NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Di ruang kerjanya yang elegan, Andika menyandarkan tubuh di kursi kebesarannya. Pikirannya melayang kembali ke ruang rapat tadi pagi. Ia memutar-mutar pulpen di jemarinya, matanya menatap kosong ke arah layar komputer yang menampilkan profil arsitek konsultan mereka: Rian.

"Rian..." gumam Andika pelan. "Kenapa nama dan tatapan mata itu terasa begitu mengusik?"

Andika teringat bagaimana Naya menatap Rian tadi. Meskipun Naya bersikap sangat ketus dan profesional, ada satu detik di mana mata Naya berbinar—sebuah binar yang sudah dua tahun ini menghilang.

Andika memutuskan untuk tidak tinggal diam. Ia menekan tombol interkom di mejanya. "Siska, tolong carikan data lengkap konsultan arsitek kita, Rian. Saya mau riwayat pendidikannya di London, proyek-proyek apa saja yang pernah dia tangani, dan... kalau bisa, foto-foto lamanya sebelum dia tinggal di Inggris."

"Baik, Pak Andika," jawab sekretarisnya singkat.

Satu jam kemudian, sebuah map diletakkan di meja Andika. Ia membukanya dengan perlahan. Data di sana tampak sempurna; lulusan terbaik, rekomendasi firma London, portofolio yang mengagumkan. Semuanya asli dan legal. Namun, ada satu hal yang membuat dahi Andika berkerut.

"Tidak ada riwayat hidupnya sebelum dia ke London? Kosong?" Andika bergumam heran.

Ia teringat kejadian dua tahun lalu, saat Tuan Hardi memerintahkan orang-orangnya untuk membuang seorang pria bernama Rian yang mencoba membawa lari Naya. Saat itu, Andika hanya melihat pria itu dari kejauhan dalam kondisi babak belur dan gelap.

"Mungkinkah... pria yang sama?" bisik Andika, jantungnya mulai berdegup kencang.

Jika benar pria arsitek ini adalah Rian yang dulu, maka Naya dan Rian sedang melakukan manuver paling berisiko tepat di bawah hidung Tuan Hardi.

Andika bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela besar yang menghadap langsung ke arah lobi tempat proyek galeri mulai dikerjakan. Ia melihat Rian di sana, sedang berdiskusi serius dengan Rio.

"Kalau memang benar kamu adalah Rian yang dulu," Andika menyipitkan matanya, "aku harus tahu apa rencana kalian sebelum Om Hardi menyadarinya lebih dulu."

Andika tidak berniat jahat, ia hanya ingin memastikan. Namun, penyelidikannya ini bisa menjadi ancaman besar jika ada satu saja mata-mata Tuan Hardi yang ikut mencium kecurigaan Andika.

Andika menunggu momen yang tepat. Sore itu, saat Rian baru saja selesai meninjau lokasi proyek di lobi, Andika menghampirinya dengan senyum yang sulit diartikan.

"Saudara Rian, punya waktu sebentar? Saya ingin mendiskusikan soal anggaran material di kafe seberang. Lebih santai daripada di ruang rapat," ajak Andika.

Rian, yang sudah melatih mentalnya untuk momen seperti ini, mengangguk tenang. "Tentu, Pak Andika. Mari."

Di kafe, suasana cukup tenang. Setelah berbasa-basi soal proyek, Andika tiba-tiba meletakkan cangkir kopinya dan menatap mata Rian dengan tajam.

"Anda tahu, Rian... gaya desain Anda sangat mengingatkan saya pada seseorang. Seseorang yang pernah saya kenal dua tahun lalu di Jakarta," pancing Andika.

Rian tetap tenang, ia menyesap kopinya perlahan. "Oh ya? Dunia arsitektur memang penuh inspirasi yang saling bersinggungan, Pak. Mungkin itu hanya kebetulan."

"Mungkin," Andika menyandarkan tubuhnya. "Tapi pria yang saya kenal itu... dia memiliki nama yang sama dengan Anda. Namanya juga Rian. Bedanya, dia bukan siapa-siapa. Dia hanya pria malang yang mencoba meraih bulan yang terlalu tinggi untuknya."

Rian tersenyum tipis, sebuah senyuman profesional namun menyimpan kekuatan. "Terkadang, pria yang Anda anggap 'bukan siapa-siapa' itu hanya butuh waktu untuk menumbuhkan sayapnya, Pak Andika. Agar ia tidak lagi hanya bisa menatap bulan, tapi bisa terbang mencapainya."

Jawaban itu membuat Andika tertegun. Kalimat itu terlalu puitis dan bermakna dalam untuk seorang arsitek yang hanya bicara soal beton. Kecurigaan Andika kini berubah menjadi kepastian.

"Jadi itu benar kamu," bisik Andika hampir tak terdengar.

Rian tidak membantah, namun ia juga tidak mengiyakan secara langsung. Ia berdiri, merapikan jasnya. "Pak Andika, saya di sini untuk bekerja secara profesional di Hardi Group. Saya yakin Tuan Hardi akan sangat kecewa jika proyek besar ini terganggu hanya karena hal-hal yang bersifat personal di masa lalu. Bukankah begitu?"

Rian melangkah pergi meninggalkan Andika yang masih terpaku. Ancaman halus Rian sangat jelas: Jangan ganggu proyek ini, atau kamu yang akan berhadapan dengan kemarahan Tuan Hardi.

Andika mengepalkan tangan. Ia kagum sekaligus takut. Rian benar-benar telah berubah menjadi lawan yang sangat tangguh. Kini, Andika memegang rahasia terbesar di gedung itu, dan pilihannya hanya dua: membantu mereka atau menghancurkan mereka.

Setelah percakapan di kafe itu, Andika tidak bisa tenang. Ia berdiri di balkon kantornya, menatap kerlap-kerlip lampu Jakarta yang mulai menyala. Bayangan wajah Naya yang dingin selama dua tahun lebih ini terlintas di benaknya, kontras dengan binar mata Naya yang ia lihat di ruang rapat saat menatap Rian.

Andika menghela napas panjang. Ia menyadari satu hal yang menyakitkan: selama dua tahun ia berada di samping Naya, ia tidak pernah bisa memberikan kebahagiaan yang mampu diberikan Rian hanya dengan kehadirannya.

Di saat yang sama, Naya masuk ke ruangan Andika untuk menyerahkan laporan anggaran. Ia melihat kegelisahan di wajah pria itu.

"Ada apa, Mas Andika? Kamu sepertinya banyak pikiran," tanya Naya datar.

Andika berbalik, menatap Naya dalam-diam. "Naya... tadi aku baru saja minum kopi dengan Rian."

Tubuh Naya menegang. Ia berusaha mempertahankan wajah tanpa ekspresinya, namun jemarinya yang memegang map sedikit bergetar. "Oh ya? Bagaimana diskusinya?"

Andika melangkah mendekat, suaranya merendah. "Dia pria yang sangat hebat sekarang, Nay. Jauh lebih hebat dari pria yang pernah ku benci dua tahun lalu. Dia bukan lagi 'serangga' yang bisa diinjak oleh Om Hardi."

Naya terdiam, ia tahu penyamaran mereka telah terbongkar di depan Andika. "Apa maumu, Mas?" bisik Naya, suaranya kini penuh dengan nada pertahanan.

Andika tersenyum getir. "Aku mencintaimu, Naya. Tapi aku sadar, mencintaimu berarti harus melihatmu hidup, bukan hanya bernapas. Dan kamu hanya hidup saat ada dia."

Andika menyerahkan map data penyelidikannya tentang Rian kepada Naya. "Hancurkan ini. Aku tidak akan memberitahu Om Hardi. Aku akan menjaga rahasia kalian, karena aku ingin melihatmu benar-benar bahagia untuk pertama kalinya."

Naya terpaku. Ia tidak menyangka Andika akan mengambil keputusan seberani dan semulia itu.

"Terima kasih, Mas... Terima kasih."

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!