"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Theodore
Theodore menoleh, menatap pria yang usianya empat tahun lebih muda darinya. Bryan Leone, adik tirinya. Ibu Bryan menikah dengan ayah Theodore ketika Theodore berusia sepuluh tahun. Sejak saat itu, hidupnya berubah. Ia terpaksa tinggal bersama sang ayah karena ibunya tak mampu membiayainya seorang diri. Entah bagaimana kabar sang ibu sekarang, Theodore pun tak tahu. Sudah bertahun-tahun ia tak bertemu dengannya.
“Cerai? Kapan aku dan Elvera bilang mau cerai denganmu, Bryan?” ucap Theodore tajam, menahan emosi yang bergolak.
Bryan terkejut, matanya membulat sebelum menyipit penuh amarah.
“Elvera sendiri yang bilang padaku kalau kalian akan bercerai. Lagian, siapa yang tahan punya suami tukang selingkuh sepertimu? Mengabaikan istri demi masa lalu. Sungguh naif sekali kamu, Theo.”
“Kamu—”
“Theo, kamu datang, Nak?”
Theodore terdiam, suara berat itu membuatnya menoleh. Di ambang pintu, tampak seorang pria paruh baya dengan wajah pucat duduk di kursi roda. Jantung Theodore seketika mencelos. Terakhir kali ia melihat ayahnya, pria itu masih tegap dan penuh wibawa. Sekarang, tubuhnya tampak rapuh, seperti kehilangan separuh semangat hidupnya.
“Daddy ... kenapa pakai kursi roda?” tanyanya dengan nada khawatir yang berusaha ia tutupi dengan ekspresi datar.
“Aah, Daddy cuma kurang kuat jalan. Ayo, kita ngobrol di ruang keluarga. Sudah lama kamu nggak ke sini,” ajak sang ayah, Daven Alistair Lorenzo, dengan senyum lemah.
Tanpa banyak kata, Theodore mendorong kursi roda sang ayah menuju ruang keluarga. Ia duduk di hadapan pria paruh baya itu, memperhatikan tiap keriput yang kini makin jelas di wajahnya.
“Sudah diperiksa, Dad?” tanyanya pelan.
“Sudah. Dokter bilang cuma kelelahan,” jawab Daven tenang. “Bagaimana rumah tanggamu? Kenapa istrimu nggak ikut ke sini? Cucu-cucu Daddy gimana?”
“Mereka baik. Kondisi rumah tanggaku juga baik,” jawab Theodore cepat, meski hatinya terasa berat. “Elvera sedang repot mengurus anak-anak, apalagi Keisya sedang ujian. Jadi, cuma aku yang datang.”
Daven tersenyum lembut. “Baguslah. Tapi Daddy kangen sama Ei. Anak itu gimana sekarang? Sudah lama nggak dengar suaranya.”
Theodore menghela napas kasar. “Makin parah, Dad. Anak itu makin banyak bicara walau masih caadel. Aku udah bawa ke dokter untuk perbaikan artikulasi, tapi Ei susah banget diajak kerja sama. Dia selalu nangis kalau ketemu dokter. Padahal, aku sendiri dokter,” ucapnya pasrah.
Daven terkekeh, suaranya serak tapi hangat. "Nanti juga lancar sendiri. Kamu dulu juga begitu, caadel sampai umur enam tahun. Anak kecil punya waktunya masing-masing. Dia pintar, Theo. Jangan terlalu keras pada diri sendiri, atau pada anakmu.”
Ucapan itu membuat Theodore terdiam. Ia menatap ke arah cangkir kopi di tangannya, melihat bayangan wajahnya sendiri di permukaannya. Mungkin benar, ia terlalu menuntut kesempurnaan dari segalanya.
“Diminum, Theo.”
Suara lembut itu membuatnya menoleh. Seorang wanita berusia sekitar 48 tahun datang membawa secangkir kopi. Wajahnya lembut, senyum yang dipaksakan tersungging di bibirnya.
Dea Felicia, ibu tiri yang sejak dulu berusaha menjadi sosok ibu bagi Theodore. Tapi tak peduli seberapa baik wanita itu mencoba, Theodore tetap sulit membuka hati. Ada jarak yang tak pernah bisa ia seberangi.
.
.
.
.
Malam hari, Theodore duduk di taman belakang, menatap langit malam yang bertabur bintang. Angin berhembus lembut, membawa aroma melati dari sudut taman. Hatinya terasa kosong.
Ia merindukan Elvera. Merindukan anak-anaknya. Merindukan tawa kecil Eira yang caadelnya selalu membuatnya tersenyum.
“Mereka sedang apa, ya? Anak-anak rewel nggak, ya?” gumamnya. Ia hendak mengeluarkan ponsel, berniat menelepon Elvera. Tapi sebelum sempat menekan tombol panggil, suara seseorang memecah keheningan.
“Aku harap kamu segera menceraikan Elveraku.”
Theodore menoleh cepat. Bryan berdiri tak jauh darinya, dengan sorot mata yang dingin dan penuh tekad.
Ucapan itu seperti petir di malam yang tenang. “Apa maksudmu?” tanya Theodore tajam.
Bryan melangkah mendekat. “Aku sudah merelakan dia padamu dulu, Theo. Tapi kamu malah menyia-nyiakannya. Sekarang kembalikan dia padaku. Aku yang akan menjaganya.”
Theodore menghela napas keras. Ia memasukkan ponselnya ke saku, mendekat, dan menarik kerah kemeja Bryan dengan kasar hingga wajah mereka nyaris bersentuhan.
“Aku tidak akan menceraikan ibu dari anak-anakku. Kamu paham? Lagian, kamu nggak malu minta seseorang menceraikan istrinya, hah?”
Bryan menatap balik dengan senyum tipis penuh ejekan. “Untuk apa malu? Aku hanya berusaha menyelamatkan wanita yang kucintai dari pernikahan yang toxic. Elvera sudah memilihku, Theo. Dia sendiri yang bilang ingin cerai. Bahkan ... dia sudah menyerahkan dirinya padaku.”
Darah Theodore mendidih. Ia tak berpikir lagi. “Kurang aj4r!”
BUK!
Tinju Theodore mendarat di wajah Bryan. Pria itu terhuyung tapi membalas dengan cepat. Suara pvkulan, napas berat, dan emosi meledak memenuhi udara malam.
“Bryan! Berhenti! Mama bilang berhenti!”
Dea muncul tergesa dengan wajah panik. Keduanya terdiam, saling menatap tajam seperti dua elang siap menerkam. D4rah mengalir di sudut bibir Theodore. Ia menyekanya dengan punggung tangan.
“Baru ketemu sudah berantem! Kalian itu saudara!” bentak Dea.
Theodore mendengus sinis. “Dari dulu sampai sekarang, aku nggak pernah menganggap kalian bagian dari keluargaku.”
Ia berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Langkahnya berat, tapi tegas. Di belakangnya, Bryan menatap penuh kebencian.
“Bryan!” tegur Dea tajam. “Kamu mau buat Daddy marah? Jaga sikapmu!”
Bryan hanya mendengus kesal sebelum berjalan pergi, meninggalkan ibunya yang menatapnya dengan mata lelah dan kepala yang berdenyut sakit.
Di luar rumah, Theodore melangkah cepat. Udara malam menvsuk, tapi pikirannya lebih dingin dari udara itu. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok pria muda berdiri di hadapannya.
“Nero?” ujarnya terkejut.
Nero Evander, sepupunya, melangkah mendekat dengan ekspresi heran. “Kenapa wajahmu begitu? Kamu habis berantem Kak?”
“Entahlah,” Theodore malas. “Ngapain kamu ke sini?”
“Aku perlu bicara.”
Theodore mengangguk dan mengajaknya ke teras belakang. Mereka duduk dalam diam beberapa saat, hanya ditemani suara jangkrik dan desir angin malam.
“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Theodore akhirnya.
Nero menatapnya serius. “Tadi aku sempat mampir ke rumahmu, dan aku bertemu dengan Kak Elvera.”
Theodore mengangkat alis. “Terus?”
Nero menarik napas panjang, pandangannya menatap kosong ke langit sebelum kembali menatap Theodore dengan mata yang tajam dan cemas.
“Apa kamu merasa ... ada yang berubah dari istrimu akhir-akhir ini, Kak?”
_______________________________
Lunaaaaas, selamat tidur kawaaaan😆
apa lagi anak bryan 🤦♀️
masih mblundeeetttt
apalagi ini ditambah kondisi Ara yg menimbulkan tanda tanya
semoga saja gak isi
klo isi bisa jadi masalah besar
takutnya di curigai anak orang lain
q yakin El tidak seburuk ituuuu
pengakuan Bryan cuma untuk memprovokasi Theo