NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Salah Paham

Sore ini, seperti biasanya, Raya sudah berada di toko bunga Natalie. Dia melayani pelanggan dengan ramah, menyambut setiap orang yang datang dengan senyuman tulus. Aroma segar dari bunga-bunga yang baru dipetik memenuhi udara, menciptakan suasana yang menenangkan.

Raya dengan cekatan menyusun karangan bunga sesuai permintaan pelanggan, mengganti bunga yang layu dengan yang segar. Di tengah kesibukan, tanpa ia sadari, seseorang tengah memperhatikannya dari kejauhan.

Bilal, yang baru saja tiba di toko bunga, memperhatikan para karyawan yang bekerja di sana. Tiba-tiba, matanya tertuju pada seorang gadis yang mengenakan sweater berwarna pink. “Raya...” Nama itu yang terlintas di pikirannya. Dengan perasaan campur aduk, Bilal melangkah maju. Ada keraguan dalam dirinya, tapi sesuatu mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

Saat Bilal semakin mendekat, Raya menyadari keberadaannya. Senyumnya yang hangat segera mengubah suasana di sekelilingnya.

"Kak Bilal? Hai, apa kabar?" sapa Raya dengan ceria, membuat Bilal merasa lebih tenang.

“Aku baik. Kamu bekerja di sini?” jawab Bilal, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berdebar.

“Iya, kamu juga ya, kakak karyawan baru?” tanya Raya polos.

Pertanyaan itu membuat Bilal sedikit terkejut. Ternyata, Raya tidak tahu bahwa dia adalah pemilik toko tersebut. Bilal tersenyum tipis dan, tanpa berpikir panjang, menjawab, "Iya, saya karyawan baru."

Entah mengapa, Bilal memilih untuk merahasiakan identitasnya sebagai pemilik toko. Ada sesuatu dalam cara Raya berbicara yang membuatnya ingin menjaga percakapan ini tetap ringan.

Raya tersenyum. “Ini pekerjaan sambilan. Aku suka bunga, jadi bekerja di sini rasanya menyenangkan.”

“Oh, memang pekerjaan tetap kamu apa?” tanya Bilal, berusaha mencari tahu lebih banyak.

Raya tertawa kecil sambil merapikan bunga. “Nggak ada pekerjaan tetap. Aku masih sekolah SMA, kerja di sini buat nambah uang jajan aja.”

Bilal terkejut. “Oh, kamu belum lulus?”

“Iya, belum. Tapi nggak lama lagi,” kata Raya sambil tersenyum, melihat sekilas ke arah Bilal.

Bilal merasa semakin penasaran. Entah mengapa, gadis di depannya ini terus menghantui pikirannya akhir-akhir ini. Rasanya ada banyak hal tentang Raya yang ingin ia ketahui lebih dalam, dan hari ini mungkin awal dari semua itu.

“Kalau kamu, kenapa memilih pekerjaan ini?” tanya Raya dengan penasaran sambil terus merapikan bunga-bunga di depannya.

Bilal terdiam sejenak sebelum menjawab, “Yah, buat isi waktu luang aja. Saya juga masih melanjutkan pendidikan di luar kota,” jawabnya seadanya, mencoba menjaga nada bicara agar tetap santai.

Raya mengangguk, tampak mengerti. “Oh, di luar kota? Pasti sibuk ya, kuliah sambil kerja?”

Bilal tersenyum kecil, meski ada sedikit rasa bersalah karena terus berbohong. “Iya, lumayan sibuk. Tapi aku suka tantangannya,” balasnya, meski pikirannya melayang, mempertanyakan mengapa dia terus menyembunyikan identitas aslinya dari gadis ini.

Raya menatap Bilal sesaat, seolah memikirkan sesuatu. “Kak Bilal, menurutku kamu cocok kerja di sini. Kamu kelihatan tenang dan fokus, pasti bisa menangani pelanggan dengan baik.”

Bilal tertawa pelan. “Terima kasih, Raya. Kamu juga sangat ramah. Nggak heran pelanggan suka dengan kamu.”

Raya tersipu, tersenyum tipis. “Ah, biasa aja kok. Tapi, terima kasih,” jawabnya, sambil sibuk dengan tumpukan bunga di tangannya.

Sementara itu, Bilal masih memandangi Raya, terpesona oleh kesederhanaannya. Di balik sikap cerianya, ada sesuatu yang membuat Bilal ingin mengenal Raya lebih dalam. Hari itu, di antara kelopak-kelopak bunga yang indah, ada perasaan baru yang perlahan tumbuh di hati Bilal, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan tapi tak bisa diabaikan.

“Raya,” panggil Bilal tiba-tiba, suaranya lebih serius dari sebelumnya.

Raya menoleh. “Iya, Kak?”

“Kalau suatu saat kamu butuh bantuan... atau ada yang kamu ingin ceritakan, jangan ragu untuk bilang ke saya, ya.”

Raya terdiam sejenak, menatap Bilal dengan pandangan bingung. Tapi kemudian dia tersenyum. “Terima kasih, Kak Bilal. Aku pasti akan ingat itu.”

Tiba-tiba ponsel Bilal berdering. "Temen saya nelpon, saya angkat dulu yaa, " Kata nya sebelum berlalu.

"Oh iya silahkan, " Jawab Raya memandangi Bilal yang berjalan menjauh. Raya sudah biasa berteman dengan siapa saja mau laki-laki atau perempuan, tapi rasanya dengan Bilal berbeda, ada sesuatu di hati nya yang ia sendiri tak bisa menjelaskan nya.

****

"Kenapa lo gk jujur sih? " Tanya Farhan setelah mendengar cerita sahabatnya.

" Gaktau gua juga, takut dia malah ngejauh nanti, " Jawab Bilal pelan.

" Bukan bagus itu, Sejak kapan lo takut dijauhi sama cewe, bukan nya lu emang anti cewe pak ustadz?? " Goda Farhan. Farhan sangat dekat dengan Bilal. Dia tau betul kalo Bilal selalu menjaga interaksi nya terhadap perempuan selain keluarga nya.

Bilal tersenyum tipis, tapi ada kebingungan di matanya. "Gue nggak anti, Han. Gue cuma jaga diri. Lo tahu kan gue selalu berusaha biar nggak terlalu dekat sama cewek yang nggak ada urusan penting."

"Yah, tapi kayaknya yang satu ini beda," kata Farhan sambil menaikkan alis, memberi isyarat kalau dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar interaksi biasa. "Raya ya? Cewek toko bunga itu?" lanjut Farhan, memancing.

Bilal hanya mengangguk pelan. “Gue sendiri nggak paham, Han. Ada sesuatu tentang dia yang bikin gue tertarik. Tapi gue takut kalau dia tahu gue pemilik toko, dia bakal berubah. Gue suka cara dia bicara sama gue... kayak gue ini orang biasa.”

Farhan menatap sahabatnya dengan senyum penuh arti. "Bro, lo nggak bisa terus-terusan sembunyiin identitas lo. Cepat atau lambat, dia bakal tahu. Lebih baik lo jujur daripada nanti dia tahu dari orang lain dan malah kecewa."

Bilal menghela napas panjang. “Iya, gue tahu. Tapi gimana ya... gue belum siap. Gue takut dia kecewa.”

Farhan menepuk bahu Bilal, memberi dukungan. “Tenang aja, Bil. Kalau dia memang baik, dia nggak bakal peduli lo siapa. Yang penting lo tetap jadi diri lo yang sekarang. Lagian, lo kan emang bukan tipe orang yang mau bohongin cewek terus-terusan, kan?”

Bilal terdiam, merenungkan kata-kata Farhan. Dia tahu sahabatnya benar. Cepat atau lambat, dia harus jujur pada Raya. Tapi bagaimana caranya menyampaikan itu tanpa merusak hubungan yang sedang terjalin?

"Hubungan?" Bilal menggelengkan kepala, menertawakan pikirannya sendiri. "Ah, hubungan apa? Baru juga kenal," gumamnya dalam hati. Tapi tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak bisa ia abaikan. Setiap kali bertemu dengan Raya, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Apakah itu hanya ketertarikan sesaat, atau mungkin sesuatu yang lebih?

"Kak Bilal," panggil Raya tiba-tiba sambil mendekat.

"Iya?" Bilal menjawab dengan nada tenang, meski hatinya sedikit berdebar.

"Bisa minta tolong nggak jaga bunga ini? Katanya, orangnya bakal datang jam 5. Aku mau pergi sebentar," jelas Raya cepat sambil melirik handphonenya yang berdering. Tanpa menunggu jawaban dari Bilal, dia segera menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan.

"… Iya, ini gue mau otw ke gereja bentar," kata Raya di telepon, lalu memutuskan panggilan.

"Sebentar ya, Kak. Aku pergi dulu," ujarnya sambil tersenyum sekilas, lalu bergegas pergi tanpa menunggu jawaban dari Bilal.

Bilal hanya bisa memandang punggungnya dari kejauhan. "Gereja?" pikirnya, masih mencerna kata-kata Raya tadi. Jadi benar, dia non-Muslim?

Pikiran Bilal bercampur aduk. Dia tak pernah membayangkan bahwa gadis yang belakangan ini sering memenuhi pikirannya ternyata memiliki keyakinan yang berbeda. Bagi Bilal, hal ini bukan sesuatu yang sederhana. Dia tahu bahwa dalam agamanya, perbedaan keyakinan bisa menjadi masalah yang rumit.

Namun, semakin dia memikirkan hal itu, semakin berat hatinya terasa. Bagaimana dengan perasaan ini? Mengapa justru sekarang, setelah dia tahu lebih banyak tentang Raya, perasaannya semakin kuat? Apakah semua ini hanya akan menjadi dilema yang sulit dipecahkan?

Bilal menghela napas panjang, mencoba meredakan kerumitan yang berputar di kepalanya. Mungkin dia harus menyingkirkan perasaan ini. Atau mungkin... dia harus mencari jalan untuk menyelesaikan ini tanpa mengorbankan apa yang mereka punya sekarang.

Ketika matahari mulai terbenam, Bilal masih berdiri di depan toko bunga, memikirkan keputusan yang harus ia buat.

Sementara itu, Raya sudah sampai di depan gereja desa. Dia melihat sekeliling, mencari seseorang yang ia tunggu. Udara sore terasa sejuk, dengan angin lembut yang berhembus, menambah ketenangan di tempat itu.

Tak lama, seorang gadis berambut cokelat kemerahan melambaikan tangan ke arah Raya. Itu Cristina, temannya yang kemarin ia temui. Raya tersenyum dan berjalan mendekat.

"Hei, maaf ya udah nunggu," kata Raya sambil menyerahkan amplop kecil berisi uang.

Cristina tersenyum ramah. "Nggak masalah, Raya. Santai aja."

Kemarin, Raya meminjam uang dari Cristina untuk membantu biaya mendadak keluarganya. Ia berjanji untuk mengembalikan secepatnya, dan sore ini mereka janjian bertemu di depan gereja desa.

"Makasih ya, Cris. Gue udah lama banget nggak pinjam duit, tapi kemarin kepepet," kata Raya sambil menatap Cristina dengan rasa terima kasih.

"Ah, nggak usah mikirin itu. Gue senang bisa bantu," jawab Cristina santai.

Mereka berbincang sebentar sebelum Raya pamit. Sore itu, meski sederhana, pertemuan mereka di depan gereja menjadi momen yang menunjukkan betapa pentingnya persahabatan dan saling tolong-menolong.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!