Istri Kedua Bima

Taksi berhenti di depan sebuah proyek bangunan yang masih terlihat baru dua puluh persen dari keseluruhan. Hotel yang akan megah nantinya berdiri menjulang dengan lima lantai. Bukan hotel biasa, tapi ini akan menjadi hotel untuk para kaum elit berada. Meskipun hanya lima lantai tapi hotel ini akan di buat semegah mungkin dan membuat para elit tidak rugi mengeluarkan kocek dalam untuk menginap di hotel ini.

Lily setengah berlari menghampiri orang yang ia yakini adalah bosnya.

"Ma-maaf pak. Saya... terlambat!" ucap Lily sembari mengatur nafasnya.

Bima hanya terdiam menatap Lily dengan tajam. Takut sebenarnya, tapi Lily juga salah. Kenapa dia bisa terlambat bangun. Dan sepertinya bukan salah dia juga sih. Bima juga tidak membangunkannya tadi.

Seorang pria di samping Bima tersenyum pada Lily. Senyum yang mengandung arti yang berbeda.

"Gerry." ucap pria itu sembari mengulurkan tangannya pada Lily.

"Eh? Lily." Lily yang sempat bingung akhirnya menyambut uluran tangan pria bernama Gerry itu, bos dari perusahaan kontraktor yang di percaya Bima.

Lily merasa risih karena Gerry tidak juga melepaskan tangan Lily. Gerry seperti terhipnotis oleh pesona yang Lily punya.

Bima melenggang melewati tangan keduanya hingga Gerry terpaksa melepaskan tautan tangannya dari Lily. Keduanya mengikuti Bima dari belakang, tapi pandangan Gerry tak pernah luput dari Lily yang berjalan di sampingnya.

Lily ingin cepat pulang saja ke hotel. Dia menyesal sudah datang kemari karena ternyata disini dia juga hanya mendampingi Bima tanpa berbuat apa-apa. Dan Lily merasa tatapan Gerry seakan menelanjanginya dari atas ke bawah. Tatapan pria bernafsu, dan benar saja, ketika Lily melirik ke arah bawah sesuatu menyembul dari balik celana bahan milik pria itu. Rasanya Lily ingin sekali mencongkel mata pria itu dengan obeng yang ada pada salah seorang tukang yang sedang bekerja di hadapannya. Boleh kah Lily melakukannya?

"Apakah besok bapak akan kembali ke Jakarta?"

"Iya."

"Bolehkah malam nanti saya undang bapak untuk makan malam? Saya juga akan mengundang yang lainnya untuk datang"

"Oke."

"Trimakasih karena bapak sudah menerima tawaran saya. Akan saya kirimkan alamat restorannya nanti malam." ucap Gerry dengan nada bahagianya.

Lily dan Bima masuk ke dalam mobil. Lily terdiam karena masih kesal dengan perlakuan Gerry padanya. Lirikan mata Gerry dan juga tangan Gerry yang dengan sengaja menyenggol tubuhnya.

Bima Satria.

Aku yakin gadis ini sedang menahan amarah. Terlihat dari tangannya yang mengepal di atas pahanya. Buku-buku jarinya memutih. Bibirnya bergemeletuk terdengar jelas meskipun mesin mobil sudah aku nyalakan.

"Harusnya kamu gak perlu datang tadi. Percuma kamu datang juga gak banyak bantu!"

"Saya tahu. Saya juga nyesel datang ke proyek, saya cuma jadi tontonan gratis disana." ku dengar nada kesal dari setiap perkataannya.

"Apalagi si kampret Gerry, maaf ya pak, tapi teman bapak yang satu itu kelihatan mesum banget! Saya gak suka! Pengen banget tuh tadi saya congkel matanya pake obeng, saya gergaji tuh tangannya yang gak bisa diem itu sampai putus sama urat-urat nya!" haha, baru kali ini aku mendengar Lily marah seperti ini. Gadis yang aku kenal kalem dan lembut ternyata bisa juga menjadi seperti singa betina.

"Apa nanti malam kamu mau ikut?"

"Apa saya bisa nolak?"

"Gak bisa!"

"Ya terpaksa deh." ucapnya pasrah bersamaan dengan itu ku dengar suara nyanyian di perutnya.

"Kamu lapar?" Dia tersenyum meringis sambil memegang perutnya.

"Saya kesiangan bangun dan tadi gak sarapan!" Kasihan sekali anak ini.

Aku melajukan mobilku ke arah restoran yang tak jauh dari sini. Jujur aku juga lapar.

Hidangan sudah tersedia di depan kami. Lily terlihat ragu saat akan memulai acara makannya.

"Bapak yakin pesan sebanyak ini?" Lily menatap meja yang hampir tidak terlihat karena banyaknya hidangan yang aku pesan. Aku mengangguk dan menyuruhnya makan. "Bapak gak akan potong gaji aku kan, karena aku terlambat tadi?"

Bahkan aku sengaja tidak membangunkannya. Karena aku fikir kehadiran juga tidak akan terlalu banyak membantu di proyek.

"Enggak."

Lily tersenyum. Senyum manis yang mengalahkan rasa teh di gelasku. Aku akui itu.