Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
"Kenapa kamu cuma diam saja, Teguh? Istrimu semakin kurang ajar terhadap ibu!" ucap Bu Ayu dengan nada tinggi, melayangkan tatapan tajam ke arah putranya yang hanya duduk tanpa ekspresi. Amarahnya memuncak melihat Teguh yang seakan tak peduli pada situasi yang menurutnya sudah tidak bisa dibiarkan.
Teguh menghela napas panjang, tampak lelah dengan suasana yang terus saja panas di rumahnya. "Aduh, Bu," keluhnya sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. "Pusing aku lihat kalian ribut terus. Bisakah kalian akur untuk barang sejenak, Bu?"
Tatapan Teguh berpindah dari ibunya ke istrinya. Ia merasa terjepit di antara dua wanita yang penting dalam hidupnya, namun setiap perdebatan selalu membuatnya merasa seperti pihak yang tak berguna.
"Teguh, ibu ini orang tuamu! Masa kau diam saja melihat istrimu kurang ajar begini?" desak Bu Ayu lagi, tidak terima dengan sikap santai putranya.
Sementara itu, Tari yang mendengar percakapan tersebut hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan dianggap pembangkangan. Dalam hatinya, Tari merasa letih dengan pertengkaran yang seolah tak ada ujung ini.
Mata Bu Ayu mendelik lebar, memancarkan amarah yang semakin menjadi-jadi. Tangannya berkacak pinggang, seolah mencoba menegaskan posisinya sebagai yang paling berhak dihormati di rumah itu.
"Heh, ini semua tidak akan terjadi kalau kau bisa atur istrimu, Teguh!" suaranya meninggi, nyaris menggema di ruangan. "Kau itu kepala rumah tangga, didik dia supaya bisa nurut sama ibu, selaku mertuanya. Bukan malah jadi menantu durhaka!" sarkas Bu Ayu, nadanya semakin tajam dan penuh kesal.
Teguh, yang masih duduk di kursinya, hanya bisa mendengarkan. Ia tahu apa pun yang ia katakan hanya akan menyulut amarah lebih besar. "Bu, sudahlah. Jangan terus-menerus menekan Tari," ujarnya lelah, mencoba menenangkan situasi meskipun nada suaranya terdengar nyaris putus asa.
Namun Bu Ayu tak menggubris. Ia melanjutkan omelannya dengan penuh emosi, sementara Tari berdiri di sudut ruangan, mendengarkan setiap tuduhan yang diarahkan padanya. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, kapan kehidupan seperti ini akan berakhir.
"Hemm, baiklah," kata Teguh dengan nada datar, meski matanya menunjukkan lelah yang tak terkatakan. Ia berdiri dari kursinya, menatap ibunya sejenak sebelum melanjutkan, "Teguh akan mendidik Tari sampai menjadi menantu yang baik buat ibu."
Ucapan itu terdengar seperti janji, tapi ada keengganan yang jelas tersirat di balik kata-katanya. Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Teguh berbalik dan melangkah menuju kamarnya.
Pintu kamar ditutup dengan pelan, namun cukup jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin melanjutkan diskusi ini lebih lama. Di dalam kamar, Teguh duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke dinding. Ia tahu, konflik ini bukan hal yang bisa diselesaikan hanya dengan janji atau kata-kata.
Di luar kamar, Bu Ayu masih menggerutu sendiri, merasa puas bahwa setidaknya Teguh mengaku akan "mengurus" Tari. Sementara itu, Tari hanya berdiri di sudut ruangan, menggenggam erat baju-bajunya yang masih ia bawa. Hatinya penuh dengan perasaan bercampur aduk—antara marah, sedih, dan kecewa.
Ceklek!
Pintu kamar dibuka perlahan, lalu ditutup kembali oleh Teguh. Ia berdiri sejenak di depan pintu, mengamati ruangan yang hening. Pandangannya jatuh pada Tari, istrinya, yang sedang sibuk menata baju mereka ke dalam lemari. Gerakan tangan Tari teratur, meskipun ada kelelahan yang terlihat dari cara ia menarik napas panjang di sela-sela kegiatannya.
"Tari, tidak bisakah kamu nurut sama ibu?" tanya Teguh, suaranya terdengar datar namun ada nada lelah yang tak bisa disembunyikan. Ia bersandar pada dinding kamar, memandang istrinya yang kini berdiri diam di depan lemari.
"Bersikaplah sebagai menantu yang baik, jangan buat ibu emosi terus. Pusing Mas lihat kalian berdua terus bertengkar," lanjutnya, mencoba menegur meskipun dalam hatinya ia tahu ini bukan sepenuhnya salah Tari.
Semangat thor