sinopsis:
Nama Kania Abygail tiba tiba saja terdaftar sebagai peserta Olimpiade Sains Nasional.
Awalnya Kania mensyukuri itu karna Liam Sangkara, mentari paginya itu juga tergabung dalam Olimpiade itu. Setidaknya, kini Kania bisa menikmati senyuman Liam dari dekat.
Namun saat setiap kejanggalan Olimpiade ini mulai terkuak, Kania sadar, fisika bukan satu - satunya pelajaran yang ia dapatkan di ruang belajarnya. Akan kah Kania mampu melewati masa karantina pra - OSN fisikanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zuy Shimizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Chapter 20: Menghitung Hari
"Pagi dini hari, rindu mengetuk kaca hati. Mengetuk matamu yang berkaca-kaca itu."
\#\#\#
INI malam yang tenang.
Kota Logaren tetap ramai seperti biasanya. Dan dari balik kaca hotel, Levia menyaksikan padatnya lalu lintas kota. Ada bising yang tak pernah usai di sana.
"Kania belum balik?"
Levia menoleh ke arah Renatta. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi, usai membersihkan diri. Dengan rambut basahnya yang sedang ia gosokkan dengan anduk itu memancarkan aura dewasanya yang begitu elegan.
Cantik sekali.
"Belum, Kak. HPnya Kania lowbat, tadi gue chat Liam. Kania ada sama dia, kok." ujar Levia sembari melempar kembali tatapannya keluar.
"Baguslah, aman kalo gitu."
Renatta duduk di pinggir ranjang sembari terus mengeringkan rambutnya. Yah, baru pertama kali sang Leader tim fisika kabur. Tapi yang paling memahaminya adalah Renatta.
Renatta tahu baik Kania maupun Liam, keduanya masih sama-sama kacau karena kedatangan Sabiru pagi tadi. Biarlah mereka belajar di luar dahulu.
"Yang tadi pagi itu siapa, ya?"
Renatta melirik Levia sejenak, sebelum kembali menggosokkan handuk di rambutnya. "Kakak Kania itu."
"Hah??" mata Levia membelalak sempurna, ia menoleh ke arah Renatta yang ia punggungi itu. "Seriusan lo, Kak? Orang yang ribut tadi pagi itu kakaknya? Kok beda banget?"
"Hush!" Renatta menegur Levia tegas. "Nggak baik, Levia. Jangan bilang gitu," lanjutnya menasihati.
"S-sorry, Kak." jawab Levia tergagap. "Gue nggak ada maksud apa-apa, sih. Cuma ya... gimana mau jelasinya..."
Renatta menghela nafasnya tegas. Ia pun menyandarkan siku pada lututnya. Ia membiarkan sisa air yang belum kering dari rambutnya menetes membasahi karpet kamar mereka.
Hening.
Keduanya terjebak pada dunia masing-masing. Dan sungguh, tumbuh dari remaja menuju dewasa adalah masa-masa paling menyakitkan. Dimana para muda-mudi harus terus berjuang melawan dunia dan keluar dari zona nyaman mereka.
"Gue tau maksud tersirat lo, Via. Dan iya, Kania emang bukan adik kandung dari kakaknya yang sering dia ceritain itu. Tapi elo, Via, gue percaya lo, gue percaya ini bukan masalah yang harus di besarkan."
Levia meneguk ludahnya sendiri. Tak perlu dijelaskan lagi, Levia cukup paham apa yang dimaksud Renatta. Lagi pula gadis itu tidak bodoh.
"Iya, Kak." jawabnya.
Renatta tak menyahut lagi. Gadis itu pun bangkit dan beranjak menuju ke sebuah meja rias. Renatta pun mulai menyisir rambut hitamnya perlahan.
"Kak," panggil Levia.
"Hm?" sahut Renatta tanpa menoleh.
"Tahun lalu..... juga ada masalah serumit ini?"
Renatta terhenti sejenak. Ia menatap bayangannya sendiri dalam kaca. Ia menatap dalam pada iris birunya sendiri, seolah ada jiwa lain yang tengah berjuang di sana.
"Via, setiap siswa ngebawa beban mereka masing-masing ke hotel karantina ini. Lo tau, gue tau, semua tau, ini udah jadi rahasia umum."
Levia mengangguk pelan dalam diamnya. Namun tetap ia usahakan untuk mengukir segaris senyum tipis di bibirnya. "Gue bukan anak olim, tapi gue denger dari temen gue, katanya ada yang pernah ikut karantina, tapi belum ijin orang tuanya."
Renatta terdiam sejenak. Pikirannya terbang sejenak, ia berusaha keras mengingat-ingat. Dan hanya sejurus kemudian, Renatta terkekeh kecil. "Iya, dia malsuin tanda tangan orang tuanya juga." Renatta tersenyum kecil, lalu menoleh pada Levia. "Lo tau, kan, siapa orangnya?"
Levia mengangguk dengan senyum tipisnya. "Ethan Nathanie,"
---- Olimpiaders ----
Datangnya hari olimpiade sudah dapat di hitung dengan jari tangan. Semua siswa telah mempersiapkan yang terbaik. Tak tanggung-tanggung, tim fisika ruang 237 pun menambah jam pelajaran mereka sendiri.
Hal ini tak lain dan tak mungkin atas permintaan mereka sendiri.
Albert Smith melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Pria itu pun menghela nafasnya, lalu melirik kelima anak didiknya itu.
"Kalian nggak capek? Ini udah mau setengah 3 sore, loh." ujar pria itu.
"Dikit lagi, Pak. Tinggal 8 soal," sahut Evan sembari terus menuliskan jawabannya diatas lembar jawab.
Sedetik kemudian, keheningan berhembus di ruang belajar mereka. Albert Smith kembali menghela nafasnya. Dasar, ruang 237 memang dipadati oleh anak-anak ambis.
"Bapak tinggal ke kamar kecil dulu," ujar pria itu sebelum bangkit dan meninggalkan ruang belajar 237. Namun tak ada yang menyahut. Kelimanya sibuk dengan soal masing-masing.
Ah, sudahlah. Pria itu mulai menyusuri lorong menuju ke kamar mandi.
Albert Smith tahu ada yang aneh. Liam, sang Leader tim fisika ruang 237 itu berubah. Seperti ada yang ia sembunyikan. Ralat, banyak.
Banyak yang ia sembunyikan.
Dasar remaja ambis.
✩₊̣̇. To Be Continue