Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEJUJURAN LANGIT
Langit memutar kunci mobilnya dan menatap rumahnya sejenak. Lampu di teras menyala temaram, memantulkan bayangan hangat di aspal yang masih lembap. Ia membuka pintu mobil, udara pagi menyambutnya dengan hembusan dingin yang lembut. Langkahnya berat tapi tenang, sepatunya menapak di jalan setapak yang sedikit basah oleh hujan malam tadi.
Saat sampai di depan pintu, Langit menghela napas panjang, seolah melepaskan semua penat dan rasa bersalah yang masih menempel di hatinya. Tangannya kemudian menekan kenop pintu, dan suara engsel yang berderit terdengar seperti sapaan dari rumahnya sendiri.
Pintu lalu terbuka, dan aroma hangat—campuran kayu, debu ringan, dan sedikit aroma masakan—mengisi hidungnya. Langit mulai melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.
"Jadi, siapa wanita itu?!" Sambut Laura yang ternyata tengah duduk di badan sofa, entah sudah berapa ia di sana. Yang jelas, matanya menusuk Langit.
"Maksud Mama, ap—"
"Viona dan Ibunya tanpa sengaja melihat kamu di mall bersama seorang wanita!" Tandas Laura. Suaranya memekik, meninggi, campuran rasa kesal dan kecewa. "Dan sebelum itu terjadi, Mama tahu semuanya. Mama sewa orang suruhan untuk membuntuti kamu. Dan ternyata... dugaan Mama benar, kamu punya wanita lain selain Viona!"
Langit menelan ludah pelan, merasa sedikit tegang, sambil membenarkan backpack yang sedari tadi ia sandang. Tangan kanannya menyesuaikan tali yang terasa kurang nyaman di bahu, sementara matanya menatap kosong lantai di hadapannya.
Dan begitu Laura beranjak, matanya mulai menatap sang Ibu yang kini bergerak menghampirinya.
"Kamu sekarang bahkan berani gak pulang ke rumah hanya karena wanita itu. Iya, kan?!" Lanjut Laura. "Wanita itu... pasti bukan tipe wanita yang baik-baik."
Gak seharusnya kita melakukan ini, Mas!
Langit menelan salivanya lagi saat terlintas kalimat Arum memenuhi pikirannya. Sejenak, ia tertunduk, sebelum akhirnya memandang lagi Laura. "Kalau Mama gak suruh aku untuk beli bunga... aku pasti gak akan pernah tahu wanita yang aku cintai sekarang."
Mata Laura membulat.
"Namanya Arum." Lanjut Langit. "Arum bukan wanita yang Mama pikirkan. Kalau Mama gak percaya... aku akan bawa Arum kemari, bertemu Mama."
Setelah mengatakan itu, Langit berbalik dan melangkah pergi, seolah tak memberi ruang untuk sanggahan.
"Siapapun dia..." Ucap Laura, nadanya lantang memenuhi ruangan. "... Mama gak akan pernah bisa menerima dia! Karena cuma Viona... yang lebih pantas untuk bersanding dengan kamu, Langit!"
Langit tertunduk. Bahu-bahunya tegang, menahan perasaan yang sulit diungkapkan. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak, hanya terdengar detak jantung dan napas mereka yang tercekat. Sedetik kemudian, langkahnya kembali pergi meninggalkan dirinya di tempat, tanpa memperdulikan Laura yang memanggil namanya untuk tetap terpaku di tempatnya itu.
****
Langit menutup pintu kamarnya rapat, usai berhasil menghindar dari Laura. Ia menghembuskan napasnya, lega sekaligus menyakitkan.
Ia berjalan menuju tepi ranjang tidurnya. Pandangannya menatap langit-langit kamar, dan disana bayangan tentang semalam bersama Arum terlintas. Tentang, bagaimana ia memeluk Arum dengan dekapan hangatnya, mencium bibir Arum yang membawanya kepada satu kenikmatan tak terkendali.
Tiga tahun bersama Viona, Langit tak pernah melangkah melewati batas—tak pernah mencium, tak pernah menggenggam lebih dari sekadar tangan. Hubungan itu berjalan di jalur yang aman, penuh aturan dan perasaan yang terkendali. Tapi dengan Arum, yang baru sebulan berada di sisinya, semuanya terasa berbeda. Satu kesalahan besar telah terjadi, satu langkah yang tak bisa diulang, dan satu pelanggaran terhadap prinsip yang ia pegang selama ini telah sebagian retak bahkan mematahkan harapan wanitanya.
Namun, kesalahan itu bukan lahir dari nafsu atau pelampiasan kesepian yang menumpuk. Itu lahir dari sesuatu yang lebih dalam—rasa cinta yang tak terbendung, rasa ingin memiliki Arum sepenuhnya. Ia ingin merasakan setiap detik bersamanya, setiap sentuhan, setiap desah dan tatapan yang mereka bagi. Saat menatap wajah Arum, dengan mata yang seringkali menunduk malu atau tersipu, Langit merasakan hasrat yang lebih dari bukan sekadar fisik, melainkan sebuah kebutuhan untuk menyatukan mereka, untuk membuat Arum menjadi bagian dari dirinya dengan cara yang tak bisa ia jelaskan.
Tiap gerakan kecilnya wanita yang tidak hanya berparas cantik sederhana itu, setiap katanya terucap dengan suara lembut, memancarkan kejujuran yang menembus dinding hati Langit. Ia tak mencoba menutupi perasaannya, tak menaruh topeng kesombongan atau kepura-puraan seperti yang ia rasakan bersama Viona dulu.
Bahkan dalam diam, Arum berbicara—dengan tatapan, dengan getaran napasnya, dengan detak jantungnya yang terasa seirama dengannya, dan ia bisa merasakan ketulusan itu menyentuh bagian paling rapuh dari dirinya, membuka pintu yang lama terkunci oleh rasa sakit dan kehilangan.
Rasanya seperti udara yang ia hirup—tanpa bisa ditahan, tanpa bisa ditunda. Tubuh Arum di dekatnya membuat jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan hanya itu. Itu adalah rasa ingin melindungi, ingin memahami, ingin memegang erat setiap bagian dari wanita itu, sampai ia merasa bahwa dunia mereka hanya milik mereka berdua. Kesalahan itu, fatal bagi akal sehatnya, tapi untuk hatinya, itu adalah bukti dari cinta yang terlalu besar untuk dikendalikan.
****