"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kepanikan di bandara
Setelah beberapa hari hanya berdiam diri di rumah, Haifa mulai merasa bosan.
Ia berjalan ke ruang tamu dengan langkah malas, lalu duduk di samping Abi Hamzah yang sedang membaca koran.
"Abi… Haifa bosan di rumah terus!" keluhnya dengan wajah cemberut.
Abi Hamzah menurunkan korannya, tersenyum kecil. "Hmm... Anak Abi bosan, ya? Memangnya Haifa mau ke mana?" tanyanya dengan nada lembut.
"Haifa mau ke sekolah, ke kampus, kayak biasa!" jawab Haifa, matanya berbinar penuh harap.
Namun Abi Hamzah hanya tertawa pelan sambil menunjuk kepala Haifa yang masih diperban. "Nanti dulu ya, Ifa. Kamu masih dalam pemulihan. Itu kepala masih diperban. Jangan buru-buru, sayang."
Haifa mendesah, tapi akhirnya mengangguk kecil. "Iya deh…"
Setelah beberapa detik terdiam, Abi Hamzah berkata penuh semangat, "Gimana kalau kita jalan-jalan aja? Ke puncak gunung, menikmati udara segar."
Haifa yang semula lesu langsung berseri. "Bisa tuh, ke Bogor, Abi!" jawabnya dengan semangat.
Abi Hamzah tertawa. "Iya, kita ajak Gus Zayn sama Abi dan Umminya kalau nggak sibuk. Biar seru."
"Setuju!" balas Haifa ceria.
---
Beberapa hari kemudian, semua persiapan sudah selesai. Haifa turun tergesa-gesa dari tangga, membawa tas kecilnya. "Abi! Semua barangnya sudah siap!" serunya dengan senyum lebar.
Namun langkahnya langsung terhenti ketika mendengar suara Gus Zayn dari bawah. "Pelan-pelan, Haifa. Kamu belum pulih benar."
"Yoo iya," gumam Haifa tanpa melirik Zayn, melewatinya dengan cuek. Tapi langkah Zayn tetap mengikuti di belakang, memperhatikan setiap gerakan Haifa dengan cermat.
Mereka pun berangkat ke Bandara Surabaya. Di perjalanan, Haifa duduk di kursi belakang bersama Zayn, sesekali mengeluh bosan. "Lama banget sih sampai bandara..."
"Sabar, Haifa," jawab Zayn tenang, senyumnya nyaris tak terlihat.
Haifa menghela napas, lalu tak lama kemudian tertidur, kepalanya bersandar di bahu Zayn. Lelaki itu hanya terdiam, menatap Haifa yang lelap dengan senyum tipis di wajahnya. Dalam hati, ia menyembunyikan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan.
---
Setelah tiba di bandara dan menunggu penerbangan, Haifa tiba-tiba bergumam. "Aduh, Haifa mau ke toilet dulu, Ummi."
"Ummi temenin, ya?" tawar Ummi Shofiah dengan nada khawatir.
"Nggak perlu, Ummi. Haifa bisa sendiri kok," jawab Haifa dengan percaya diri.
Namun Ummi Shofiah masih ragu. "Tapi—"
"Biarin aja, Mi," sela Abi Hamzah. "Kita kasih dia kepercayaan."
Akhirnya, Ummi Shofiah mengalah. "Baiklah, tapi hati-hati ya, Nak."
Haifa mengangguk dan bergegas ke toilet perempuan. Tapi saat keluar, ia tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria. Tubuhnya terhuyung, lalu jatuh terduduk di lantai.
"Aduh!" serunya sambil memegang kepalanya yang terasa berdenyut.
"Maaf! Maaf! Saya nggak sengaja," ujar pria itu panik, berjongkok di depannya. Namun saat wajahnya terlihat jelas, pria itu tampak kaget. "Haifa?!"
Haifa mendongak pelan, wajahnya kebingungan. "Kamu siapa?" tanyanya lirih, menatap pria itu dengan pandangan kabur.
Pria itu menatapnya dengan cemas. "Ini aku, Nathan. Kamu nggak ingat?"
Samar-samar, nama itu terdengar familiar di kepala Haifa. "Nathan…?" Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, tubuhnya limbung dan ia pun pingsan.
"Haifa!" Nathan berseru panik. Tanpa berpikir panjang, ia menggendong Haifa ala bridal style, menarik perhatian banyak orang di sekitar.
Sorot mata kagum dan khawatir tertuju pada Nathan yang membawa Haifa dengan langkah tegas.
"Ambulans! Mana ambulans?!" teriak Nathan, suaranya menggema di keramaian.
Seorang petugas bandara segera menunjuk. "Itu, mas, ambulansnya."
Nathan membawa Haifa ke klinik kesehatan bandara. Wajahnya penuh kecemasan, tangannya tak henti menggenggam tangan haifa.
Di dalam hati, ia berdoa agar gadis itu baik-baik saja. "Tolong… jangan kenapa-kenapa," gumamnya lirih, matanya tak pernah lepas dari wajah pucat Haifa.
......................
Di ruang tunggu, Ummi Shofiah terus gelisah. Matanya sesekali melirik ke arah toilet perempuan. "Ya Allah, Abi… kenapa perasaan Ummi nggak enak," ucapnya dengan nada cemas.
Abi Hamzah menepuk tangan istrinya pelan, mencoba menenangkan. "Iya, Mi, dari tadi Haifa belum juga balik. Kita doakan saja, semoga tidak terjadi apa-apa."
Namun rasa bersalah mulai menguasai hati Ummi Shofiah. "Ini semua salah Abi! Kalau Abi nggak izinin dia pergi sendiri, pasti Haifa nggak akan terlambat seperti ini," ucapnya, hampir menangis.
Melihat hal itu, Gus Zayn yang sejak tadi diam berdiri mendekat. "Ummi… tenang. Zayn akan cari Haifa," katanya penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada rasa khawatir yang sama.
"Makasih, Nak Zayn," jawab Ummi Shofiah, suaranya sedikit lega.
"Abi juga ikut nyari," tambah Abi Hamzah, hendak berdiri.
Namun Gus Zayn menghentikannya dengan lembut. "Abi, tenang di sini saja. Biar Zayn yang cari. Abi dan Ummi berdoa untuk Haifa. Insyaa Allah, Zayn akan menemukannya."
Abi Hamzah mengangguk berat hati. "Baiklah, Nak. Hati-hati, ya."
---
Gus Zayn segera berlari menuju arah toilet perempuan. Sorot matanya tajam, penuh rasa cemas. Saat tiba, ia berdiri di dekat pintu toilet, menunggu dengan gelisah.
Para perempuan yang keluar dari toilet langsung memperhatikannya dengan bisik-bisik.
"Eh, itu Gus Zayn, kan?" bisik seorang perempuan sambil memandang takjub.
"Astaga, dia lebih ganteng daripada di Instagram!"
Namun Gus Zayn tidak menghiraukan mereka. Fokusnya hanya satu: Haifa.
Pikirannya dipenuhi pertanyaan. "Ya Allah… kenapa Haifa belum keluar juga? Jangan sampai ada sesuatu yang buruk terjadi."
Ketika ia sedang gelisah, seorang petugas bandara menghampirinya. Pria paruh baya itu tampak mengenali Gus Zayn. "Maaf, ini Gus Zayn, kan?" tanyanya dengan ramah.
"Iya, Pak. Saya Zayn," jawabnya singkat, mencoba sopan meski pikirannya kacau.
"Masya Allah, gantengnya," ucap petugas itu sambil tersenyum.
Gus Zayn hanya tersenyum kecil, tidak ingin terjebak basa-basi. "Bapak, saya sedang mencari seseorang, namanya Haifa. Apa Bapak mungkin melihat dia?"
Petugas itu terkekeh kecil. "Oh, nunggu calon istri, ya?" godanya santai.
Gus Zayn langsung gugup. "Hehe… bukan, Pak. Saya… saya nunggu Haifa. Dia teman saya," jawabnya buru-buru.
Namun senyum petugas itu perlahan berubah serius. "Astagfirullah… Non Haifa, ya? Yang Gus Zayn cari?"
"Iya, Pak. Apa Bapak tahu dia di mana sekarang?" tanya Gus Zayn cepat, rasa cemas semakin memenuhi hatinya.
Petugas itu mengangguk. "Iya, saya tahu. Tadi Non Haifa pingsan, Gus. Dia digendong seorang pria, tampan dan tinggi seperti Gus Zayn."
Gus Zayn tertegun. "Apa? Haifa pingsan!!.dimana dia sekarang pak!?" tanyanya dengan suara panik.
Petugas itu segera menjawab, "Tenang, Gus. Non Haifa sekarang ada di klinik kesehatan bandara. Saya antar Gus ke sana."
Tanpa pikir panjang, Gus Zayn mengikuti petugas tersebut. Di dalam hatinya, ia terus berdoa. Ya Allah, jaga Haifa. Jangan biarkan sesuatu yang buruk menimpanya.