Hamil atau tidak, Danesh dengan tegas mengatakan akan menikahinya, tapi hal itu tak serta merta membuat Dhera bahagia.
Pasalnya, ia melihat dengan jelas, bagaimana tangis kesedihan serta raungan Danesh, ketika melihat tubuh Renata lebur di antara ledakan besar malam itu.
Maka dengan berat hati Dhera melangkah pergi, kendati dua garis merah telah ia lihat dengan jelas pagi ini.
Memilih menjauh dari kehidupan Danesh dan segala yang berhubungan dengan pria itu. Namun, lagi-lagi, suatu kejadian kembali mempertemukan mereka.
Akankah Danesh tetap menepati janjinya?
Bagaimana reaksi Danesh, ketika Dhera tetap bersikeras menolak lamarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#25. Jadi Kamu Pelakunya?•
#25
Dhera mengeringkan tubuhnya dengan handuk, dari pantulan cermin, ia kembali melihat jejak kemerahan di permukaan kulit leher dan sekitar dadanya.
Kemarin pagi, hanya beberapa titik di lehernya, kini semakin meluas ke area dada serta pundaknya. “Apa kalau malam alergiku kambuh yah?” gumam Dhera, “tapi, Aku tak makan ikan tuna belakangan ini.”
Tok
Tok
Tok
“Dhera … ayo cepatlah!” Suara Danesh membuat Dhera buru-buru melanjutkan aktivitasnya, karena mereka berdua sudah ada janji temu dengan dokter yang akan memeriksa pergelangan kaki Dhera.
Dan atas permintaan Danesh, mereka juga akan memeriksakan kandungan Dhera.
Dhera keluar dari toilet, “Kok lama sekali?” protes Danesh yang baru selesai lari pagi.
“Hmm, sepertinya alergiku kambuh, tapi anehnya aku tak merasa gatal-gatal,” jawab Dhera, sambil memperlihatkan bercak kemerahan di area leher dan dadanya.
Uhuk!
Uhuk!
Uhuk!
Danesh yang sedang minum, tiba-tiba tersedak, “Baiklah, nanti sekalian kita konsultasikan ke Dokter kandungan.”
Danesh memeriksa sekilas leher Dhera, dan memang benar apa yang wanita itu katakan. “Haruskah?”
“Hmm … daripada nanti terlanjur parah dan lebih susah lagi di tanggulangi.”
“Ya sudahlah,” jawab Dhera pasrah.
Danesh menyambar handuk, kemudian melanjutkan langkahnya memasuki kamar mandi, sementara Dhera bersiap.
•••
“Sebentar Kapt, ini belum selesai … “ tegur Dhera kala Danesh sudah gemes menciumi perutnya, menyapa si kembar adalah ritual wajib Danesh di pagi dan malam hari sebelum tidur. Sementara saat ini, Dhera sedang membantunya mengoles salep pada lebam dan memar di wajah Danesh.
“Sudah cukup, lagipula ini sudah sembuh dan tidak sakit lagi,” tolak Danesh ketika Dhera hendak mengoles salep di rahang.
“Tanggung Kapt, ini salepnya sudah keluar dari tube, kalau dimasukkan lagi sudah tidak sterile.” Menghadapi Danesh memang butuh kesabaran ekstra, serta perbendaharaan suku kata yang cukup banyak. Mengingat Danesh selalu punya jawaban menyebalkan jika ada orang lain memberinya nasehat, atau petuah.
Danesh mendongak, padahal ia tengah asik mengajak si kembar berbicara dari hati ke hati. “Kenapa? Apa Kamu takut ketampananku berkurang? Tenang saja, wajahku sudah kembali paripurna seperti sebelumnya.”
“Kumat lagi narsisnya.” Dhera menggerutu, walau begitu, wanita itu tetap dengan telaten menyelesaikan pekerjaannya. Jari tangannya mengusap pelan tiap bagian memar di wajah Danesh dengan salep, dan memang terbukti, berkat ketelatenan Dhera serta kecerewetannya memarahi Danesh. Kini memar dan lebam tersebut kini mulai memudar. Tapi bukan hanya sembuh luka-lukanya, kejahilannya pun semakin menjadi.
“Senangnya punya istri,” gumam Danesh di tengah aktivitas Dhera. Jika sedang seperti ini, Danesh dengan leluasa menatap wajah istrinya dari dekat. Mungkin karena efek kehamilan, atau mungkin juga karena ia sudah membuka hatinya, kini di matanya Dhera terlihat semakin menarik dari hari ke hari.
Dhera terlihat sexy dengan style nya saat ini, lebih feminim sejak kehamilannya, bahkan ekspresi wajahnya ketika mengomel atau menggerutu nampak menggemaskan dimata Danesh. Semuanya terasa indah kendati hanya hal-hal sederhana, itulah yang Danesh rasakan di satu minggu usia pernikahan mereka.
“Nah, sudah selesai. Ayo Kita berangkat.”
Hari ini tujuan mereka mendatangi Rumah Sakit, untuk melakukan pemeriksaan pada kaki Dhera, sekaligus mengunjungi dokter kandungan. Danesh sungguh berdebar tak karuan, karena ini kali pertama ia akan melihat anak-anaknya, Dhera bilang, mereka bahkan bisa mendengar denyut jantungnya secara langsung. Sungguh tak bisa dipercaya, namun sangat excited, tak sabar menanti datangnya waktu tersebut.
Dhera membereskan obat-obatan milik Danesh, sementara pria itu kembali ke kamar untuk mengambil tas milik Dhera. “Bibi … Kami pergi dulu yah?” pamit Danesh.
“Hati-hati di perjalanan,” pesan Bibi Manda yang sedang sibuk bertukar pesan dengan nyonya Bella. Tentu Saja nyonya Bella menanyakan keadan anak dan menantunya, bahkan mulai kepo bertanya-tanya tentang janin dalam kandungan Dhera. Namun ia tak berani melawan kehendak suaminya yang belum mengizinkannya pergi ke Singapura.
“Hmm,” balas Danesh, yang mendapat lirikan tajam dari Dhera.
“Tak sopan pada orang yang lebih tua,” tegur Dhera.
Danesh nyengir. “Maaf,” ucapnya.
“Kenapa minta maaf padaku?” gumam Dhera heran. “Bibi … doakan semoga kakiku sudah bisa bergerak normal.”
“Pasti, dan semoga si kembar juga sehat,” sahut bibi Manda.
Bibi Manda meletakkan ponselnya sejenak, ia berjalan ke teras rumah, bermaksud mengantar kepergian sepasang pengantin baru tersebut.
Dhera melambaikan tangan dengan riang, membuat bibi Manda kembali tersenyum bahagia, melihat kebahagiaan Danesh dan Dhera.
Bibi Manda kembali masuk kedalam rumah.
📬 Mereka baru saja pergi ke Rumah Sakit, memeriksakan kandungan Nona Dhera, serta kontrol pergelangan kakinya, yang sempat terkilir beberapa waktu yang lalu.
•••
Perjalanan mereka diiringi suara audio yang lembut, Dhera tak banyak protes karena ia sendiri tak punya selera musik khusus, ia hanya menikmati apa yang sedang diputar oleh si pemilik mobil.
Cuaca cerah pagi ini, dan jalanan pun ramai lancar, tak ada kemacetan seperti jalanan Ibu Kota Jakarta.
Danesh mengemudi dengan tenang, sementara tangan kanannya menggenggam tangan Dhera, sementara Dhera lagi-lagi cukup diam menikmati perlakuan manis suami barunya.
Beberapa kali Dhera mencuri-curi pandang ke arah Danesh, yang sedang fokus mengemudi. Kini pelan-pelan hati kecilnya mulai mengakui bahwa pria itu memang tampan, namun di hadapan Danesh ia tak terang-terangan menunjukkan pengakuannya tersebut.
“Kenapa? Sepertinya Kamu terpesona sekali padaku?” cetus Danesh, membuat Dhera gugup lalu membuang pandangannya ke luar jendela mobil.
“Ge er,” balas Dhera dengan wajah yang mulai memanas.
“Tuh lihat.” Danesh menunjukkan cermin kecil, bagian dari aksesoris mobilnya, yang mana cermin tersebut, sengaja ia arahkan sudut pandangnya hingga hanya bayangan wajah Dhera yang memantul dari sana. “Aku melihatmu dari sini, dan terbukti Kamu memang sejak tadi menatapku tanpa jeda. Apa Kamu mulai mencintaiku?”
Dhera terkejut, dan segera memutar wajahnya, “I-Itu … “ elak Dhera gugup, mendadak ia pun bingung hendak mengatakan apa.
“Hahahaha … tak perlu malu, Sayang. Aku senang kalau memang iya.”
“Kenapa harus malu, lagi pula apa yang Kamu katakan itu seratus persen salah!”
“Hmmm … jadi belum yah? Sayang sekali, padahal dadaku mulai jedag-jedug tak karuan jika melihatmu tidur.”
Dhera panik, mendadak ia parno, jangan-jangan Danesh kini mulai hafal dengan gaya tidurnya yang acak-acakan. “A-apa yang Kamu lihat?!” Dhera menyilangkan kedua lengannya di dada.
“Awalnya kupikir gaya tidurmu manis seperti Cinderella, ternyata wow … “ Danesh mencondongkan tubuhnya ke arah Dhera, karena mobil berhenti dilampu merah. “Membuatku kesulitan tidur jika malam tiba,” bisiknya.
Dhera menelan ludah, ia gugup namun hanya bisa mengkerut di tempatnya, “Pemandangannya terlalu sayang untuk dilewatkan, karena itulah Aku putuskan menikmati apa yang Kamu suguhkan tiap malam padaku.”
Cup
Danesh mencium sekilas, bibir yang mulai pucat karena malu bercampur kesal dengan ulahnya. “Terima kasih, Sayangku.”
“Jadi Kamu pelakunya!?” teriak Dhera kesal. Tiba-tiba ia ingat bercak kemerahan yang semula ia kira reaksi alergi yang biasa ia dapatkan, setelah mengkonsumsi ikan tuna. Tapi ternyata itu bukan karena alergi, tapi karena ada nyamuk yang setiap malam meng^hisap sari madunya.
Akhirnya Danesh tak bisa lagi berpura-pura menyembunyikan kejahatannya setiap malam.