NovelToon NovelToon
Mardo & Kuntilanaknya

Mardo & Kuntilanaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:358
Nilai: 5
Nama Author: Riva Armis

Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.

Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17: Dandanan Kerja

Gue meninggalkan Sulay dan Dea di meja makan ketika sedang mencuci gelas di dapur. Walau pelan, gue bisa mendengar mereka berdebat. Mereka mempermasalahkan soal Torgol. Sulay bilang kalau Dea gak seharusnya menyegelnya ke dalam pedang gue, karena katanya Torgol adalah milik kantor.

Sedangkan menurut pembelaan Dea, Torgol adalah makhluk jahat yang membahayakan gue. Dan dia merasa wajib menyingkirkan semua hal yang membahayakan gue dengan alasan kontrak. Sedangkan gue, masih gak tahu siapa yang bisa gue percaya seutuhnya.

Dea menghampiri gue ke dapur dengan wajah kesal. Bibirnya yang cemberut membuat wajahnya jadi menggemaskan. Aneh juga gue bisa berpikiran kayak gitu sama dia, yang katanya bukan manusia ini. Dia berdiri di samping gue dan gak ngomong apa-apa sampai gue selesai.

"Kenapa lagi?" tanya gue.

"Kamu percaya sama aku, kan, Do?"

Gue mencuci tangan sebentar.

"Kenapa ... air aku bisa mengalir lagi, ya? Harusnya layanannya udah dicabut."

"Do! Kamu percaya sama aku, kan?"

Gue berdiri menatapnya.

"Untuk sekarang, sih aku percaya aja."

Kami kembali ke meja makan. Sulay sibuk dengan HP-nya.

"Jadi gimana, Pak? Mau, kan bantu dia?"

Sambil tetap main HP, dia mengangguk.

"De ... Ya? Aku manggil kamu gimana, sih? De atau Ya? Atau Ea?"

"Terserah, Mardo."

"Oke. Nah, jadi kamu ini bukan manusia, kan?"

Dea mengangguk.

"Terus kamu ini apa?"

"Aku juga gak tahu. Yang jelas aku bukan hantu atau arwah penasaran atau yang lainnya. Mungkin ... jin cantik mungkin?"

"Berarti gak semua orang bisa melihat kamu, dong?"

Dea mengangguk. Gue memperhatikannya yang saat ini duduk di sebelah gue. Emang gak ada bedanya sama manusia. Lalu, gue teringat ketika hari di mana gue melamar pekerjaan ini. Salah satu hal yang diingatkan oleh orang pada saat itu adalah seragam. Iya juga! Dea harus punya seragam.

"Kamu punya baju lain nggak?"

Dea langsung memperhatikan bajunya.

"Emang baju aku kenapa? Kamu gak suka, ya?"

"Bukan gitu ... tapi kayaknya pakai baju gaya kantoran lebih cocok, deh. Sekarang kita, kan rekan kerja."

Dea tersenyum. Sulay mengembuskan napas panjang sambil melirik gue sebentar. Dea masuk ke kamar mandi lalu terdengar bunyi keran air. Gue berjalan mendekati pintu yang sekarang rusak parah gara-gara gue sendiri. Sudah cukup malam untuk kegiatan pertukangan, tapi gue tetap harus benerin pintu ini. Ketika gue mulai, Sulay datang dan langsung bantuin gue.

"Minggir. Gue aja yang benerin."

"Mohon maaf, Pak ... ini adalah salah satu bakat gue. Mending Bapak yang minggir."

Sulay gak dengerin omongan gue. Dia langsung memegang potongan pintu, dan hal gila terjadi. Keluar asap hitam dari pergelangan tangan kanannya, yang menyelimuti potongan-potongan pintu itu dan membuat mereka kembali tersambung hingga menjadi utuh! Begitu juga dengan jendela di sebelahnya. Semua kerusakannya pulih dengan ajaib. Lalu, dia menatap gue dengan senyum sombong.

"Sekarang giliran lo buat masangnya. Bisa, kan?"

Dia pergi dan kembali duduk di meja makan. Setelah gue selesai, suara keran air di kamar mandi berhenti dan pintunya terbuka. Dea keluar dari sana dengan pakaian berbeda, rambut yang terlihat lebih berkilau dan bibir yang gak lagi kelihatan pucat. Gue dan Sulay gak bisa mengalihkan pandangan darinya.

"Gimana, Do? Kamu suka?"

"S-suka ... bagus, kok."

Dea menyisir rambut dengan tangannya sambil melirik Sulay.

"Gak usah pura-pura gak terpesona gitu kali. Kampungan."

Gue pengin ketawa waktu melihat ekspresi Sulay. Setelah Sulay bilang kalau dia setuju bantuin Dea buat mencari seseorang yang melukisnya, Sulay juga bilang kalau pencarian ini bukan prioritasnya. Dia juga bilang kalau gak ada alasan bagi gue untuk mengabaikan panggilan kerja dari kantor gara-gara bantuin Dea. Gue dan Dea setuju.

"Kita ketemu besok sore di kantor. Di kantin kayak biasa. Jangan telat lo," kata Sulay.

"Dea gimana? Dia bisa ikut ke kantor nggak, Pak?"

"Enggak, Do. Aku gak bisa ke sana. Aku nunggu di sini aja kalau boleh. Aku juga bisa, kok, bikin roti isi kayak ... siapa, sih, tuh yang kemarin sok cantik itu?"

"K-kamu tahu dari mana!?"

"Udah ... udah. Gue gak peduli sama kalian. Pokoknya besok kita harus laporan sama si Bos soal Torgol dan dia ini. Gue pulang dulu."

Setelah langkah Sulay menghilang dari balik pintu, Dea menyenggol bahu gue sambil tersenyum.

"K-kamu kenapa?"

Dia menyenggol gue lagi.

"Aku senang, Do. Aku merasa kayak anak gadis yang baru belajar dandan. Seru banget rasanya."

Gue melihat senyum dari seseorang yang emang lagi bahagia. Gue ikutan senang. Tanpa izin, kenangan Naya muncul di benak gue tiba-tiba, ketika dia belajar memasang bulu mata palsu waktu kami kelas dua SMA. Gue jadi kepikiran soal dia.

"Dah. Aku mau tidur. Ngantuk."

"Ikut~"

"A-apaan!? Gak boleh!"

"Aku juga mau tidur!"

"Y-ya kamu tidur di rumah kamu, lah!"

"Aku gak punya rumah."

"Lha!? Terus selama ini kamu di mana?"

"Di kuburan "

"Yaudah kamu balik ke kuburan lagi. Besok baru ke sini lagi."

"Mardo! Aku udah dandan cantik begini masa kamu suruh ke kuburan, sih!? Sebel, deh!"

"Gini, ya ... Dea. Ini rumah aku. Aku yang punya aturan di rumah ini. Dan peraturannya adalah: kamu gak boleh tidur di kamar aku. Paham!?"

Mukanya cemberut dan dia gak mau menatap gue.

"Iya, deh. Aku tidur di lantai kamar mandi aja!"

Dia berjalan masuk kamar mandi dan membanting pintu. Gue masuk kamar, matiin lampu dan mengecek HP. Ada duabelas baris chat WhatsApp dari Mery. Buset! Dia nanyain gue, apakah gue sudah makan atau belum. Gue balas aja kalau gue sudah makan dan ngopi juga. Lalu gue ketiduran.

Ketika tubuh gue tahu kalau hari sudah berganti dan pagi sudah datang, gue terbangun sendiri. Layar HP gue menyala, ada dua baris chat WhatsApp lagi dari Mery. Baris pertama: "Bangun, Do." Baris kedua: "Jangan lupa sarapan."

Gue balas aja: "Iyaaa." Gue pun keluar kamar dan melihat Dea yang sudah berdiri di depan kompor sambil ngomel-ngomel pelan. Gue cuek aja dan langsung ke kamar mandi. Begitu gue selesai cuci muka, gue melihat kompor gue terbakar!

"DEA!? KENAPA KEBAKAR GITU!?

Gue panik! Gue takut rumah gue kebakaran! Gue berlari secepat mungkin mengambil air dengan gayung. Belum juga sempat mengguyur kompor, airnya sudah berceceran di lantai karena emang gayung gue pecah bawahnya!

Apinya emang gak terlalu besar, tapi tetap aja, api itu menyala di kompor gas! Rumah gue bisa meledak! Lalu, Dea berubah menjadi asap merah dan terbang masuk ke kamar gue. Dia kembali dengan cepat sambil menyerahkan pedang gue.

"Pakai ini, Do!"

Gue segera menebas api itu. Kacau! Bukannya padam, gue malah bikin apinya menyebar ke samping! Gue tambah panik, dong! Kemudian gue menebas dari arah berlawanan. Makin kacau! Gue malah menebas tabung gasnya! Apinya jadi makin besar!

Gue sudah teriak-teriak karena yakin banget gue mati pagi ini! Saat itulah gue melihat wajah Dea yang ketawa melihat gue. Kampret! Dia berubah menjadi asap merah lagi dan menyelimuti pedang gue. Lengan gue bergerak sendiri!

"Gak usah ditebas, Do. Diserap aja."

Secara sangat tidak masuk akal, pedang gue menarik semua api masuk ke dalamnya! Tangan gue panas banget, walau masih bisa gue tahan. Dea kembali ke bentuk asalnya dan berdiri menghadap gue sambil tersenyum. Gue keringat dingin!

"Sekarang jadi tambah bagus, kan pedangnya?"

Gue memperhatikan pedang gue saat ini yang mengeluarkan gelombang api kecil di seluruh mata pedangnya. Emang jadi keren banget, sih, tapi masa iya gue mengorbankan dapur gara-gara tampilan doang!?

"Please ... jangan aneh-aneh lagi, ya, Dea," kata gue yang masih gemetaran.

Dea cuma tersenyum, berjalan ke meja makan dan menunjukkan beberapa roti isi.

"Selamat pagi, Do," katanya.

1
Affan Ghaffar Ahmad
gass lanjut bang
Riva Armis: Tengkyu support nya Bang
total 1 replies
Ryoma Echizen
Gak kebayang gimana lanjutannya!
Riva Armis: tengkyu udah mampir ya
total 1 replies
art_zahi
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Riva Armis: tengkyu udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!