NovelToon NovelToon
Om, Kawin Yuk!

Om, Kawin Yuk!

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Psikopat itu cintaku
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: YPS

Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.

Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.

"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.

Cegil satu ini nggak bisa di lawan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

Renzo masih menatap wajah cantik Luna. Tatapannya berhenti pada sudut bibir Luna yang tampak merah, lalu bergeser ke pergelangan tangannya yang menunjukkan bekas lebam samar. Rasa bersalah menyusup perlahan, membuat dadanya terasa sesak.

Tanpa berkata-kata, Renzo bangkit dari tempat duduknya dan berjalan masuk ke rumah. Luna memandanginya dengan bingung, tapi ia tidak bertanya apa-apa. Beberapa saat kemudian, Renzo kembali dengan sebuah kotak obat di tangannya.

“Biarkan aku,” ucap Renzo, duduk di kursi yang lebih dekat dengan Luna.

“Ehh, nggak perlu. Ini nggak kenapa-kenapa kok,” sahut Luna pelan, berusaha menyembunyikan tangannya dan menarik bibirnya ke dalam.

“Luna,” suara Renzo terdengar lembut tapi penuh penekanan. Matanya yang gelap menatap tajam, memaksa Luna menyerahkan tangannya tanpa banyak protes.

Dengan hati-hati, Renzo membuka kotak obat, memulai dari mengoleskan salep anti lebam untuk pergelangan tangan Luna. Setelah itu, menarik lembut dagu Luna agar lebih dekat ia mulai mengobati luka kecil di sudut bibir Luna.

“Aku minta maaf,” kata Renzo, suaranya hampir tidak terdengar.

Luna menatapnya, melihat ketulusan di balik ekspresi datarnya. “Aku tahu kamu tidak sengaja.”

Renzo menggeleng pelan, matanya masih fokus pada luka Luna. “Tapi tetap saja, aku yang melakukannya. Aku tidak pernah ingin menyakitimu.”

Dia masih menatap Luna, lalu beralih ke sudut bibirnya. Tangannya bergerak perlahan, seperti takut menyakiti Luna lebih jauh.

“Sakit?” tanya Renzo ketika kapas menyentuh bibir Luna.

Luna menggeleng sambil tersenyum kecil. “Tidak separah yang terlihat kok,”

Mereka terdiam untuk beberapa saat, hanya suara angin yang menyapu halaman yang terdengar. Renzo menutup kembali kotak obat setelah selesai. Ia duduk diam di samping Luna, menatap ke arah taman yang mulai gelap.

“Aku tahu aku ini orang yang seperti apa, Luna,” ucap Renzo akhirnya. “Tapi aku sedang mencoba... untuk berubah. Untuk tidak menjadi seperti...” Ia berhenti, menelan kata-katanya.

Luna menyentuh punggung tangan Renzo yang ada di pangkuannya. “Aku di sini. Nggak ada yang meminta kamu berubah dalam semalam.”

Renzo menoleh padanya, matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata. “Aku cuma takut...menyakitimu lebih dalam lagi. Setelah aku mengenalmu aku rasa kamu tidak pantas mendapat perlakuan buruk dariku."

Luna tersenyum tipis, lalu mengangkat tangan Renzo dan menggenggamnya erat. “Aku yakin kamu tidak akan menyakitiku lagi."

Renzo tidak menjawab, hanya menatapnya dalam-dalam. Setelah selesai mengobati Luna dan hari juga sudah mulai gelap, Luna berpamitan pada Maharani untuk pulang.

"Biarkan Johan mengantarmu," ucap Renzo seraya mengikuti langkah Luna dari belakang dengan memasukkan kedua tangannya di saku.

Pria itu benar-benar terlihat tampan memakai pakaian apapun.

"Tidak perlu, masih jam segini. Biasanya kalau aku lembur bisa pulang lebih malam, jaga kesehatanmu. Berikan aku kabar, jangan buat aku khawatir. Bisa-bisa aku ke sini setiap hari," gerutu Luna. Renzo hanya tersenyum.

Hari itu berakhir dengan penuh rasa bahagia menyelimuti Luna.

.

NeoLife Farma and Lab

Keesokan harinya, Renzo melangkah memasuki gedung lab dan apotek megah yang baru saja resmi beroperasi beberapa hari lalu. Gedung itu berdiri megah dengan desain modern dan canggih, sebuah simbol nyata dari kerja keras tim papanya dan perusahaan keluarga Luna.

Hari ini adalah hari pertama Renzo memulai tugasnya sebagai direksi utama.

Karyawan yang telah menunggu di lobi memberi salam formal, sementara Renzo hanya mengangguk singkat, ekspresinya tetap dingin.

“Selamat datang, Tuan Renzo,” ucap salah satu manajer, memberikan laporan singkat tentang agenda hari itu.

Renzo menatap dokumen di tangannya sekilas. “Kita mulai saja. Pastikan semuanya sesuai standar.”

Hari itu berjalan sibuk. Renzo mengecek setiap detail lab, dari ruang penyimpanan bahan baku hingga bagian pengujian akhir obat-obatan. Para staf sedikit gugup menghadapi pria dengan aura dingin itu, tapi semuanya bekerja ekstra hati-hati untuk memastikan tidak ada kesalahan.

.

Saat matahari mulai tenggelam, Renzo masih duduk di kantornya, memeriksa beberapa laporan. Pintu kaca besar kantornya tiba-tiba diketuk. Seorang resepsionis masuk dengan wajah bingung.

“Ada yang ingin bertemu dengan Anda, Tuan Renzo,” lapornya.

“Siapa?” tanya Renzo tanpa mengangkat kepala.

“Seorang wanita muda, dia enggan menyebutkan namanya. Beliau hanya berkata bahwa Tuan Renzo akan tahu."

Sebelum Renzo bisa bertanya lebih lanjut, pintu terbuka dan Luna masuk dengan sebuah bucket bunga mawar putih besar di tangannya. Senyumnya cerah seperti biasa, membuat ruangan terasa lebih hidup.

“Surprise!” seru Luna, meletakkan bucket itu di meja Renzo.

Renzo mengangkat alis, menatap Luna dengan ekspresi datar namun dengan cepat berubah menjadi senyuman. “Apa ini?”

“Hadiah untuk hari pertamamu. Aku dengar dari Papa kalau kamu sudah mulai kerja hari ini,” jawab Luna sambil duduk di kursi di depan meja Renzo tanpa menunggu undangan.

Renzo mengambil bucket itu, memandanginya sejenak sebelum meletakkannya kembali. “Bunga? Sebenarnya aku tidak terlalu suka, aku lebih suka kamu."

Luna terkikik malu. “Itu cuma simbol untuk memberikan kamu semangat."

Renzo menggeleng pelan, tapi ada senyuman samar di wajahnya. “Terima kasih. Kamu datang tanpa membawa apapun saja sudah membuatku semangat.”

Malam itu, ketika Luna pamit pulang, Renzo kembali menatap bucket bunga di mejanya. Untuk pertama kalinya, ia membiarkannya tetap di sana, sebagai pengingat bahwa ada seseorang yang peduli padanya, meskipun dia sendiri belum sepenuhnya yakin pada dirinya sendiri.

.

.

Luna harus kembali ke kantornya karena ada beberapa berkas yang harus dia cek kembali untuk presentasi besok. Renzo sudah menawarkan untuk mengantarnya tapi Luna menolak.

"Ah berkas sialan! Aku jadi tidak bisa pulang bareng dia." gerutu Luna yang sudah menenteng berkas tersebut di tangannya.

Langkahnya cepat menuruni ruangan menuju parkiran mobil. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, dia merasa seseorang mengikutinya.

Luna mempercepat langkahnya, sepatu hak tingginya beradu dengan lantai parkiran yang kosong, menciptakan gema yang semakin memperkuat kecemasannya. Ia terus menoleh ke belakang, tapi hanya bayangannya sendiri yang terlihat di permukaan mobil-mobil yang terparkir rapi.

"Ini hanya perasaanku saja... Tidak ada siapa-siapa..." gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Napasnya tertahan saat ia menoleh lagi ke belakang. Tidak ada siapa-siapa, tapi suara langkah itu masih terdengar, bergema samar di parkiran yang remang-remang.

"Siapa di sana?" teriak Luna dengan suara yang terdengar bergetar, tapi tidak ada jawaban.

Tanpa berpikir panjang, Luna segera masuk ke dalam mobil dan berhenti di kafe langganannya di depan kantor untuk menenangkan diri.

Dengan langkah tergesa, Luna membuka pintu kafe.

"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya si barista dengan ramah.

Luna tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. "Es kopi latte satu, Mas. Seperti biasa extra ice."

Dia memilih tempat duduk di sudut kafe, punggungnya bersandar pada sofa sehingga ia bisa mengawasi jalanan di luar. Tangannya gemetar saat mengeluarkan ponselnya. Ia ingin menghubungi Renzo, tapi tidak tahu harus berkata apa.

"Tenang, ini cuma perasaanmu saja..." gumam Luna lagi, namun ia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang mencekam.

1
Damar
Keren thor. Aku ngikutin semua novelnya. Sukses selalu
Safura Adhara
bagus menarik cukup bikin penasaran
Safura Adhara
bagus bikin penasaran
Semara Pilu: Aaaa terima kasih, Kak. Semoga lanjut sampai tamat nanti ya 🫶🏻
total 1 replies
Damar
Mantap thor. Lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!