Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 14.
Suara tawa berat dari meja sebelah terdengar lagi. Suara yang bagi orang lain biasa saja, tapi bagi Raisa... itu seperti cambuk yang mengoyyaak luka lama.
Tubuhnya semakin kaku, jemarinya mencengkeram lengan Arsyi begitu kuat hingga membuat kulitnya memutih.
“Aku… aku harus pergi! Aku tidak boleh di sini! Dia akan menemukanku! Dia akan__” suara Raisa pecah, hampir berteriak.
Arsyi segera mempererat pelukan, menundukkan kepalanya tepat di samping telinga Raisa.
“Tidak ada yang bisa menyentuhmu di sini. Lihat aku, Raisa...”
Namun Raisa tak bisa fokus, napasnya memburu.
Sinta ikut panik, berbisik pada perawat pribadi. “Dia… kambuh lagi. Apa yang harus kita lakukan?”
Perawat terlihat ingin menyuntikkan penenang, tapi Arsyi cepat menggeleng. “Jangan disini, ini tempat umum. Kalau orang-orang lihat, Raisa akan makin trauma.”
Perawat terdiam, ia pun mengangguk menuruti keputusan Arsyi.
Arsyi lalu berdiri, menggenggam wajah Raisa dengan kedua tangannya. Ia memaksa Raisa menatap ke arahnya.
“Dengar aku, Raisa. Ini aku Arsyi... istri Rendra, sahabat baikmu. Kau bersama kami, bukan bersama orang itu. Tidak ada yang bisa menyakitimu lagi, kita akan pergi ya.”
Mata Raisa berkaca-kaca, tapi tatapannya masih liar. “T-tapi… aku dengar suaranya…”
“Itu hanya suara, dia bukan penentu hidupmu. Kau bukan lagi milik siapa-siapa, sekarang kau... bersama kami.” Arsyi sengaja menekankan kata kami, ia menegaskan bahwa Raisa tidak sendirian.
Restoran yang semula riuh mendadak membeku, saat suara seorang wanita terdengar lantang.
“Bukankah itu anakmu, Jerry! Lihat! Raisa ada di sini juga! Cepat bawa mereka!”
Jerry berdiri dari duduknya, tatapannya menusuk seperti elang menemukan mangsa. Dialah kakak kandung Rio, pria bejat yang menodai istri adiknya sendiri.
“Jangan! Jangan biarkan dia mendekat!” Raisa langsung histeris, tubuhnya gemetar. Tangannya mencengkeram lengan Arsyi, seolah nyawanya bergantung di sana.
“Lindungi Nyonya!” teriak Arsyi.
Seketika para pengawal Rendra bergerak membentuk pagar manusia, melindungi Raisa dan baby Aidan yang ada di gendongan Sinta.
Namun Jerry terus mendesak. “Minggir! Itu anakku!”
Arsyi maju selangkah, rahangnya mengeras. “Anak ini bukan milikmu! Kau, laki-laki tak tahu malu… jangan berani menyentuh Raisa lagi!”
“Siapa kau berani melawanku!” Jerry menggeram, melangkah maju.
Tanpa pikir panjang, Arsyi mengangkat tangan.
Plak!
Tamparan keras mendarat di wajah Jerry. Suara itu bergema, membuat seluruh ruangan terdiam.
“Minggir!” bentak Arsyi lantang.
Wajah Jerry memerah, matanya berkilat marah. Namun sebelum ia membalas, seorang wanita berkelas dengan sanggul anggun, mantan ibu mertua Raisa maju mendorong Arsyi.
“Kurang ajar! Kau berani melawan keluarga kami?! Kau akan menyesal seumur hidup!”
Arsyi menatap tajam wanita kaya itu, bayangan Nyonya Ratna ibu mertuanya sendiri seolah hadir di depan mata. “Kalianlah yang harusnya takut! Jika berani menyentuh Raisa, kalian akan merasakan murkanya Tuan Rendra.”
“KAU__!“ Ibu mertua Raisa maju menarik jilbab Arsyi.
Kekacauan pun pecah. Pengawal Jerry dan pengawal Rendra saling dorong, meja kursi berjatuhan. Teriakan bercampur, dengan tangis Raisa yang semakin histeris. Arsyi sendiri saling menjammbbak dengan mantan ibu mertua Raisa, beberapa kali Arsyi pun terkena tamparan tangan wanita itu.
Lalu… langkah berat menggema dari pintu masuk restoran. Sosok jangkung dengan jas hitam elegan melangkah masuk, aura dingin dan otoritas yang tak terbantahkan menyapu ruangan.
Keributan langsung mereda, semua mata tertuju padanya. Tatapan Rendra menegang melihat Raisa meringkuk di pelukan perawat.
“Arsyi! Bawa Raisa ke mobil!” perintahnya tegas.
Meskipun tubuhnya berantakan, Arsyi segera menuntun Raisa keluar dengan lembut. “Ayo, tutup telingamu... kau tidak perlu mendengar apa pun.”
Rendra berbalik, menatap Jerry dan keluarganya dengan dingin menusuk. “Sekali saja aku tahu kalian mendekati istriku lagi… kalian akan menyesal seumur hidup.”
Rendra berjalan pergi tanpa menoleh lagi pada Jerry dan keluarganya. Bukan karena tak ingin membalas, tapi tidak untuk saat ini dimana hanya akan membuang-buang tenaga. Kekuatan keluarga Jerry nyaris seimbang dengan miliknya. Sekalipun pria bajingan itu dilaporkan pada pihak berwajib atas perbuatannya pada Raisa, Jerry pasti segera keluar dengan bantuan uang dan kuasa keluarganya.
Tidak, bukan sekarang. Rendra sudah menyusun rencana besar, balasan untuk keluarga itu harus datang sekali saja. Tepat di jantungnya, hingga keluarga itu hancur remuk tanpa sisa.
Di perjalanan pulang, suasana mobil terasa berat. Raisa yang kelelahan akibat histeria, akhirnya terlelap di bahu Arsyi. Obat penenang yang disuntikkan perawat, membuat kelopak matanya tertutup. Tapi tubuhnya, masih bergetar sesekali. Dan juga masih terdengar isakan kecil, mengirris hati siapa pun yang mendengarnya.
Rendra yang duduk di depan, hanya bisa menatap melalui spion. Rahangnya mengeras, urat-urat di pelipisnya menegang. Ia merasa getir karena harus melihat Raisa terus dihantui masa lalu.
Namun, bukan hanya Raisa yang membuat darahnya mendidih. Pandangannya tertuju pada Arsyi. Wajah wanita itu tampak pucat, penuh luka cakaran dan lebam tamparan.
Entah kenapa, dia merasa marah melihat Arsyi juga terluka?
Tangannya mengepal kuat di pangkuan. "Berani sekali mereka," desisnya.
Sesampainya di rumah, Rendra langsung menggendong Raisa ke kamar memastikan perempuan itu aman. Setelah itu, ia memanggil Arsyi ke ruang kerja.
Arsyi masuk ke ruangan kerja, tak lama pelayan membawa kotak.
“Saya akan mengobati wajah Nyonya Arsyi," bahkan lidah pelayan sekarang terbiasa memanggil Arsyi dengan sebutan Nyonya karena ikut bersandiwara.
“Tidak perlu! Pergilah! Taruh saja kotaknya di meja!“ titah Rendra.
Pelayan menurut, ia kembali keluar ruangan.
Begitu mereka berdua saja, Rendra mendekat dan duduk di samping Arsyi. “Kau terlalu gegabah! Lihat dirimu sekarang, wajah jelekmu semakin jelek!”
Arsyi menahan perih, bibirnya mengerucut. “Memang saya jelek, Tuan. Itu sebabnya... suami saya tidak pernah mencintai saya.”
“Bagus kalau kau sadar dirimu jelek, tapi sebentar lagi... laki-laki itu akan jadi mantan suamimu. Orangku sudah memasukkan gugatan cerai. Aku akan pastikan Fajar tidak pernah hadir di persidangan, maka hakim akan memutuskan verstek. Kau akan segera bebas dari belenggu pernikahan dengan pria bajingan itu!”
“Verstek?“ tanya Arsyi.
“Verstek adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan ketika salah satu pihak, biasanya tergugat... tidak hadir dalam persidangan. Meskipun dia telah dipanggil secara sah dan patut, tanpa memberikan alasan yang dapat diterima. Dalam konteks ini, pihak yang tidak hadir dianggap mengakui seluruh dalil gugatan pihak lawannya... sehingga gugatan dapat dikabulkan. Karena itu lah, aku akan menghalangi Fajar datang ke sidang. Tak lama lagi... kau akan bebas.“ Jelas Rendra.
“Terima kalian banyak, Tuan." Untuk pertama kalinya Arsyi tersenyum penuh kelembutan tulus dari hatinya.
Rendra sempat tertegun. Senyum itu… membuat dadanya bergetar aneh. Ia segera menunduk, membuka kotak P3K lalu membersihkan luka di wajah Arsyi.
Cotton bud di tangan Rendra menekan kuat kulit wajah Arsyi yang terluka, membuat wanita itu meringis. Tanpa mereka sadari, jarak wajah mereka terlampau dekat. Nafas keduanya beradu, lalu tatapan mereka berdua saling bertaut.
Sesuatu yang tak seharusnya hadir perlahan tumbuh, perasaan terlarang. Perasaan yang tak seharusnya terjadi... karena keduanya masih dalam ikatan pernikahan dengan pasangan mereka masing-masing.
Apa keduanya sanggup, menolak gejolak terlarang dalam hati mereka?