Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Aku di keluarkan dari kelas saat mata kuliah mas Sagara sedang berlangsung karena kedapatan melamun sebanyak dua kali. Padahal yang pertama sudah di peringatkan untuk fokus ke materi yang sedang ia jelaskan, tapi tetap saja cerita Gabby terus mengganggu otak, hati serta pikiranku.
Tidak salah juga jika mas Sagara marah, tapi setidaknya nggak ngeluarin juga kan, sampai nggak boleh mengikuti mata kuliahnya. Aku ini kan istrinya, tapi malah dengan sengaja membuat malu di depan teman-teman.
Dosen itu benar-benar keterlaluan, dan aku semakin bulat untuk membalas rasa maluku ini.
Di rumah nanti, aku nggak akan mikir lagi buat masak pakai bubuk merica dan minyak wijen. Nggak peduli seberapa menderitanya pria itu setelah makan makanan yang mengandung bahan yang tidak bisa di terima oleh tubuhnya.
"Jihan" Ketika tengah sibuk dengan pikiranku, aku yang sudah duduk di bangku taman depan kelas mendengar suara Bara.
Saat ini dia tengah mengerjakan tugas akhir, jadi jarang sekali ke kampus. Dan ini pertama kalinya kami bertemu setelah aku memutuskan hubungan kami waktu itu.
Aku mendongak, menatap wajah pria yang pernah membuatku tergila-gila.
"Boleh aku duduk?" Tanyanya sendu.
"Lantas kalau boleh kamu mau apa?" jawabku datar tanpa ekspresi.
"Aku pengin ngomong sama kamu"
Aku tersenyum sinis.
"Mau ngomong apa? Bukankah kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi? dan maaf, lebih baik jangan pernah temui aku karena aku nggak mau di cap sebagai perusak rumah tangga orang? Aku nggak mau ada orang lain yang salah paham terhadap kita"
"Please, Ji. Aku masih cinta sama kamu"
"Tapi aku sudah nggak cinta sama kamu"
"Secepat itu kamu melupakanku, Ji"
"Kenapa? Apa aku salah?" Aku menatapnya dengan sorot penuh kebencian. Setiap kali teringat ajakannya untuk berbuat zina, aku sungguh merasa muak pada pria berusia dua puluh tiga tahun ini.
Andai aku menerima ajakannya, mungkin nasibku akan sama seperti Rihana. Hamil di luar nikah dan akan di terlantarkan olehnya. Tentu saja juga akan kehilangan masa depanku karena harus mengurus anak di usia muda.
Pria penuh nafsu itu lantas duduk di sampingku lalu meraih tanganku yang langsung ku tepis dengan kasar.
"Jangan sentuh aku!" Ucapku dengan begitu ketusnya, menoleh ke samping kiri untuk menembus bola matanya "Terus, kenapa ada gosip kalau kamu ingin menceraikan Rihana dan akan melamarku?" Lanjutku.
Bara tampak menelan ludahnya sendiri.
"Ku peringatkan sama kamu, Bara. Aku tidak mau menerima lamaran darimu apalagi menikah denganmu. Aku tidak akan sudi hidup dengan pria yang sudah membuat istrinya keguguran, jadi jangan coba-coba mencari masalah denganku"
"Tapi kamu masih mencintaiku, Ji. Aku tahu itu"
Untuk kesekian kalinya aku tersenyum sinis. "Apa kamu seorang pembaca pikiran? tapi maaf, pikiranmu salah besar. Aku sudah enggak mencintaimu, dan satu lagi" Kataku seraya bangkit. "Jangan pernah muncul di hadapanku, ataupun menggangguku"
Aku langsung pergi dan berniat masuk ke kelas karena tas dan bukuku masih ada di dalam sana. Aku ingin pulang saja, nggak peduli dengan mas Sagara yang kemungkinan besar masih marah.
Tanpa mengetuk pintu dan salam, aku langsung masuk melangkah menuju bangkuku. Meraih tas dan buku kemudian kembali melangkahkan kaki keluar kelas. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapku bingung.
"Eh, itu Jihan kenapa?"
"Nggak tahu"
"Nggak sopan banget si, ada pak Sagara main masuk terus keluar lagi tanpa permisi"
Bisikan-bisikan itu keluar dari mulut teman sekelas yang sama sekali tak ku hiraukan.
*****
Matahari sudah merangkak naik ketika aku baru saja keluar dari gerbang kampus, panasnya terik seakan mampu membakar isi kepalaku sekaligus membuat kekesalanku kian naik. Entah kesal karena mas Sagara, atau Bara, tapi yang jelas perasaanku saat ini memang tengah bergemuruh hebat.
Tiba-tiba ku dengar ponselku berbunyi dari dalam tas, bunyi tanda pesan masuk.
Karena aku penasaran, aku pun langsung meraih ponselku.
Mr. S : "Mau kemana kamu? Kenapa pergi tanpa ijin? Apa mantanmu mengajakmu pergi?"
Keningku mengernyit saat membaca pesannya.
"Kenapa mas Sagara bertanya soal Bara dan mengira aku pergi dengannya?" Ku hentikan langkahku lalu menoleh ke belakang, menatap jauh ke arah ruang kelasku.
"Apa tadi dia tahu kalau Bara baru saja menemuiku?"
Belum ku balas pesan darinya, pesan berikutnya kembali masuk.
Mr. S : "Langsung pulang ke rumah, sekarang juga"
"Apa maksudnya? aku kan memang mau pulang"
Bibirku mengerut, sepasang manik hitamku bergerak penuh pertimbangan sementara otakku berfikir keras.
"Apa aku kerjain saja?"
"Dia pasti nanti nyangkanya aku pergi sama Bara"
"Iya deh, aku kerjain dia aja, pengin lihat reaksinya kayak gimana, wajah marahnya pasti menyeramkan. Dia kan hobinya pasang wajah cemberut dan masam"
Tanganku bergerak mengetik pesan balasan setelah mantap dengan rencanaku.
Maaf, aku nggak bisa pulang sekarang, aku ada urusan penting. Aku akan pulang sebelum maghrib.
Tanpa menunggu lama, mas Sagara langsung membalas pesanku.
Mr. S
"Mau kemana kamu, sampai pulang sore?"
"Ada urusan penting apa?"
"Apa lebih penting dari pekerjaanmu sebagai ibu rumah tangga?"
"Aku nggak mau tahu! Pulang sekarang juga!"
Ish ish ish... Kenapa sepeduli itu?
Menggelengkan kepala, tak ku balas lagi pesannya, aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tas sambil terus berjalan menuju halte bis.
Aku akan ke toko bunga sampai pukul empat nanti. Semoga saja mas Sagara nggak kepikiran kalau aku di sana.
Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, bis yang ku naiki berhenti tepat di depan toko. Aku langsung turun dan bibirku reflek tersenyum saat mendapati toko bungaku di kunjungi oleh beberapa pengunjung. Baik tua maupun muda, laki-laki atau perempuan.
Bunga memang tidak hanya di sukai oleh anak muda atau wanita saja, bisa di bilang kalau bunga di sukai oleh semua lintas generasi.
Justru yang sering membeli adalah pria seusia mas Sagara. Kebanyakan dari mereka tentu saja untuk memberikan surprise pada istrinya.
Tak hanya itu, banyak juga yang membeli bunga tabur untuk mengunjungi makam. Karena tokoku adalah satu-satunya toko yang tidak terlalu jauh dari tempat pemakaman umum. Hanya berjarak kurang lebih satu kilo sudah sampai di makam, jadi banyak sekali orang-orang yang mampir sebelum berziarah untuk membeli bunga.
"Mbak Jihan!" Sapa mbak Tina dengan bibir tersenyum ramah.
"Assalamu'alaikum, mbak!" Ku balas senyumannya tak kalah ramah.
"Wa'alaikumsalam"
"Sibuk ya mbak?" Tanyaku basa-basi.
"Iya mbak, alhamdulillah hari ini toko ramai"
"Okay aku bantu layani mereka ya" ku lirik para pengunjung yang tengah memilih-milih bunga.
Setelah mbak Tina mengangguk, aku menuju ke meja kasir meletakkan tasku sebelum kemudian menghampiri salah satu pengunjung yang sepertinya sepasang suami istri.
Kami berbincang sedikit tentang bunga dan sekalian ku beritahu arti makna bunga. Sepasang suami istri itu pun akhirnya membeli bunga mawar putih dan pink.
Saat menggabungkan mawar merah muda dan putih menjadi satu buket, kedua bunga itu mewakili kebahagiaan dan kegembiraan, dengan bunga putih memancarkan kemurnian cinta, sedangkan pink memiliki makna kegembiraan serta keindahan.
Karena terlalu sibuk melayani beberapa pembeli, tahu-tahu waktu sudah memasuki adzan ashar. Tak ingin menunda, dan mumpung toko lagi sepi, aku langsung pergi berwudhu.
Selang lima belas menit, usai sholat, aku mendapati mobil mas Sagara terparkir di halaman toko.
Diam-diam aku melangkahkan kaki menuju teras. Di sana ku lihat mbak Tina sedang mengobrol dengan mas Sagara, keberadaanku sendiri tidak di sadari oleh keduanya.
Mbak Tina pasti sudah mengatakan kalau aku ada disini.
Andai saja tahu mas Sagara mau datang kemari, aku beri tahu mbak Tina biar nggak ngomong kalau aku disini. Sayangnya sudah terlambat, dan dari obrolannya, sepertinya mereka tak membahas soal aku.
Tiba-tiba saja aku mendengar pertanyaan mas Sagara.
"Ngomong-ngomong, tadi Jihan datang pukul berapa mbak?"
Aku bersiap menajamkan pendengaran untuk menguping.
"Sekitar setengah satu, mas"
"Berarti sudah sejak siang dia disini?"
"Betul" Jawab mbak Tina.
Ah padahal aku ingin membuatnya berprasangka buruk padaku, tapi mbak Tina malah mengacaukan segalanya.
Tak ingin mendengar pembicaraan mereka lagi, aku akhirnya berjalan berniat mengambil tas.
"Mbak, aku pulang dulu ya" Kataku setelah berdiri di dekat kursi teras tepat di hadapan dua orang yang sedang duduk.
"Oh iya mbak, mas Sagara juga sudah menjemput embak"
Aku tersenyum kecut merespon kalimat mbak Tina.
"Titip toko ya mbak"
"Iya mbak Jihan" responnya mengangguk lengkap dengan seulas senyum.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
"Saya permisi dulu, mbak" Kali ini mas Sagara bersuara saat aku berbalik hendak menuju mobil.
Aku benar-benar tak peduli dengannya, aku masih sakit hati atas pengusirannya dari dalam kelas.
Setelah sampai di rumah, seperti biasa nanti, pasti akan ribut adu mulut untuk menguarkan perdebatan.
Bersambung.