Satu malam naas mengubah hidup Kinara Zhao Ying, dokter muda sekaligus pewaris keluarga taipan Hongkong. Rahasia kehamilan memaksanya meninggalkan Jakarta dan membesarkan anaknya seorang diri.
Enam tahun kemudian, takdir mempertemukannya kembali dengan Arvino Prasetya, CEO muda terkaya yang ternyata adalah pria dari malam itu. Rahasia lama terkuak, cinta diuji, dan pengkhianatan sahabat mengancam segalanya.
Akankah, Arvino mengetahui jika Kinara adalah wanita yang dia cari selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Keluarga Prasetya
Siang itu langit mulai mendung ketika mobil hitam yang dikendarai Kinara meluncur meninggalkan gedung tinggi milik Prasetya Group. Wajahnya masih menegang, dada terasa sesak menahan amarah yang belum reda sepenuhnya. Di kursi belakang, Ethan duduk santai sambil memainkan gelang elektronik kecilnya, sesekali melirik ibunya dari pantulan kaca mobil. Belum sempat Kinara menarik napas panjang, ponselnya berdering. Nama yang terpampang di layar membuatnya refleks mengerem lembut.
Kinara mengangkat panggilan itu, suaranya berusaha tenang.
“Halo, Oma…”
[Zhao, cucuku, kau sudah kembali membuat heboh negeri orang, ya?] suara Oma terdengar tajam tapi ada senyum yang terselip di balik nada suaranya.
Kinara menghela napas kecil, menatap ke luar jendela. “Aku tidak mencari masalah, Oma. Tapi beberapa orang sepertinya senang menantang kesabaranku.”
[Hmph, aku sudah dengar sedikit tentang itu,] sahut Oma pelan, terdengar seperti sedang menahan tawa. [Tapi abaikan saja. Sekarang dengarkan Oma. Ada hal yang lebih penting.]
Kinara menggigit bibirnya. “Oma masih mematai-matai aku di sini? Apa lagi, Oma? Aku bahkan belum sempat beristirahat.”
[Kau tahu keluarga Prasetya?]
Kinara terdiam sejenak. “Nama itu terdengar familiar, kenapa?”
[Tuan Besar Prasetya, sahabat lama Oma, sedang sakit parah. Mereka menghubungi Oma secara pribadi, meminta dokter terbaik untuk memeriksanya. Dan menurut Oma...] suara wanita tua itu berhenti sebentar sebelum melanjutkan, [tidak ada yang lebih baik daripada cucuku sendiri, Dokter Zhao Ying.]
Kinara menegakkan punggung, ekspresinya berubah serius. “Oma ingin aku memeriksa dia?”
[Ya, kau sudah di kota itu, bukan? Mereka tinggal di kawasan utara. Aku ingin kau pergi ke sana besok pagi. Anggap ini sebagai penghormatan untuk teman lama Oma.]
Kinara menatap Ethan yang sedang pura-pura tidak mendengarkan tapi jelas memperhatikan.
“Baiklah, aku akan datang. Tapi, Oma…” suaranya merendah sedikit. “aku baru saja bertemu seseorang yang cukup membuat darahku naik, dan kurasa dia juga bermarga Prasetya.”
[Oh, ya?] Suara Oma terdengar penasaran. [Yang mana?]
Kinara menghela napas berat. “Pria itu … terlalu sombong. Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya, tapi dia bertingkah seperti dunia berputar di sekelilingnya."
[Kalau begitu, jangan biarkan dunia kecil seperti itu membuatmu kehilangan kendali,] ujar Oma tenang. [Ingat, cucu Zhao tidak pernah menunduk ... bahkan di depan raja sekalipun.]
Kinara tersenyum samar, matanya melunak. “Baik, Oma. Aku akan pergi ke sana besok.”
[Bagus, oh, dan bawa Ethan bersamamu. Nyonya rumahnya, Mawar Prasetya, orangnya lembut. Aku yakin dia akan menyukai kalian.]
Panggilan berakhir, Kinara meletakkan ponselnya di pangkuan, sementara Ethan langsung bersuara dengan nada ingin tahu.
Sementara itu, di perusahaan Prasetya.
Sore hari itu, matahari perlahan tenggelam di balik gedung tinggi perusahaan Prasetya Group. Cahaya jingga menyelinap masuk melalui jendela besar ruang kerja Arvino, memantulkan siluet tubuh pria itu yang berdiri menatap keluar dengan tangan terlipat di dada. Udara di ruangan terasa tenang, tapi juga berat, seperti ada badai yang baru saja berlalu.
Pintu diketuk perlahan.
“Masuk,” suara Arvino datar, tanpa menoleh.
Savira melangkah pelan, mengenakan gaun berwarna pastel, rambutnya ditata rapi, namun ada gurat gelisah di wajahnya. Dia menutup pintu perlahan lalu mendekat, menyipit menatap punggung Arvino yang tegap dan dingin.
“Vino…” panggilnya pelan, nada suaranya dibuat selembut mungkin.
“Aku ingin bicara.”
Arvino masih tidak menoleh. “Tentang apa?”
Savira menelan ludah, lalu berjalan semakin dekat, berdiri di belakangnya.
“Tentang pagi tadi. Aku … aku benar-benar minta maaf.” Suaranya bergetar lembut, dibuat-buat seolah penuh penyesalan. “Aku tidak bermaksud memarahi anak itu. Aku hanya … terlalu panik. Gaunku rusak, itu hadiah darimu, aku terlalu kesal, Vino.”
Arvino menoleh perlahan, menatap Savira dengan tatapan dingin yang membuat wanita itu nyaris kehilangan kata.
“Kau ingin menampar anak kecil, Savira. Di depan umum. Dan yang lebih buruk, kau melakukan itu pada putra dari tamu kehormatan keluarga kami.”
“Tapi aku tidak tahu kalau dia anak Dokter Zhao,” Savira cepat membela diri. “Aku pikir dia cuma...”
Arvino mengangkat tangan, memotong kalimatnya. “Tidak tahu bukan alasan. Aku sudah berkali-kali bilang, jangan bersikap impulsif. Nama keluarga Prasetya dipertaruhkan di setiap tindakan kita.”
Savira menunduk, berusaha menahan rasa kesal yang membuncah di dadanya. “Aku benar-benar menyesal, Vino. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”
Suasana hening beberapa detik. Arvino akhirnya duduk di kursi kerjanya, menatap tumpukan dokumen di meja, lalu berkata datar, “Baiklah, aku terima permintaan maafmu. Tapi lain kali, jangan sampai hal seperti ini terjadi lagi. Dokter Zhao adalah orang yang sangat penting bagi keluarga kami, terutama bagi Kakek.”
Savira mencoba tersenyum. “Aku mengerti, Sayang. Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja di antara kita.”
Arvino tidak menanggapi. Dia hanya menandatangani satu berkas lalu menatap jam di pergelangan tangannya.
“Kau sebaiknya pulang dulu ke vila. Malam ini aku akan menemui Kakek di rumah.”
Savira menatapnya dengan kecewa. “Kau tidak ikut pulang denganku?”
Arvino menggeleng pelan. “Tidak malam ini, kakek belum membaik, dan aku perlu menemaninya.”
Savira menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan rasa sebal. “Kalau begitu, kapan kau akan memperkenalkanku pada Tante Mawar? Aku ingin mengenalnya, Vino. Aku calon istrimu, aku pikir sudah waktunya aku diterima keluarga Prasetya.”
Arvino mendesah pelan, lalu menatap Savira tanpa ekspresi. “Nanti, setelah Kakek benar-benar sembuh. Saat ini Mama belum siap bertemu siapa pun, apalagi membicarakan pernikahan.”
“Tapi kenapa Tante belum mau menerimaku?” suara Savira mulai meninggi, nada tersinggung tak bisa ia sembunyikan.
Arvino menatapnya dingin. “Karena Mama menilai seseorang bukan dari penampilannya saja, Savira. Mama ingin calon menantunya punya sikap, bukan hanya kecantikan dan status.”
Savira menelan ludah, wajahnya memerah menahan malu sekaligus marah. “Jadi … kau ingin aku belajar bersikap?”
“Lebih tepatnya, belajar menjadi dewasa.” Arvino berdiri, mengambil jas dari gantungan. “Kau punya banyak waktu untuk memperbaiki diri sebelum aku memperkenalkanmu pada Mama.”
Savira memaksakan senyum. “Baiklah, kalau itu yang kau mau. Aku akan berusaha.”
Arvino menatapnya singkat, kemudian melangkah ke arah pintu. “Aku akan menugaskan sopir untuk mengantarmu pulang ke vila, istirahatlah.”
Savira mengikuti langkahnya, mencoba mencairkan suasana. “Vino … sebelum aku pergi, boleh aku...” ia mengangkat sedikit wajahnya, berusaha mencium pipi Arvino seperti biasanya. Namun pria itu menghindar, menoleh ke sisi lain.
“Jangan sekarang, aku sibuk.”
Seketika senyum Savira membeku. Dia menunduk cepat, menutupi rasa malu yang menyesak di dadanya.
“Baik, aku mengerti.”
Arvino melangkah pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan aroma parfum dinginnya yang samar. Begitu pintu tertutup, Savira mengepalkan tangan kuat-kuat. Napasnya memburu, rahangnya mengeras.
“Dia menolakku … karena perempuan itu,” bisiknya penuh kebencian. “Kinara. Perempuan sialan itu selalu berhasil menarik perhatiannya, bahkan setelah enam tahun. Sekarang dia kembali … dengan bocah itu.”
Savira melangkah ke arah jendela, menatap langit sore yang mulai gelap. Tatapannya dingin, nyaris gila.
“Baiklah, Kinara,” ucapnya lirih, suaranya berubah menjadi nada mengancam. “Kau ingin bermain di wilayahku? Aku akan pastikan kau menyesal telah kembali. Tidak akan ada tempat untukmu atau anakmu, di sisi Arvino.”
Tangannya mengepal begitu keras hingga kuku-kukunya menancap di telapak, namun Savira tak peduli. Dalam benaknya, satu hal sudah pasti, sebelum Arvino menyadari kebenaran tentang Ethan, ia harus menyingkirkan Kinara terlebih dahulu.
Author punya karya baru, karya lama sudah tamat, ayo mampir !!!
tp lbih bgus skr lgsg d pecat
udah salah belaga playing victim lagi
Zaki.... segera urus semua berkas pernikahan Arvino dan Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan Arvino harus pantau terus Kinara dan Ethan di manapun mereka berada . karena Savira dan Andrian selalu mengikuti mereka dan mencari celah untuk menghasut Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
up LG Thor 😍