Akan selalu ada cahaya selepas kegelapan menyapa. Duka memang sudah menjadi kawan akrab manusia. Tak usah terlalu berfokus pada gelapnya, cukup lihat secercah cahaya yang bersinar di depan netra.
Hidup tak selalu mudah, tidak juga selamanya susah. Keduanya hadir secara bergantian, berputar, dan akan berhenti saat takdir memerintahkan.
Percayalah, selepas gulita datang akan ada setitik harapan dan sumber penerangan. Allah sudah menjanjikan, bersama kesulitan ada kemudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 11
...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...
..."Tidak semua hal harus diceritakan, ada kalanya lebih baik dirahasiakan."...
...—🖤—...
SEKUAT tenaga Zayyan melepaskan cekalan tangan Nayya. Dia benar-benar tidak nyaman dengan kebar-baran Nayya yang begitu sembarangan melakukan kontak fisik. Meskipun masih terhalang kain, tetap saja itu tidak bisa ditoleransi.
"Tangan gue bukan air liur anjing, bukan juga najis mugholadoh. Nggak usah berlebihan gitu!" semprot Nayya kesal.
"Bukan begitu maksud saya, Mbak Nayya. Saya hanya kurang nyaman dengan kontak fisik yang kerapkali spontan Mbak Nayya lakukan. Saya tidak terbiasa," terang Zayyan berusaha untuk sehalus mungkin dalam menjelaskan.
"Lo umur berapa sih, Yan? Cuma pegangan doang protesnya udah kayak korban yang dilecehkan."
Zayyan memaksakan diri untuk tersenyum. "Ini bukan soal umur, tapi tentang prinsip. Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri, untuk tidak melakukan kontak fisik pada yang bukan mahram. Selain sebagai wujud hormat saya terhadap perempuan, saya pun ingin menjaga diri saya dari zina."
"Manis banget ucapan lo, gombal versi syariah begini yah?" ungkap Nayya.
Zayyan terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan ranah saya untuk menggombali, Mbak Nayya. Memangnya saya ini siapa?"
"Lo, kan Zayyan Zainul Muttaqin, right?"
Zayyan mengangguk sebagai respons.
"Cewek yang jadi istri lo nanti, pasti akan senang. Karena lo bukan tipikal orang yang mudah tergoda, dan sangat bisa mempertanggungjawabkan apa yang lo ucapkan," ujar Nayya tiba-tiba.
"Maksudnya?"
"Ya, karena di zaman sekarang banyak cowok yang gampang banget sentuh sana, sentuh sini, gandengan kayak orang mau nyeberang, bahkan lebih dari itu. Lha, lo baru kepegang aja tuh tangan, udah ngamuk dan pasang taring. Setiap perkataan yang keluar dari mulut lo juga, bisa lo pertanggungjawabkan. Langka cowok kayak gitu," terangnya tanpa sadar memuji Zayyan.
"Mengubah kebiasaan itu susah, kalau sebelum menikah bisa menjaga diri, maka akan terbawa hingga menikah nanti. Begitu juga dengan perkataan, karena, kan ijab kabul dan talak cerai itu diucapkan oleh laki-laki. Maka dari itu saya selalu berusaha untuk menjaga apapun yang keluar dari mulut saya," jelas Zayyan ditutup dengan sedikit sunggingan.
"Bagus juga prinsip lo. Nikah yuk?"
"Hah?!"
Nayya tertawa dengan begitu puas lalu meninggalkan Zayyan yang mematung dan terbengong-bengong. Sepertinya pikiran lelaki itu masih tercecer, dan belum terkumpul sepenuhnya.
"Mbak..., Mbak Nayya!" panggil Zayyan mengejar langkah Nayya yang entah akan ke mana.
"Apa? Lo baper? Mau nikah sama gue?" tanya Nayya saat Zayyan berhasil menjegal jalannya.
Secara spontan Zayyan menggeleng. "Bukan..., bukan..., begitu maksud saya. Omongan, Mbak Nayya tadi nggak serius, kan? Hanya bercanda."
Nayya mengangkat satu alisnya. "Kalau gue serius gimana?"
Mata Zayyan membola sempurna, dan dia sangat kesulitan walau hanya untuk sekadar menelan ludah. Sangat bertolak belakang dengan Nayya yang justru tertawa puas menyaksikan bagaimana paniknya Zayyan.
"Jangan lupa ngedip, nanti mata lo perih." Setelahnya Nayya kembali memacu langkah dan memasuki kamar.
Lagi-lagi Zayyan hanya bisa diam membisu. Otaknya sama sekali tidak bisa diajak berkompromi.
...—🖤—...
"Kamu tahu sesuatu, kan, Sha?" tuntut Angga pada saat dia mengantarkan Shareefa pulang.
Mereka pergi ke Bogor dengan didampingi sopir, bahkan Angga pun duduk di samping kemudi, sedangkan Shareefa duduk nyaman di belakang. Sekarang mereka sudah berada di depan gerbang rumah orang tua Shareefa.
"Tahu apa, Mas?"
"Sesuatu yang seharusnya tidak kamu ketahui."
"Tentang?"
"Calon Menantunya Bu Harini."
Shareefa terdiam sesaat. "Oh, itu, kan pasien, Mas? Kenapa memangnya?"
"Sudah berapa kali kamu melihat saya ada di ruangan itu? Apa saja yang kamu lihat dan dengar?"
Shareefa berpikir sejenak. "Tiga atau empat kali, ya saat aku mengunjungi Mas di rumah sakit."
Akhir-akhir ini Shareefa memang seringkali ke rumah sakit. Entah itu hanya sebatas mengantarkan bekal makan siang, yang sengaja dibuatkan sang ibu. Atau ada hal-hal urgent yang berkaitan dengan rencana pernikahan. Selebihnya tidak ada.
"Kenapa muka Mas panik gitu sih? Apa Mas suka sama Calon Menantunya Bu Harini?"
"Kenapa malah kamu yang balik tanya? Jawab dulu pertanyaan saya."
Shareefa menghela napas singkat. "Sebatas melihat Mas yang tengah memeriksa kondisi Zalfa, pernah juga aku lihat Mas ngomong maaf sama Zalfa. Hanya itu yang aku lihat dan dengar."
"Yakin?"
Shareefa mengangguk mantap. "Memangnya kenapa, Mas?"
Angga menggeleng pelan. "Nggak papa."
"Kok Mas bilang maaf sama Zalfa. Memangnya Mas punya salah apa?" tanya Shareefa penasaran.
Angga mendadak gugup dan kehilangan kosakata. Hal itu jelas membuat Shareefa sedikit menaruh curiga.
"Saya hanya merasa bersalah karena sampai sekarang Zalfa belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Sebagai tenaga medis, kesembuhan pasien itu hal yang utama," alibinya setelah berpikir keras untuk memberikan keterangan yang logis.
Shareefa manggut-manggut. "Kita ini hanya manusia, tugasnya berdoa dan berusaha, terkait hasil biar jadi urusan Allah saja. Kita nggak perlu ikut campur."
Angga tersenyum simpul. "Ya sudah masuk gih, saya sudah berjanji untuk memulangkan kamu tepat pukul lima sore."
"Mau mampir?"
Angga menolak dengan halus. "Saya masih harus kembali ke rumah sakit. Salam saja buat orang tua kamu. Maaf, nggak bisa mengantarkan putrinya sampai ke dalam."
"Fii amanillah, Mas."
Angga hanya mengangguk saja. Semenjak mengenal Shareefa, banyak sekali kalimat-kalimat aneh yang menyapa gendang telinga.
Pada saat bersama Shareefa, dia merasa menjadi manusia paling bodoh dan banyak dosa. Definisi insecure yang sesungguhnya.
Bagaimana mungkin dia bisa menjalani pernikahan dengan perempuan yang bahkan ilmu agamanya, jauh lebih tinggi. Harga diri sebagai kepala keluarga dan suami pasti akan turun serendah-rendahnya.
"Mama menjodohkan kamu sama Shareefa supaya hidup kamu lebih bener dan tertata. Mama mau yang terbaik untuk masa depan kamu, Ngga."
Alasan sang ibu mendadak muncul dalam pikiran. Entah siapa yang mengundang, tapi hal itu justru semakin menambah beban.
"Nayya memang gadis yang baik dan cantik, tapi Mama ingin menantu yang berakhlak serta beragama kuat. Mama nggak bermaksud untuk membandingkan atau menganggap Shareefa lebih baik dari Nayya. Salahkah kalau Mama menginginkan sosok menantu seperti Shareefa?"
Angga menjambak rambutnya dan berteriak frustrasi. Bayang-bayang sang ibu kini menari-nari tiada henti.
"Shareefa terlalu sempurna untuk dimiliki, Angga takut nggak bisa menjadi imam yang baik untuk dia, Ma," gumamnya seraya menjatuhkan kepala di atas stir.
Cukup lama, sampai akhirnya Angga mengangkat kepalanya saat ada yang mengetuk jendela. "Iya, Pak?"
"Pintu mobilnya dikunci, saya tidak bisa masuk? Mas Angga kenapa duduk di balik kemudi. Maaf, lama. Mini market-nya penuh, Mas," jelas sang sopir.
Angga turun dari mobilnya. "Iya nggak papa, Pak. Langsung pulang ke rumah aja."
Sang sopir mengangguk dan menyerahkan minuman dingin yang tadi Angga pesan.
"Buat Bapak aja," ungkap Angga lalu duduk di belakang dan merebahkan tubuh lelahnya di sana.
Menyuruh sang sopir untuk membeli minuman ke mini market hanya sekadar alibi, agar dia bisa mengobrol berdua dengan Shareefa tanpa ada yang menguping.
...🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤...
love sekebon🥰