"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"
Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.
"Ya sudah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.
"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang pamannya Mas Azka?"
"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."
Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Jadi maksudnya? Dia harus menjadi adik ipar Jendral yang sudah membuangnya? Juga, menjadi Bibi dari mantan calon suaminya?
Untuk info dan visual, follow Instagram: @anita_hisyam TT: ame_id FB: Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takut Jatuh Cinta
Dengan kelopak mata yang masih berat dan tubuh yang belum pulih sepenuhnya, ia terbangun dari tidur. Napasnya terengah ringan, seperti baru melewati mimpi panjang yang membingungkan. Ia menunduk, menatap pergelangan tangannya yang masih terpasang selang infus.
"Setengah enam...," gumamnya lirih, melihat jam digital kecil yang menempel di tangan kanannya.
Tanpa berpikir panjang, ia mencabut infus itu pelan. Rasa perih menguar sejenak, tapi itu tak menghentikannya.
Udara pagi menyapa wajahnya. Dingin, tapi menyegarkan.
Di jalan kecil sisi utara, beberapa pria berseragam sudah mulai jogging memutari area. Dirga berada di belakang, langkahnya tegap namun tetap santai, diikuti Rio dan Gilang di belakangnya.
Dirga menghentikan langkahnya sebentar saat matanya menangkap sosok perempuan berlari kecil menuju arah mushala darurat.
Itu Sashi. Dengan kerudung yang belum sempurna terpasang dan napas yang belum teratur, ia tampak terburu-buru tapi tetap anggun. Sashi berlari menuju tempat wudhu yang hanya ditutupi kain hijau, lalu masuk ke mushala dari terpal sederhana yang didirikan anggota.
Rio terkekeh pelan, menoleh ke Gilang, lalu berseru ke arah Dirga. "Komandan... itu kayaknya calon istri yang salihah, ya. Bangun kesiangan, langsung ke mushala. Lucu banget pula."
Dirga tak menanggapi. Tatapannya masih mengarah ke mushala. Senyum di ujung bibirnya singkat, hampir tak terlihat, tapi cukup membuat Gilang menepuk bahu Rio.
"Ada yang jatuh cinta," bisik Gilang geli. Dirga hanya menghela napas dan melanjutkan langkahnya. Sashi sudah bisa lari, itu artinya dia baik-baik saja.
** **
Selesai salat subuh yang seperti shalat Dhuha, Sashi duduk bersila di dekat jalan keluar mushala darurat. Ia sudah mencuci wajahnya, dan merapikan kerudung. Tangannya memainkan ujung sajadah yang dilipat, sementara matanya menatap kosong ke arah tanah yang sudah mulai kering, menyisakan guratan pecah seperti luka lama yang menganga.
"Besok harusnya kita udah pulang...," bisiknya pada dirinya sendiri. Tapi kenapa hatinya seperti tertinggal? Seolah ada sesuatu yang belum selesai. Terutama sejak kejadian semalam—tentang Dirga, tentang bayangan pria itu, tentang rasa yang perlahan membungkus dirinya. Dia pasti sudah gila, masa iya dia menyukai pria lain saat dia sudah memiliki suami.
Beberapa saat kemudian, Langkah kaki mendekat. Terdengar tawa kecil diikuti bisikan tajam.
"Liat tuh... gaya banget. Baru juga nolong orang dua biji, udah sok pahlawan."
Sashi menoleh perlahan. Seorang perempuan—suster dari rumah sakit lain, mungkin dari tim barat, berdiri tak jauh darinya, bersandar di tiang mushala dengan tangan menyilang.
"Pantesan pingsan kemarin. Biar bisa digendong Komandan kali, ya? Duh, caper banget sih. Sok cantik pula. Heran aku...."
Yania yang sedang berjalan ke arah Sashi langsung menoleh. Matanya menyala marah. "Hei! Jaga mulut kamu, ya! Kita di sini relawan, bukan kompetisi sinetron murahan!"
"Dih, salah kok nyolot."
Namun sebelum Yania sempat melangkah mendekat, Sashi menahan pergelangan tangannya.
"Sudah, Yan..."
"Tapi—"
"Biarin aja," kata Sashi sambil berdiri, menatap suster itu tanpa gentar. "Orang yang enggak mampu, emang biasanya iri. Karena enggak bisa jadi pusat perhatian, jadi nyinyirnya ke mana-mana."
Senyumnya pelan, tapi tajam seperti belati yang ditanam dalam sarung.
Suster itu mendecak dan melengos, berjalan pergi sambil mengumpat kecil.
Yania menggeleng-geleng sambil menatap sahabatnya. "Gilak, Sa. Mulut kamu bisa bikin orang langsung mati gaya."
Perempuan itu hanya tersenyum. Namun senyumnya tak bertahan lama. Ia kembali diam, pandangannya kembali kosong ke arah tenda Dirga.
** **
Sarapan pagi berlangsung dalam suasana hangat tapi penuh percikan. Beberapa relawan duduk dengan nasi bungkus dan teh hangat.
Yania duduk di samping Sashi, menggoda sambil menggoyang bahu sahabatnya. "Tapi serius ya... Komandan Dirga tuh gagah banget, ya. Waktu ngangkat kamu semalam tuh, kayak angkat kapas. Gampang banget!"
Gilang yang sengaja duduk tak jauh ikut menimpali. "Komandan itu semalaman enggak tidur, loh. Jaga Mbak Bidan terus. Sampe subuh, baru keluar bawa kursi."
Kepalla Rio mengangguk. "Iya. Saya liat sendiri. Diselimutin segala. Saya aja enggak pernah diselimutin Komandan."
Yania tertawa geli. "Bentar lagi kapten minta disuapin kali."
"Kapten Rio! Letu Gilang!" Dirga memanggil, kedua orang itu langsung berdiri dan berlari menghampiri Dirga.
Mata Sashi menatap ke arah Dirga, Ia menatap pria itu cukup lama, memainkan sendoknya pelan.
Kenapa pria itu selalu ada? Selalu muncul di saat ia membutuhkan?
Kenapa dia begitu... tahu harus melakukan apa?
Kenapa rasanya seperti, ia sengaja mendekat? Sashi tidak bisa membiarkan hal ini terus terjadi, dia harus menemui Komandan Dirga dan memintanya untuk tidak mendekat lagi.
apa fpto ibu mbak ika dan bapaknya dirga???
penasarannnn...
❤❤❤❤❤
foto siapa ya itu?
❤❤❤❤❤❤
apa yg dibawa mbak eka..
moga2 dirga segera naik..
❤❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤
mending pulang ke rumah mertua yg sayang banget ama sashi..
❤❤❤❤❤