Pelacur mahal milik Wali Kota. Kisah Rhaelle Lussya, pelacur metropolitan yang menjual jiwa dan raganya dengan harga tertinggi kepada Arlo Pieter William, pengusaha kaya raya dan calon pejabat kota yang penuh ambisi.
Permainan berbahaya dimulai. Asmara yang menari di atas bara api.
Siapakah yang akan terbakar habis lebih dulu? Rahasia tersembunyi, dan taruhannya adalah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arindarast, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
High school hustle
Dunia Edgar seakan berhenti saat mendengar kabar kakaknya. Marco mengatakan Rhaell dalam bahaya, tetapi tidak menjelaskan secara detail.
Kecemasan menggigit tapi ia harus berpikir cepat. Ia tak melanjutkan tujuannya ke kantin, melainkan berbalik arah, langkahnya tergesa. Di tengah hiruk pikuk siswa yang berlalu lalang, jari-jari tangan Edgar gemetar saat mencoba melacak lokasi terkini kakaknya melalui aplikasi pelacak lokasi yang terpasang di ponsel Rhaell.
“Lho, kamu mau ke mana?” Suara Amanda berlari kecil mengimbangi langkah kaki Edgar, memecah konsentrasinya. Edgar tak menjawab, hanya melirik sekilas ke arah Amanda sebelum kembali fokus pada layar ponselnya. Informasi yang muncul masih samar, hanya menunjukkan lokasi umum, belum spesifik. Ia butuh yang lebih akurat, lebih cepat.
Tiba-tiba ide cemerlang muncul begitu saja. Edgar berbalik lagi, menuju dalam kantin dan mengarah ke meja Nakula, bersama Amanda yang terus mengekor dengan wajahnya penuh tanda tanya.
Meja kantin yang kokoh, digebrak Edgar, “Nakula, aku butuh bantuanmu.” Napasnya terengah-engah.
Pikir Edgar, seorang superstar seperti Nakula, dengan popularitas dan pengaruhnya, pasti punya akses mudah melewati gerbang sekolah yang penjagaannya ketat itu.
Nakula, yang hendak menyuap bola-bola daging ke mulutnya, sampai terhenti dan menggantung di udara, sementara di sebelahnya, Khal, juga terbengong dengan hal tak terduga barusan.
Vokalis band itu menatap wajah Edgar dengan bingung, “murid yang kecerdasannya di atas rata-rata, rangking satu paralel dan mendapat beasiswa kedokteran… minta bantuan ke aku?” Nakula menyenggol lengan Khal, menyadari keanehan ini. Nada suaranya terdengar sedikit mengejek, tapi ada setitik rasa penasaran di baliknya.
Ia tidak mengenal Edgar secara personal, hanya tahu karena poster muka Edgar di tempel di seluruh penjuru sekolah, sebagai murid pintar. Melihat Edgar seperti ini, sesuatu yang serius pasti terjadi.
Edgar mengabaikan sarkasme Nakula, ia duduk di bangku panjang depan pasangan itu dan mulai bercerita tentang panggilan yang diterimanya tadi. Bahkan ia tidak menceritakan detailnya tapi Amanda dan Khal sudah menunjukan kekhawatirannya.
Amanda dengan kelembutannya menepuk-nepuk pelan lengan Edgar, memberi kenyamanan dan ketenangan untuk laki-laki yang ia taksir sejak satu tahun lalu. “Setelah Nakula dapet surat dispen dari kesiswaan, kita cari Kak Rhaell ya.”
Edgar menggeleng, suaranya tegas meskipun masih terdengar sedikit gemetar. “Tidak, Amanda. Aku saja yang mencari Kak Rhaell. Kamu harus melanjutkan pelajaran. Bisa jadi ini beneran bahaya, aku tidak mau kamu terlibat.” Ia menatap Amanda dengan mata serius, mencoba menyampaikan situasi yang sebenarnya.
Amanda mengerutkan kening, kecewa tapi mengerti. Ia tahu Edgar sangat bertanggung jawab dan protektif terhadap keluarganya. “Tapi...” Ia ingin membantah, ingin menawarkan bantuannya, tapi melihat api di mata Edgar, ia tahu percuma.
Nakula yang mengamati tingkah dua sejoli di hadapannya, mulai beraksi. Ia beranjak dari duduknya dan merogoh saku celananya, melempar kunci mobil ke atas meja. “Amanda dan kesayanganku, Khaldut tunggu aja di sini.” Nakula mengusap sekilas pucuk kepala Khal, lalu menatap Edgar. “Ayo cepat. Aku sudah punya ide. Kita akan ke sana dengan mobilku.”
Edgar, tanpa banyak bicara, mengambil kunci mobil itu. Ia melirik Amanda sekali lagi, menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan, campuran antara permintaan maaf dan tekad. Lalu, ia mengikuti Nakula, meninggalkan Amanda dan Khal di kantin yang ramai.
...****************...
Di parkiran sekolah, Nakula langsung masuk ke mobil sport merahnya, sebuah mobil yang selalu menarik perhatian. Edgar ikut masuk, duduk di kursi penumpang.
Suasana di dalam mobil tegang. Nakula tak banyak bicara, fokus mengemudi dengan kecepatan sedang, sesekali melirik Edgar dari sudut matanya.
“Kamu yakin lokasinya susah dilacak?” tanya Nakula, suaranya tenang tapi tajam.
Edgar mengangguk, “Hanya menunjukkan daerah sekitar rumahnya. Lebih spesifiknya, aku tidak tahu.” Ia mencoba sekali lagi untuk melacak lokasi Rhaell, tetapi hasilnya tetap sama.
Nakula mengerutkan kening. “Rumah siapa sebenarnya, sampai tidak terdeteksi.” Ia mempercepat laju mobilnya. “Aku punya beberapa kontak yang mungkin bisa membantu. Kita akan mencoba menelusuri semua kemungkinan.”
Selama perjalanan, Nakula menghubungi beberapa kenalannya, meminta informasi tentang keberadaan rumah itu. Ia menggunakan koneksi dan pengaruhnya untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.
Edgar hanya bisa duduk diam, menunggu kabar dari Nakula, mencoba untuk tetap tenang, di tengah rasa khawatir yang terus menggerogoti pikirannya.
Setelah beberapa panggilan telepon, Nakula akhirnya mendapatkan detail informasi. “Yash!” Seru Nakula, memukul keras setir mobilnya. Ia begitu antusias dan bersemangat karena pribadinya yang suka berpetualang dengan misi-misi seperti ini, “kakakmu kemungkinan besar berada di mansion miliarder.“
...****************...
Hampir dua jam berlalu, mobil sport merah Nakula berhenti di depan gerbang sebuah mansion yang megah dan besar. Cahaya matahari sore yang hangat memberikan sedikit kontras dengan kesan dingin dan megah dari bangunan itu. Halaman luas dan tembok tinggi mengelilingi bangunan tersebut.
Edgar dan Nakula turun dari mobil, mengamati sekeliling dengan hati-hati. Suasana terasa tenang, tapi kemegahan mansion itu tetap memancarkan aura misterius.
Sebuah tombol bel yang terpasang di dinding batu menarik perhatian Edgar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol itu. Namun, suara jawaban tidak berasal dari balik gerbang, melainkan dari sebuah speaker kecil yang terpasang di samping tombol bel. Suara itu terdengar jernih dan jelas, tetapi tetap dingin dan formal. “Siswa SMA Briliant 3, ada keperluan apa di sini?”
Edgar dan Nakula saling bertukar pandang, terkejut. Bagaimana penjaga itu tahu mereka adalah siswa SMA Briliant 3? Nakula, dengan reflek cepat, menoleh ke atas dan menemukan sebuah kamera CCTV terpasang di sudut tembok, jelas sekali mengawasi gerbang.
Tanpa ragu, ia langsung menutupi logo SMA Briliant 3 di seragamnya dengan tangannya, sekaligus sedikit menghalangi pandangan kamera ke arah wajahnya. Artis memang beda.
“Kami... kami mencari seseorang,” kata Edgar, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati, menghindari menyebutkan nama Rhaell secara langsung untuk sementara waktu.
Nakula berbisik kepada Edgar, “nama kakakmu siapa?”
“Saya mencari Marco,” kata Edgar, suaranya hampir tak terdengar karena saking pelan dan dekatnya dengan speaker. Ia berharap, menyebut nama Marco, akan memberikan sedikit celah.
Dari speaker, terdengar suara jeda yang lumayan panjang. Ketegangan di udara semakin terasa. Nakula mengamati kamera CCTV, jari-jarinya sudah siap untuk mengambil tindakan jika diperlukan. Resikonya menjadi terkenal sangat bertentangan dengan dirinya yang berjiwa petualang.
Akhirnya, suara dari speaker kembali terdengar, tetapi kali ini, nadanya sedikit berbeda. Tidak sedingin sebelumnya. “Marco? Tunggu sebentar.”
Saat ketegangan menyelimuti mereka berdua di depan gerbang mansion megah itu, tiba-tiba dua orang siswi SMA melintas di depan mereka dengan mengendarai sepeda motor.
Mereka mengenakan seragam SMA Galaxy, rival abadi SMA Briliant 3. Kedua siswi itu, dengan mata berbinar, tiba-tiba berseru, “Nakula! Nakula! Itu Nakula, kan?!”
Nakula membeku sejenak. Ia tidak menyangka akan bertemu penggemarnya di tempat seperti ini. Dengan cepat, ia mengangkat jari telunjuknya ke bibir, memberikan isyarat “Sssttt!” dengan ekspresi wajah yang memohon agar kedua siswi itu diam.
Mereka menyadari hal itu dan salah satu dari mereka berbisik kepada temannya, “Dia kayaknya lagi buru-buru. Jangan ganggu deh.” Lalu, keduanya melajukan motor mereka.
Edgar menghela napas lega, “Untung mereka ngerti.” Ia kemudian menatap Nakula dengan penuh rasa bersalah. “Maaf, Nakula. Aku jadi merepotkanmu.”
Nakula terkekeh kecil, suaranya berusaha terdengar santai untuk menenangkan Edgar. “Santai aja,” katanya, menepuk pelan pundak Edgar. “Aku juga bosen di sekolah. Hehe.” Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya di balik candaannya. Namun, mata Nakula tetap waspada, melirik sesekali ke arah kamera CCTV.
“Tapi...” Edgar masih terlihat ragu. “Bagaimana kalau mereka bilang ke orang lain?”
“Tenang,” kata Nakula, nada suaranya sedikit lebih serius. “Mereka cuma penggemar biasa. Sekarang kita urus aja si Marco.”
Saat itu juga, gerbang mansion terbuka perlahan. Dua orang pria tinggi besar dengan setelan jas rapi keluar. Wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia menatap Edgar dan Nakula dengan tajam, menilai situasi.
“Kalian mencari Tuan Marco?” tanyanya, suaranya terdengar dingin dan formal, sama seperti suara dari speaker sebelumnya.
Nakula dan Edgar saling berpandangan lagi, sebelum Nakula maju selangkah ke depan. “Ya,” kata Nakula, suaranya terdengar tegas dan percaya diri. “Dan kami perlu bertemu dengannya.”
Pria itu diam sejenak, mengamati mereka dengan saksama. Lalu, ia mengangguk kecil. “Silakan masuk.”
Pria berjas itu, setelah mengizinkan mereka masuk, menambahkan dengan suara rendah, “Sedang ada liputan di sini. Jangan berisik, dan ikuti saya.”
Sebelum mereka melangkah, Nakula dengan santai dan gerakan yang akurat penuh gaya, melempar kunci mobilnya ke teman pria berjas itu. Kunci mendarat dengan sempurna di telapak tangan pria tersebut. Lalu pria pertama memberi isyarat pada temannya untuk memindahkan mobil yang terparkir di depan gerbang.
Edgar hanya bisa menggeleng kepala dan tertawa kecil. Mereka mengikuti pria berjas itu menyusuri jalan setapak yang teduh. Suasana sunyi, hanya diiringi suara langkah kaki mereka di atas kerikil dan gemerisik daun-daun.
Sesekali Edgar melirik Nakula, yang tetap memasang wajah tenang namun waspada, matanya mengamati sekeliling.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka sampai di sebuah area taman yang tersembunyi di belakang mansion. Taman ini jauh lebih sederhana dan alami dibandingkan halaman depan yang terawat rapi. Rumputnya sedikit liar, beberapa bunga liar tumbuh di antara tanaman-tanaman.
Di tengah taman yang teduh itu, di bawah naungan pohon besar yang rindang, terdapat sebuah gazebo kecil. Dan di gazebo itulah, Marco menunggu. Ia berantakan dan sedikit lusuh, tapi senyum lega terpancar di wajahnya saat melihat Edgar dan Nakula.
“Wah, rasanya aku ingin memakai seragam SMA lagi,” kata Marco, suaranya sedikit serak, lebih seperti gumam.
Edgar, mengabaikan komentar Marco yang nyeleneh di situasi genting ini, langsung bertanya dengan nada cemas, “Di mana Rhaell? Apa maksudnya bahaya?” Kecemasan yang selama ini ia tahan mulai meledak.
Marco menunjuk ke arah atas mansion yang megah. “Rhaell ada di kamar itu” katanya, suaranya sedikit linglung. Lalu Ia menunjuk lagi ke arah pintu masuk utama mansion, “Arlo dan para wartawan ada di ruang tamu.” Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan dengan suara berbisik, “Jika mereka bertemu... jika Rhaell bertemu Arlo dan para wartawan itu... bumi akan hancur.”
Nakula di sebelah Edgar, mengamati Marco dengan seksama. Ada sesuatu yang janggal. Mata Marco merah, suaranya aneh dan sedikit tidak jelas, juga ada bau samar alkohol yang tercium dari tubuhnya. Seketika, sebuah kesimpulan terlintas di benaknya.
“Anda mabuk?” tanya Nakula, suaranya tenang tapi tajam. Ia menatap Marco dengan tatapan menilai, mencoba memastikan kecurigaannya.
Edgar, yang masih dipenuhi kecemasan untuk Rhaell, terkejut dengan pertanyaan temannya yang tiba-tiba. Ia melirik Nakula, kemudian kembali ke Marco, menunggu penjelasan.
Marco, dengan senyum yang tampak dipaksakan dan tidak fokus, menjawab pertanyaan Nakula sambil tertawa kecil, “Sedikit mabuk... banyak bercinta!” Ucapannya terdengar tidak jelas, dan ia tiba-tiba kehilangan keseimbangan, lalu ambruk ke tanah dengan suara gedebuk yang keras.
Segera, seorang pria berjas yang mengantar mereka, dengan sigap membantu tuannya berdiri dan menopang tubuh Marco yang tampak lemas.
Melihat kesempatan itu, Edgar langsung berlari menuju pintu masuk utama mansion, meninggalkan Nakula yang tercengang di belakang.
Nakula, dengan cepat bereaksi, mengejar Edgar sambil berteriak, “Gar! Kamu serius mau nerobos masuk?!”
Edgar berlari sekencang mungkin, adrenalinya terpacu. Ia melewati halaman luas mansion, mengarah ke pintu masuk utama yang megah. Ia tahu ini berisiko, tapi ia tak punya waktu untuk berpikir panjang.
Di belakangnya, Nakula masih mencoba mengejar, namun langkahnya terhambat oleh kekhawatirannya. Ia berteriak lagi, “Gar, tunggu! Jangan gila!” Namun, suaranya nyaris tak terdengar di tengah debar jantungnya sendiri.
Dari kejauhan, seorang pria berjas lain yang tadi memarkir mobil sport merah Nakula, melihat kejadian itu. Ia awalnya tampak terkejut, kemudian dengan cepat memutuskan berlari mengejar Edgar dan Nakula. Ia tampaknya menyadari bahwa situasi telah di luar kendali.
Edgar, tanpa menoleh ke belakang, terus berlari menuju pintu masuk. Ia bisa mendengar suara riuh percakapan dan tawa dari dalam mansion.
Nakula, menyadari bahwa ia tak akan mampu mengejar Edgar tepat waktu, tapi juga tak mau tertangkap penjaga yang mulai mendekat. Maka ia mengubah taktiknya.
Melihat sebuah pot bunga besar, berisi tanaman hias yang cukup tinggi. Dengan perhitungan cepat dan tepat, Nakula berlari menuju pot tersebut.
Tanpa ragu-ragu, “bodo amat, bajingan!” ia menendang pot bunga itu dengan sekuat tenaga sampai terguling. Tanah dan tanaman hiasnya berhamburan.
Pria berjas yang masih mengejar, tidak dapat menghindar. Ia tersandung oleh pot bunga yang berserakan dan badannya yang besar itu jatuh terguling-guling di tanah.
Nakula menoleh ke belakang, “mampus!” Meskipun sedikit terlambat, ia berhasil mencapai pintu masuk utama mansion hanya beberapa detik setelah Edgar masuk. Ia melihat Edgar sudah berada di dalam, sedang berhadapan dengan seseorang yang ia duga adalah Arlo.
Bersambung…
tu kan mo arah ke ❤❤ gituu 😅🤗