Mentari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Tari dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Tari menghentikan aktivitasnya, menutup lemari dengan perlahan. Ia memutar tubuhnya menghadap Teguh, menatap suaminya dengan mata yang memancarkan kelelahan dan luka. "Mas, aku sudah mencoba sebisa mungkin untuk jadi menantu yang baik," jawabnya, suaranya tenang tapi penuh dengan kepedihan. "Tapi apakah Mas tahu, ibu tidak pernah melihat usahaku? Apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya."
Teguh terdiam, tak bisa membalas. Ia tahu ada kebenaran dalam ucapan istrinya, tapi ia juga tak bisa mengabaikan ibunya.
"Mas minta aku nurut, tapi apa aku harus diam saat diperlakukan tidak adil?" lanjut Tari, nadanya mulai bergetar. "Aku juga manusia, Mas. Aku punya batas."
Teguh menunduk, menggenggam tangannya sendiri dengan gugup. Ia tahu, menginginkan perdamaian di antara keduanya bukanlah hal mudah. Tapi, melihat Tari yang begitu terluka, ia tak bisa lagi hanya diam. "Aku mengerti, Tari. Aku cuma ingin semuanya lebih baik... buat kita."
"Kalau Mas ingin semuanya lebih baik, mulailah berdiri di tengah. Jangan cuma jadi penonton," ucap Tari tegas, sebelum kembali berbalik ke arah lemari.
"Terus aku harus diam saja gitu, Mas?" ucap Tari dengan senyum tipis yang menyeramkan, tatapannya menusuk langsung ke arah Teguh.
Glek!
Teguh menelan ludah dengan susah payah. Kehangatan kamar mereka kini berubah menjadi atmosfer yang menegangkan. Ia tahu, jika salah berbicara sedikit saja, situasi ini bisa berubah menjadi ledakan besar.
"Eumm, bukan gitu maksud aku," Tari, jawabnya terbata-bata, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ibu nggak akan begitu kalau kamu nurut apa katanya. Pokoknya kamu baik-baikin ibu, ya, supaya rumah ini damai dan tenteram."
Teguh berhenti sejenak, menggosok tengkuknya dengan canggung. "Aku cuma nggak mau ada lagi teriakan ibu yang melengking seperti jangkrik. Rasanya... pusing banget, Tari," lanjutnya dengan nada memelas, mencoba meredakan ketegangan.
Namun Tari hanya mengangkat alis, matanya tetap tajam menatap suaminya. "Mas pikir semuanya cuma salah aku? Mas pikir ibu itu selalu benar?" tanya Tari dengan nada sarkastis. "Mas tahu nggak, kalau aku diam saja setiap kali ibu mengomel, aku yang akhirnya makan hati? Sampai kapan aku harus sabar, Mas?"
Teguh terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Di dalam pikirannya, ia merasa masalah ini berawal dari istrinya yang sering membalas perkataan ibunya. Jika saja Tari diam dan menuruti apa yang dikatakan Bu Ayu, semuanya pasti lebih mudah. Tapi melihat Tari yang tampak begitu marah dan terluka, Teguh tahu pemikirannya tidak sesederhana itu.
"Tari... aku cuma ingin semuanya lebih tenang. Aku nggak mau kita terus-terusan begini," ucap Teguh akhirnya, dengan nada lelah yang begitu jelas.
"Elah, Mas," sahut Tari dengan nada kesal sambil melipat tangannya di dada. "Perasaan dari dulu, ibu kamu memang suka ngomel-ngomel kayak kodok. Aku diam pun, ibumu tetap ngomel."
Teguh menghela napas panjang, mencoba bersabar meski kata-kata Tari terasa menusuk. Tapi sebelum ia sempat membalas, Tari melanjutkan dengan suara yang lebih tinggi, penuh emosi.
"Dari pada aku sakit hati dengerin omelan ibumu yang nggak ada ujungnya itu, ya aku nggak tinggal diam lah!" Wajahnya memerah karena amarah yang sudah lama ia pendam.
Teguh mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tari, kamu nggak ngerti. Ibu ngomel itu karena dia peduli. Dia cuma mau semuanya berjalan sesuai caranya."
Tari tertawa pendek, tapi bukan karena lucu. Lebih kepada ekspresi ketidakpercayaan. "Peduli? Mas, peduli itu bukan dengan cara merendahkan orang lain, apalagi aku yang sudah banting tulang ngurus rumah ini. Mas sadar nggak, selama ini aku yang masakin, nyuci, bersihin rumah, semua tanpa satu kata terima kasih dari ibu kamu."
Teguh menunduk, tak mampu membantah. Di satu sisi, ia ingin membela ibunya. Tapi di sisi lain, ia tahu Tari tidak salah.
"Mas bilang aku baik-baikin ibu? Oke, aku coba. Tapi tolong bilang ke ibu juga, jangan cuma aku yang harus mengalah terus. Mas tahu kan, aku juga punya batas," lanjut Tari, nada suaranya kini lebih tenang, tapi tetap tegas.
Teguh menyugar rambutnya dengan frustasi. Ia tahu, situasi ini sulit, apalagi jika ibu dan istrinya sama-sama tak mau mengalah. Rasanya seperti terjepit di antara dua dinding yang terus mendesaknya tanpa henti.
"Mas," panggil Tari, memecah keheningan di kamar mereka. Teguh menoleh, menatap wajah istrinya yang kini terlihat serius. Tari menyipitkan matanya sedikit, menandakan bahwa apa yang akan ia katakan penting. "Mau aku kasih jalan keluar supaya kita nggak berantem terus?"
Teguh menghela napas, nadanya penuh harapan. "Apa?" tanyanya, meski di dalam hati ia agak ragu apakah ini benar-benar solusi yang bisa menyelesaikan semuanya.
Tari tersenyum tipis, tapi senyumnya itu penuh arti. "Kita keluar dari rumah ini, Mas. Ngontrak aja. Aku nggak apa-apa kok, ngontrak sepetak pun. Yang penting kita punya rumah sendiri, tanpa ada drama setiap hari."
Teguh terdiam. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya Tari menawarkan solusi tersebut. Sudah berkali-kali istrinya mengusulkan hal yang sama, tapi selalu ia tolak. Alasannya? Ia tak ingin meninggalkan ibunya sendirian, meskipun kenyataannya ibunya punya anak-anak lain yang bisa menemaninya.
"Tapi, Tari..." Teguh membuka mulut, mencoba mencari alasan lain untuk menolak.
"Mas," potong Tari dengan nada yang lebih tegas. "Aku udah nggak kuat, Mas. Kalau terus-terusan begini, aku takut hubungan kita yang jadi taruhannya. Aku cuma ingin hidup tenang sama kamu. Apa itu terlalu banyak untuk diminta?"
Sesuai prediksi, Teguh menggelengkan kepalanya dengan kuat, seakan semua usahanya untuk mencari jalan tengah sudah gagal.
Semangat thor