udihianati sahabat sendiri, Amalia malah dapat CEO.
ayok. ikuti kisahnya ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
"Maaf Nona, kami tak bisa memberikannya. Ini privasi..."
Resepsionis menolak dengan sopan.
"Aku tunangannya. Aku harus tau!"
"Anda bisa menghubungi tuan Bara sendiri kalau begitu, Nona," saran sang resepsionis dengan sopan.
Gigi-gigi Kimy bergemeletuk menahan kekesalannya. "Dia memblokirku, bagaimana bisa aku menghubunginya. Menyebalkan!" gumamnya berbisik pada diri sendiri.
Kimmy tidak menyerah. "Baiklah, kalau kalian tak mau memberi tau, tidak masalah," katanya sambil berjalan menjauh. "Jangan salahkan aku jika besok kalian tak bisa bekerja lagi."
Resepsionis hanya menunduk hormat tanpa mengeluarkan suara. Mereka tidak terpengaruh.
Setelah mengintai dari arah lift dan melihat Bebby sempat naik beberapa menit lalu, Kimy mengambil kesempatan. Ia menyelinap ke lantai atas dengan menumpang tamu lain yang menggunakan kartu akses.
Beberapa menit kemudian, ia sudah berdiri di depan pintu kamar Bara. "Di sini kan?"
Napasnya memburu, dadanya sesak oleh campuran marah dan rindu. "Bara.... Kau tak akan bisa terus menghindari ku. Bagaimana pun kita pernah berbagi bahagia bersama."
Tangannya baru saja hendak mengetuk pintu saat dua petugas keamanan hotel menghampiri cepat-cepat.
"Maaf, Nona. Anda tidak bisa di sini," ujar salah satu dari mereka sembari memegang lengannya.
"Hei! Lepaskan aku! Aku kenal baik dengan Bara! Aku cuma mau bicara sebentar!" seru Kimy, memberontak.
"Tuan Bara tidak ingin diganggu. Tolong kerjasamanya dan buat ini mudah."
"Tidak! Aku tak mau pergi! Aku harus bertemu dengannya! Lepas!"
Namun, mereka tetap menggiringnya pergi.
"Lepas! Kalian tidak tau siapa aku?! Aku bisa membuat kalian dipecat dari sini! Lepas!"
Kimmy terseret menjauh dari pintu yang bahkan belum sempat diketuk.
"Sialan!"
"Maaf, Nona. Kami hanya melakukan perintah Tuan Barra," ucap salah satu petugas keamanan setelah melepaskan Kimmy di lobi.
Kimmy merasa dipermalukan. Hatinya tercekat, matanya mulai basah, tapi ia menahan tangisnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata siapa pun.
"Aku cuma… cinta sama dia…" lirihnya, saat sudah tiba kembali di lobi. "Aku tak bisa melepaskan dia begitu saja... Sialan!"
Merasa tak punya tempat lain untuk mengadu, kimmy pergi ke rumah orang tua Bara. Ia yakin, setidaknya Ibu Bara bisa membantunya.
"Aku harus ke rumah besar. Tante pasti sudah dengar juga tentang kedatangan Barra."
####
Rama mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya sambil menatap layar ponselnya. Sudah dua kali pesan "Ayo jalan sore ini!" dikirimnya ke Lia. Dan seperti biasa, hanya centang dua tanpa balasan.
Beberapa menit kemudian, akhirnya Lia membalas.
"Males. Lagi capek."
Rama mengetik cepat.
"Ayo dong. Sebentar aja. Butuh temen ngobrol."
"Rama…"
"Please? Aku traktir kopi, terus kita bisa main bilyard kayak dulu."
Lia mengetik… lalu berhenti. Lalu mengetik lagi.
"Oke. Jemput jam enam."
Rama langsung berdiri dari kursinya dengan senyum lebar. "Yes!"
Kafe itu tidak terlalu ramai sore itu. Nuansanya hangat, musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Mereka duduk di dekat jendela besar, memesan cappuccino dan lemon tea.
"Masih suka teh asem kayak dulu," kata Rama sambil mengangkat alis.
"Dan kau masih suka kopi yang kebanyakan foam," balas Lia, tersenyum tipis.
Setelah obrolan ringan tentang kerjaan dan keluhan hidup, mereka pindah ke ruangan samping yang punya meja bilyard. Rama mengambil tongkat dan memberikannya ke Lia.
"Siapa kalah, bayar dessert," tantangnya.
"Siap. Tapi jangan nangis kalau kalah ya," jawab Lia, mulai membidik bola.
Dari awal permainan, Lia tampak lebih terampil. Bola demi bola masuk ke lubang dengan mudah. Rama berusaha mengejar, tapi lebih sering salah perhitungan. Mereka tertawa setiap kali bola meleset lucu atau terpental aneh.
"Udah, nyerah aja, Ram," kata Lia, setelah dia hampir menyelesaikan semua bola warna.
"Belum! Masih ada keajaiban!" Rama membidik, lalu… bola malah masuk ke lubang yang salah.
Mereka tertawa keras.
Tapi tawa Lia tiba-tiba menghilang. Wajahnya berubah kaku, tatapannya terpaku ke arah pintu masuk ruangan.
Di sana, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan jaket hitam dan celana denim. Tatapannya menusuk. Matanya hanya mengarah pada Lia.
Itu Bara.