Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
【Three Maids and a Maid】 1
Kereta kuda bergerak di atas jalan batu, rodanya berderak lembut saat melalui permukaan yang tak rata.
Ditarik oleh dua kuda yang kokoh, bulu mereka berkilau diterpa sinar matahari pagi.
Meski desainnya sederhana, kereta itu memancarkan keanggunan yang tenang.
Rangka kayu hitam dan besi penopang dipoles hingga sempurna, menyiratkan bahwa pembuatannya dikerjakan dengan cermat, jelas menandakan status bangsawan.
Ukurannya cukup memuat dua belas penumpang—enam di setiap sisi—mirip dengan gerobak terbuka tanpa atap.
Di bagian belakang, ada tangga kecil untuk naik-turun dengan mudah.
Dua belas maid muda menumpang di kereta itu, masing-masing mengenakan seragam yang sama, lengkap dengan bandana yang diikat rapi di rambut mereka.
Hanya perbedaan wajah dan tinggi badanlah yang membedakan satu sama lain di antara penampilan yang nyaris seragam.
Matahari pagi, baru lewat pukul sembilan, memandikan sekeliling dengan cahaya lembut.
Taman depan mansion yang sederhana terbentang di balik gerbang besi, dengan jalan melingkar mengitari air mancur mungil.
Tamannya lebih berfungsi dibanding megah, dirancang untuk memudahkan kereta berputar.
Terletak dalam kompleks mansion bangsawan, jalan di luarnya tampak sepi kecuali sesekali lewat kereta milik keluarga bangsawan lainnya.
Di dekat gerbang, Ann berdiri, tangan bersilang di dada, wajahnya mencerminkan kebosanan dan sikap datar.
Sudah cukup lama ia menunggu, pandangannya kadang melirik ke arah jalan.
Di sampingnya berdiri Ophelia, tegak sempurna, aura profesional dan tenang seorang kepala maid berpengalaman.
Bila kehadiran Ann terkesan kasual, hampir malas, Ophelia menebarkan wibawa tentram yang tak perlu diragukan.
Kereta itu pun berhenti pelan di jalan, tepat di luar gerbang.
Tiga maid turun, sepatu mereka beradu pelan dengan batuan jalan.
Mereka berbaris dari yang paling pendek hingga yang paling tinggi, meski yang tertinggi hanya sedikit lebih tinggi dari Ann.
Mereka membungkuk serempak, menyapa, "Selamat pagi, Madam Ophelia."
Ophelia mengangguk anggun, kedua tangannya bertaut ringan di depan perut.
"Selamat pagi," balasnya, nada bicaranya ramah tapi berjarak.
Ann pun mengubah sikapnya, dari malas menjadi lebih sopan.
Tanpa mengucap apa-apa, ia mengikuti gerak Ophelia, menunjukkan rasa hormat yang lebih halus.
Tanpa banyak kata, Ophelia lantas berjalan menuju mansion, gerak-geriknya terukur sempurna.
Ann mengikuti, sementara ketiga maid itu mengiring di belakang mereka.
Mansion itu tampak megah di hadapan, fasadnya yang pucat berkilau disinari mentari.
Ukiran rumit menghiasi bingkai jendela besar, dan desainnya yang simetris memancarkan kesan anggun.
Langkah mereka menapaki taman, derap kaki berpadu dengan gemericik lembut air mancur.
Pintu depan yang berat terbuka, menampilkan interior yang menawan.
Di foyer, tangga megah dari marmer putih menyapu pandangan, anak tangganya melengkung elegan ke atas.
Pegangan tangga berlapiskan emas, pola ukirannya menangkap cahaya yang bergeming dari lampu gantung di atas—gemerlap kristal yang memandikan ruangan dengan pancaran hangat dan mengundang.
Lantai yang mengilap memantulkan cahaya, menambah suasana kemewahan.
Ophelia berhenti di bawah tangga, menoleh ke arah Ann.
"Lanjutkan pembersihan di lantai dua dan pimpin mereka sesuai kebutuhan," perintahnya dengan nada datar.
"Baik, Ma’am," jawab Ann tanpa ragu, sikapnya berubah total, menampilkan disiplinnya sebagai pelayan profesional.
Sorot mata Ophelia beralih ke tiga maid di belakang.
"Dan kalian, dengarkan Ann. Bekerjalah seperti biasa. Saya akan berada di ruang kerja kalau dibutuhkan."
"Baik, Madam Ophelia," balas ketiganya serempak, suara mereka mencerminkan gabungan rasa hormat dan sedikit gugup.
Setelah itu, Ophelia berjalan ke ruangan laian, gerak langkahnya tetap anggun.
Begitu sosoknya lenyap dari pandangan, Ann memberi isyarat agar ketiga maid mengikutinya.
Mereka meniti tangga menuju lantai dua dalam keheningan, langkah kaki mereka teredam karpet tebal.
Ann membawa mereka ke sebuah ruangan.
Ann membuka pintu, menampakkan ruang studi Lady Beatrice.
Ruang itu terasa nyaman namun penuh, seperti perpustakaan mini.
Rak-rak yang dijejali buku memenuhi dinding, sebagian dalam keadaan terbuka atau menumpuk sembarangan di lantai.
Sebuah meja belajar berada di dekat jendela lebar yang menghadap taman belakang, di mana bunga-bunga cerah mengitari patio kecil tempat Lady Beatrice biasa sarapan atau minum teh.
Sinar matahari pagi menembus kaca, memancarkan cahaya hangat di atas kertas-kertas dan buku-buku yang berserakan.
Persediaan alat kebersihan sudah tertata rapi di sudut, siap dipakai.
Ann melangkah masuk, menahan pintu untuk yang lain, suaranya tenang tapi tegas.
"Kita mulai dari ruang studi Lady Beatrice."
Ketiga maid pemula itu masuk berurutan, mata mereka menyapu ruangan singkat sebelum mengambil posisi masing-masing.
Begitu Ann menutup pintu, suasana seolah berubah.
"Fuuueeeeh," keluh si maid ceria, bahunya terkulai dramatis saat ia menghembus napas lega.
Maid yang usil meregangkan tubuhnya, merentangkan tangan tinggi-tinggi dan memutar pinggangnya dengan gerakan berlebihan.
"Eghhhhh. Nyaman juga," ujarnya tanpa malu, nada suaranya santai.
"Heh! Jangan terlalu santai!" desis si maid serius, suaranya tajam namun ditahan agar berbisik.
Tubuhnya kaku, ekspresinya campuran antara tak setuju dan waspada.
"Ya, ya," balas si maid ceria dan si maid usil bersamaan, nada mereka terdengar seperti setengah malas, sembari mengambil peralatan bersih-bersih.
Ketiganya langsung bergerak menempati posisi.
Si maid ceria, yang selalu enerjik, mulai mengumpulkan buku-buku yang berserakan, sedangkan si maid usil mengambil kemoceng untuk membersihkan rak.
Si maid serius, yang kerap jadi pemimpin tak terucap, mulai mengelap jendela tinggi dengan gerakan hati-hati dan terukur.
Meski sebelumnya terdengar ketus, begitu mereka mulai bekerja, ekspresi kesal si maid serius mencair, tenggelam dalam kesibukan.
Sementara itu, Ann melangkah ke sofa di ruang studi dan dengan santainya mengambil koran di atas meja.
Alih-alih ikut membersihkan, ia duduk di bantalan sofa, membuka koran, lalu membalik halamannya dengan sikap malas yang sudah biasa.
Si maid usil mulai bersenandung pelan sembari bekerja, nadanya ringan dan terdengar acak, sementara ia menata buku di rak.
"Santai boleh, tapi jangan mulai bernyanyi," tegur si maid serius, tetap memunggungi mereka sambil membersihkan kaca.
"Ahh... maaf. Terlalu nyaman," timpal si maid usil dengan senyum malu, suaranya menipis dan bersenandung pun terhenti.
Si maid serius menghela napas, menggeleng samar, namun terus membersihkan tanpa lagi bicara.
Namun, beberapa menit berlalu, sebuah nada lembut keluar dari mulutnya—amat pelan, nyaris tak terdengar, namun jelas ada.
Si maid usil langsung menangkap itu, mengarahkan pandangan ke si maid ceria, saling melempar tatapan penuh arti yang segera memicu senyum tertahan sebelum kembali bekerja.
Suasana ruangan pun mengalir dalam irama obrolan ringan dan kesibukan bersih-bersih yang santai.