Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback : Sepenting Itukah Sebuah Status?
Prangg ....
Suara pecahan kaca terdengar di area ruang makan. Para pelayan mulai berlarian untuk membersihkan kekacauan, namun segera terhenti kala melihat pemandangan yang menyedihkan.
Ada Mita yang menjadi sumber keributan tersebut. Wanita itu dengan sengaja menjatuhkan gelas ditangannya hingga kepingan kristal dari kaca itu berhamburan mengotori lantai.
Mita berdiri dengan angkuh, menatap remeh pada seorang gadis yang tengah berlutut membersihkan lantai. Dian mengabaikan luka di kakinya akibat perbuatan ibu mertuanya. Seolah terbiasa, Dian sudah mati rasa oleh perbuatannya.
"See? Ini baru posisi yang benar untuk gadis sepertimu, berada di bawah kami!" sinisnya meremehkan. Dian hanya diam saja. Tak ada gunanya melawan, toh Mita selalu ingin menang.
Para pelayan melihat Dian dengan sendu. Betapa menyedihkannya posisi gadis itu. Seorang menantu, tapi diperlakukan layaknya pembantu. Dian gadis baik, siapapun diantara mereka tahu itu.
"Nyonya ... biar kami saja yang membersihkannya–"
"Diam! Jangan coba-coba membantunya," ancam Mita, membuat pelayan-pelayan itu mundur.
Dian menoleh sedikit. " Kerjakan saja pekerjaan kalian, aku bisa melakukannya sendiri."
"Ya! Pekerjaan ini memang pantas untukmu," sarkas Mita lagi. Ia menendang salah satu kepingan kaca hingga benda itu menabrak tangan Dian yang sedang memungut kaca lainnya. Refleks Dian menarik tangannya yang kembali terluka.
Gadis itu menggenggam tangannya yang terluka seraya menatap Mita. "Apa! Kau ingin marah?" Mita tersebut remeh, lalu beranjak pergi dari sana.
Melihat kepergian Mita, para pelayan kembali mendekat dan merebut pekerjaan Dian.
"Nona, biar saya obati luka anda." Dian tidak berbicara saat salah satu pelayan menariknya duduk untuk diobati.
"Terima kasih," ucap Dian pelan. Meski Mita tidak menyukainya, para pelayan ini masih menghormatinya.
"Apa Nyonya Mita selalu seperti ini?" tanya Dian disela-sela ringisannya.
Para pelayan saling menatap, antara ragu dan tidak inginnya bicara. Dian mengerti. Ia tersenyum lembut pada mereka. "Tak apa, katakan saja."
"Maaf Nona. Keluarga ini begitu menjunjung tinggi martabat dan status mereka. Nyonya Mita ingin menantu seperti nona Melly, ia seorang artis papan atas. Elegan dan berkelas, sangat cocok dengan tipenya." Pelayan yang berbicara sedikit gugup, takut menyinggung Dian dan melukai hati gadis muda ini.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mau terbuka."
Bukankah Mita begitu mirip denganmu, ma? Kalian lebih mementingkan status daripada kebahagiaan kami, batin Dian miris.
-
-
-
Dian mengaduk kopinya di dapur. Sejak menikah dengan Nico, ia mulai belajar menjadi istri yang bertanggung jawab. Sedikit demi sedikit, ia mulai mengetahui banyak hal tentang suaminya. Dari hal-hal yang dibenci hingga yang disukai.
Dian meletakkan kopi yang dibuatnya di atas meja ketika mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Ia pergi ke ruang ganti untuk menyiapkan pakaian suaminya, lalu meletakkannya di meja yang ada disana.
Ceklek. Nico keluar dengan handuk yang masih melilit di pinggang. Ia tersenyum menatap Dian yang mendekat. Diraihnya kepala sang istri dan dikecupnya puncak kepalan Dian.
"Bagaimana harimu?" tanyanya, seraya meminum kopi yang dibuat Dian untuknya. Gadis ini selalu tahu apa yang disukainya.
"Baik," jawab Dian, menyembunyikan tangannya yang di perban.
"Kau ingin makan sesuatu?" tawarnya.
Nico tersenyum menyeringai. "Aku ingin makan kau saja." Langsung bergerak cepat hendak menangkap Dian, namun gadis itu lebih dulu berlari menghindar.
Brak. Dian menutup ruang ganti, lalu menguncinya dengan cepat. Ia mengelus dadanya yang sempat terkejut akibat ulah Nico. Diluar, Nico tertawa dengan senangnya. Ia berhasil mengerjai Dian lagi. Gadis itu sangat polos, sehingga membuatnya sering terhibur.
"Nico!" pekik Dian dari dalam.
"Ya? Kau berubah pikiran, aku masih menunggu," goda Nico lagi diluar pintu.
"Hentikan! Pakai bajumu cepat!"
"Aku mau, tapi bajuku di dalam sana," jawabnya sok polos.
Benar juga. Bukankah Dian bersembunyi di ruang ganti?
Mau tidak mau, Dian keluar dari sana. Ia menatap tajam Nico yang tersenyum menggoda dirinya.
Keduanya sepakat berteman dan saling menghormati sebagai suami istri lainnya. Mereka tak ingin tertekan dengan pernikahan yang tak pernah mereka harapkan, jadi mencoba menerima sampai waktunya tiba untuk menuju jalan masing-masing.
Namun, tidak ada yang tahu pasal hati. Keduanya tanpa sadar nyaman dengan perlakuan masing-masing. Hingga hanya satu dari mereka yang menyadari perasaan itu dan yang lain hanya mampu menyesal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...