan saingan beratnya. Saya juga bingung mengapa banyak orang berpikiran seperti itu. Lagipula mengalahkan Barra bukanlah tujuan utama saya. Peringkat berapapun, saya tahu Barra punya kualitas terbaik versi dirinya sendiri." Ujar Btari tulus.
"Kamu terlalu memuji dia, Tari. Bisa membesar telinganya kalau terus dipuji." Kata Indah menatap Barra.
"Btari bicara jujur, Ma." Elak Barra.
"Jadi kamu adalah pacar Barra yang sekarang?" Tanya Indah langsung.
Btari seketika menggeleng. Baru saja dia akan mengelak namun jawaban Barra langsung membuatnya terkejut.
"Dia calon istri Barra, Ma. Pernikahannya akan diadakan dua minggu ke depan. Maaf belum membicarakan ini sama Mama dan Papa." Ujar Barra yakin.
Btari berusaha mengatur emosinya. Walaupun masih kaget dengan pengakuan dan perkenalan mendadak ini, Btari harus segera mengontrol emosinya.
"Kamu yakin? Kenapa mendadak sekali? Mama kenal kamu, Bar. Kamu tidak pernah terburu-buru begini. Biasanya semuanya kamu lakukan dengan penuh rencana dan perhitungan. Kamu nggak hamil duluan, kan, Tari?"
Btari langsung menggeleng. "Nggak Tante. Saya jamin kalau saya dan Barra tidak pernah melakukan hal apapun."
"Ma, ini adalah keputusan yang sudah Barra pikirkan baik-baik. Kami berdua sama-sama sibuk kerja. Lagipula pernikahannya pun tidak yang terlalu mewah. Sederhana saja cukup."
"Btari kerja? Kamu kerja dimana?"
"Saya fotografer, Tante." Jawab Btari.
"Btari fotografer alam, Ma." Kali ini Barra yang menjawab.
"Apa?!" Pekik Indah. Jika dulu ia keberatan dengan hubungan Barra dengan seorang model, kali ini dia menyukai Btari. Namun juga sulit menerima pekerjaan gadis itu. Pekerjannya jarang dilakukan perempuan.
"Kamu akan tetap bekerja setelah menikah? Maksud Tante, pekerjaan itu terdengar jarang di keluarga kami."
"Tante tenang saja. Saya bisa menjamin bahwa pekerjaan saya tidak akan mengganggu kondisi keluarga besar Tante. Barra pun sudah mengiyakan itu.
Indah terlihat ragu. Raut cemas wajahnya sangat tampak. Btari mencoba memahami itu. Tangannya lalu menggenggam tangan lembut perempuan yang dihormati Barra itu.
"Meninggalkan pekerjaan saya memang adalah hal yang sulit untuk saya lakukan. Namun menjaga nama baik keluarga ini adalah kewajiban saya ketika saya resmi masuk ke keluarga Tante. Lagipula saya tidak bisa merubah apa yang ada di diri saya hanya untuk menyenangkan orang lain. Apalagi memenuhi persepsi orang lain terhadap saya." Ujar Btari dengan lembut.
Sisi Btari yang ini mengingat Barra pada kejadian semasa mereka SMA. Tepatnya saat Btari berusaha meyakinkan tim mereka ketika lomba debat.
Barra mengulas senyum pada Btari. Caranya mendekati sang mama di luar dugaan Barra.
"Kamu yakin akan tetap bekerja setelah menikah? Barra pasti bisa memenuhi semua kebutuhanmu. Walaupun dia masih enggan melanjutkan bisnis papanya, tapi ia adalah arsitek hebat. Kamu nggak perlu khawatir soal itu."
Btari tersenyum sopan. "Ini bukan tentang uang. Ini tentang cara saya mencintai diri saya. Saya akan tetap menghormati keluarga ini tanpa harus kehilangan jati diri saya. Lagipula tidak ada yang bisa menjamin bahwa semua orang akan menyukai saya menikah dengan Barra, walaupun saya mundur dari pekerjaan ini." Ujarnya dengan tenang.
Indah mengangguk. Seolah membenarkan apa yang disampaikan Btari. Namun tetap saja, tradisi keluarga mereka sangat jarang melihat perempuan bekerja di luar ruangan seperti ini. Walaupun Indah sendiri tidak memahami bagaimana bentuk pekerjaannya, namun mendengar kata 'alam' membuat Indah yakin bahwa pekerjaan itu menuntut sebagian besar kegiatannya dilakukan di hutan.
"Mama tenang ya. Btari tahu apa yang dilakukannya. Lagipula Barra menikahi Btari bukan untuk menghentikan peluang karirnya. Bukankah sebagai pasangan, Barra harus mendukung itu selagi positif?"
Lagi-lagi Indah mengangguk. Walaupun masih ragu namun ia berusaha menerima.
"Kamu harus segera bertemu papamu, Bar. Kamu harus meyakinkan papamu jika memang sudah yakin dengan Btari." Ujar Indah pada Barra.
"Iya. Barra akan segera membicarakan ini dengan papa."
Indah mengangguk. "Ya udah. Kalian lanjutkan saja kencannya. Mama mau ketemu teman Mama dulu." Kata Indah segera berdiri dan menghampiri Btari. "Jangan sungkan sama Mama, ya. Panggil Mama saja. Jangan Tante."
"Iya. Btari usahakan itu."
Barra memperhatikan interaksi kedua perempuan beda generasi tersebut. Sangat terlihat berbeda ketika Barra mengenalkan Nadea beberapa tahun silam. Terbersit rasa sedih melingkupi hatinya mengingat betapa menyedihkan kisah cintanya.
*****
Seperti yang dibicarakannya dengan sang mama tadi pagi, malam ini disinilah Barra berada. Berdiri menghadap ayahnya di ruang keluarga. Ini adalah kali kedua Barra meminta izin untuk menikah. Namun rasanya sangat berbeda. Suasananya tidak semenegangkan yang dulu. Apalagi sang mama sedari tadi terus memberinya semangat.
"Jadi namanya Btari? Teman sekolahmu dulu?" Suara tegas Andreas membuat Barra segera mengangguk.
"Ini bukan untuk menutupi skandalmu karena digosipkan sedang menjalin hubungan dengan model itu,kan?"
Barra sebenarnya ingin protes. Ayahnya bahkan enggan menyebut nama Nadea. Padahal Nadea adalah perempuan baik-baik.
"Nggak ada hubungannya dengan itu, Pa. Lagipula perempuan itu bukan Nadea. Dia hanya teman kencan buta Barra."
"Gosip murahan itu sempat mengganggu stabilitas perusahaan, Bar. Kamu harus ingat siapa kamu dan nama di belakang namamu. Ada tanggung jawab besar menjaga nama baiknya." Shaka, sang kakak ikut bersuara.
"Siapa orang tua gadis itu?" Tanya Andreas. "Apa kamu sudah meminta izin mereka?"
"Btari yatim piatu. Orang tuanya meninggal tujuh tahun yang lalu. Barra hanya diajak Btari ke makamnya. Lalu disuruh menelpon Abangnya yang kini berada di Turki. Sejauh ini aman." Ujar Barra dengan tenang.
"Lalu dia tinggal dimana? Kamu nggak bilang dia tinggal sendiri." Indah ikut bersuara.
Barra menatap mamanya. Bersyukur kemarin Btari sempat menjelaskan tentang kondisi keluarganya. Walaupun hanya gambaran luarnya saja. Btari juga memberikan kontak kakak kandungnya. Tampaknya Btari sudah memperhitungkan semuanya dengan baik.
"Btari tinggal bersama sahabatnya. Namanya Indy. Namun Btari sebenarnya jarang pulang. Pekerjaannya menuntutnya lebih sering nomaden. Tergantung proyek pekerjaannya."
Ini juga sudah diberitahu oleh Btari. Bahkan gadis itu sudah memintanya untuk tidak melarang segala kegiatannya di luar rumah.
"Kamu yakin mau menikahi perempuan dengan kesibukan di luar rumah seperti itu? Sanggup kamu sering ditinggal istri?" Tanya Shaka.
"Yakin, Mas. Resikonya sudah gue pikirankan baik-baik." Jawab Barra mantap.
"Ya udah. Tentukan kapan waktunya kita mau melamar gadis itu secara resmi. Ini pernikahan pertama di keluarga kita. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
"Btari maunya acara yang sederhana aja, Pa. Lagipula Barra juga lagi sibuk mengurus proyek dengan Perusahaan Nusa Kencana untuk pembangunan gedung baru mereka."
Indah langsung berdiri. "Nggak ya, Bar. Kalaupun nggak mau yang mewah-mewah, seenggaknya harus ada resepsinya. Mama juga mau kayak teman-teman Mama yang duduk cantik mendampingi anaknya menikah."
Barra menatap Andreas. Namun papanya itu memilih diam.
"Itu urusan kamu sama Mama, Bar." Shaka lalu beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamarnya.
"Urusan kamu sama Mama, Bar."
Mendengar pernyataan mamanya, Barra langsung lemas. Bukan hanya Btari yang akan menolak hal ini, namun siap-siap saja Nadea akan marah besar padanya.
"Ya ampun, Bar. Kenapa hal ini nggak lo pikirkan sejak kemarin?" Keluh Barra dalam hati.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri