"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Breaking Through
Satu bulan telah berlalu, segala persiapan pernikahan sudah disiapkan dengan matang, dari tempat, baju pernikahan, dan tamu yang di undang pun sengaja hanya sedikit saja sekitar sepuluh orang, terdiri dari beberapa keluarga dari ibu dan ayahnya, dan 2 teman yudha terlihat hadir Disana.
Semuanya dipersiapkan langsung oleh Yudha dan dibantu oleh istrinya secara diam-diam, hal ini tentu tidak boleh diketahui oleh ibunya.
Yang ibunya tau adalah hubungan Riana dan tari sudah rusak karena pernikahan ini yang di adakan dengan restu terpaksa dari Riana.
Tari sama sekali tidak campur tangan dalam persiapan ini, karena ia benar-benar tidak suka untuk mengurus hal yang rumit dan Riana tau itu.
Gedung pernikahan itu dihias dengan nuansa putih dan emas, lengkap dengan rangkaian bunga mawar merah muda yang mempercantik sudut-sudut ruangan. Kursi tamu diatur rapi, meski tak semua terisi. Hanya beberapa undangan yang hadir, kebanyakan dari pihak Yudha.
Di depan, ayah dan ibu Yudha duduk di barisan terdepan. Mereka terlihat anggun dan serasi mengenakan pakaian bernuansa biru pastel. Sang ibu mengenakan kebaya modern yang dilengkapi dengan selendang tipis di bahu, sementara ayah Yudha tampak gagah dengan jas senada.
Penghulu duduk di meja akad dengan Bayu berada disebelahnya, dan Yudha yang bersampingan dengan tari.
Bayu, yang kini bertindak sebagai wali Tari, duduk dengan kemeja putih dan peci hitam yang sedikit miring. Wajahnya tampak gugup namun tidak terlihat bagi orang yang tidak mengenalnya.
Tari sesekali melirik Bayu, ia lega Bayu datang hari ini, karena bocah ini datang terlalu dari waktu yang dijanjikan.
Tari sudah siap untuk memarahinya, bahkan uang senilai 2 juta sudah diambil oleh Bayu, imbalan darinya.
Untungnya tak lama setelah ia mengoceh dalam hatinya, Bayu menampakkan dirinya.
Di sebelahnya, Yudha, calon suaminya, duduk tenang dalam setelan jas abu-abu muda. Matanya sesekali menatap Tari di ujung meja, memberikan senyuman tipis yang terkesan menenangkan. Tari membalasnya dengan senyum lembut, meski dalam hati ia menggerutu dengan kesal.
Dalam hatinya. "Sial, kapan bapak ini selesai berbicara, mulai saja akadnya, agar semua ini cepat selesai, dan aku bisa kembali tidur, dan bahkan aku masih punya pekerjaan yang harus aku selesaikan, deadlinenya dua hari lagi." Batinnya menangis.
Setelah pembacaan doa oleh penghulu, suasana hening saat penghulu bertanya kepada Bayu.
"Saudara Bayu, sebagai wali dari mempelai wanita, apakah Anda siap menikahkan saudari Tari kepada saudara Yudha bin David Prayoga dengan mas kawin berupa emas 10 gram?"
Bayu menelan ludah, lalu menjawab tegas meski suaranya sedikit bergetar. "I-iya, saya siap."
Penghulu memandu Bayu untuk mengucapkan ijab kabul. Bayu dan Yudha saling menjabat tangan, Bayu menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melafalkan dengan suara lantang, meski sedikit bergetar:
"Saya nikahkan engkau, Yudha Prayoga, dengan kakak kandung saya, Intari Mutiarani, dengan mas kawin berupa emas 10 gram, dibayar tunai."
Setelah itu, Yudha menjawab dengan suara mantap, "Saya terima nikahnya Intari Mutiarani, kakak kandung Anda, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Dua saksi yang menyaksikan prosesi langsung menjawab serentak, "Sah."
Suasana yang tadinya tegang langsung mencair. Ayah dan ibu Yudha saling bertukar senyum dan berbisik kecil, wajah mereka jelas memancarkan kebahagiaan.
Tari menundukkan kepalanya, menyembunyikan emosi yang berkecamuk. Namun, ketika ia mengangkat wajahnya kembali, sebuah senyum bahagia perlahan merekah, mencairkan kesan dingin sebelumnya.
Di sebelahnya, Yudha menatap Tari dengan pandangan yang penuh kehangatan. Namun, detik berikutnya, matanya membelalak kaget saat Tari tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Sebelum ia sempat bereaksi, Tari mengecup pipinya dengan lembut.
"Terima kasih," bisik Tari sambil tersenyum tulus, matanya berbinar penuh cinta.
Yudha terdiam, sepenuhnya tertegun. Otaknya masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
Tari, seolah tidak menyadari keterkejutan Yudha, berdiri dengan anggun dan berjalan menjauh, meninggalkannya yang masih terpaku di tempat.
Dalam hati, Tari merasa yakin bahwa tindakan itu sudah cukup untuk menunjukkan kepada semua bahwa ia mencintai Yudha.
Tari pikir yudha akan menyadari bahwa hal yang dilakukan olehnya adalah bagian dari rencananya.
Namun, apa yang Tari tidak tahu adalah bahwa selama ini, hanya Riana yang pernah mencium pipi Yudha seperti itu.
Sentuhan sederhana yang baru saja terjadi membangkitkan sesuatu yang tak terdefinisikan dalam hati Yudha.
Setelah resepsi pernikahan mereka yang di adakan singkat selesai, Yudha dan Tari segera menuju kamar yang telah disediakan untuk mereka di lantai atas gedung.
Tari berjalan terburu-buru, wajahnya yang tadi tersenyum lembut sekarang berubah otomatis. Tari terlihat jengkel karena kebaya yang dikenakannya, ia tidak tahan menggunakan nya.
"Aku benar-benar nggak ngerti kenapa orang pakai kebaya begini untuk pernikahan. Apa nggak ada pilihan lain yang lebih nyaman?" gerutu Tari, tangannya sibuk menarik-narik bagian rok kebayanya yang dianggap terlalu sempit.
Yudha, yang mengikuti di belakang, hanya tersenyum tipis mendengar ocehan Tari. "Sabar tar, bentar lagi sampai ko," ucapnya, mencoba menenangkan.
Saat mereka memasuki lift, Tari mendesah lega melihat hanya mereka berdua di dalam. Namun, sebelum pintu lift tertutup sepenuhnya, beberapa orang langsung masuk menyerbu. Tari, yang awalnya berdiri di tengah, terpaksa mundur ke belakang karena ruang yang semakin sempit.
Ketika ia mundur, tubuhnya tanpa sengaja menghimpit dada Yudha. Tari membeku sejenak, wajahnya terasa panas karena posisi ini membuat punggung nya menempel dengan Yudha m. Ia mencoba menjauh, tetapi ruang di lift terlalu sempit.
Melihat ekspresi Tari yang terlihat semakin kesal, Yudha mengambil inisiatif. Ia membalikkan posisi mereka, membuat Tari kini berada di dalam kurungan tangannya, terlindung dari orang lain yang ada di lift.
Tari mendongak, terkejut dengan tindakan Yudha. Posisi itu-dia yang terjebak di antara tubuh Yudha dan dinding lift-terasa sangat familiar baginya. Sejenak Tari terdiam, matanya melebar. Ini... adegan yang aku tulis di novelku! pikirnya terkejut.
Secara tidak sadar , senyum merekah perlahan muncul di wajah Tari. Ia mulai melamun, membayangkan betapa ajaibnya dirinya kini berada di situasi yang sebelumnya hanya ia anggap khayalan nya semata.
Yudha menatap Tari yang wajahnya berubah-ubah-dari cemberut, melamun, hingga tersenyum seperti orang yang gila. Keningnya berkerut bingung, tapi akhirnya sebuah tawa kecil lepas darinya, merasa geli melihat perubahan ekspresi Tari.
Tawa itu membuyarkan lamunan Tari. Ia segera mendongak, menatap Yudha dengan kesal. "Heh, apa yang lucu, hah?" tanyanya, memicingkan mata.
"Ah, nggak, kok," jawab Yudha cepat, mencoba mengendalikan tawanya. Ia memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan Tari yang seperti ingin membunuhnya.
Tari mendengus, tapi tidak bisa menahan senyumnya lagi. Entah kenapa, ia merasa menjadi tokoh utama dari novel yang ia tulis sendiri.
Ketika lift akhirnya berhenti di lantai mereka, 3 pria di depan mereka keluar terlebih dahulu, dan Tari segera mengikuti dari belakang, ia merasa pengap berada di ruangan sempit itu keluar, lalu ia kembali menggerutu tentang kebayanya.
Namun, ada sedikit senyuman terselip di wajahnya, yang tidak ia sadari sedang diperhatikan oleh Yudha.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Yudha sambil berjalan di sampingnya.
Tari mengangkat bahu, mencoba bersikap acuh. "Bukan urusanmu, lagian mulut-mulut aku, suka-suka aku dong mau senyum apa nggak,."
Yudha hanya tersenyum tipis mendengar jawaban sarkas dari wanita di sampingnya, setelah banyak menghabiskan waktu dengan tari, ia menjadi semakin memaklumi sifatnya, dan mulutnya yang berbicara suka tidak disaring dulu itu.
...----------------...
Jam menunjukkan pukul sembilan malam saat Tari dan Yudha akhirnya tiba di apartemen setelah acara pernikahan mereka.
Keduanya telah mengganti pakaian resmi mereka. Tari, seperti biasanya, mengenakan kaos oversize berwarna hitam dipadukan dengan celana training. Sementara itu, Yudha memilih kemeja putih yang santai dengan celana jeans pendek selutut berwarna navy.
Tari berjalan menuju pintu apartemennya, sementara Yudha mengikutinya dari belakang hingga mereka tiba di depan pintu.
Tari mulai mengangkat tangannya untuk memasukkan kode sandi pintu. Namun, baru saja ia mengetuk satu angka, tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
Ia menoleh ke belakang dan mendapati Yudha sedang memperhatikannya. Menyadari Tari menoleh, Yudha mengangkat alis, bingung.
"Ada apa?" tanya Yudha dengan nada tidak mengerti.
Tari mendesah pelan sebelum tersenyum tipis. "Kau keberatan untuk melihat ke arah lain sebentar? Kau lihat sendiri, kan, apa yang sedang kulakukan?" katanya dengan nada datar.
Yudha mengerutkan kening, tidak paham. "Tari, walaupun kita menikah hanya untuk rencana ini, pernikahan kita tetap sah, baik secara agama maupun hukum," ujarnya, masih bingung. Bagaimanapun, ia kini adalah suami Tari dan kemungkinan besar akan sering mengunjungi apartemen ini. Tentu wajar jika ia perlu tahu beberapa hal, termasuk kode sandi pintu.
Tari menatapnya tajam. "Sudah kubilang, jangan mencampuri urusan pribadiku. Dan, jelas sekali, ini termasuk di dalamnya. Lagi pula, bukankah kau akan menyewa apartemen di sebelah?" tukasnya dengan kesal, sambil menunjuk pintu apartemen yang terletak di sampingnya.
Yudha menghela napas, mencoba bersabar. "Apartemen itu belum siap huni, Tari. Belum ada perabotan memadai. Lagi pula, kau punya dua kamar, kan? Sesuai kesepakatan kita, aku akan tinggal di sini selama satu minggu," jelasnya sambil memijat pelipis. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya mengapa mereka harus berdebat hanya soal kode pintu-dan tepat di depan pintu pula.
Tari mengerucutkan bibirnya, enggan mengakui bahwa Yudha ada benarnya. "Terserah. Tapi ingat, setelah satu minggu, segera pindahlah ke sebelah. Aku tidak suka tinggal bersama orang lain terlebih khususnya kau," ujarnya ketus.
Tanpa menunggu respons, Tari memasukkan kode sandinya-enam digit yang ia selesaikan dengan cepat-lalu masuk ke apartemen dengan kakinya menghentak lantai, membiarkan pintu terbuka lebar.
Yudha hanya bisa tertegun melihat sikap tari yang semakin menjadi. "Dan aku harus bertahan dengan semua ini selama satu tahun lagi," gumamnya lirih.
Ia menghela napas panjang, lalu memegang knop pintu untuk membukanya lebih lebar, cukup untuk memasukkan koper berukuran sedang yang ia bawa.
...----------------...
Tari membuka pintu kamar mandi dengan langkah tergesa, merasa tidak sabar untuk segera membersihkan diri setelah seharian penuh dengan kegiatan yang menguras tenaga nya.
Ia menggantungkan handuk di dekat shower, lalu mulai membuka keran air hangat, membiarkan uap memenuhi ruangan kecil itu.
"Ah, akhirnya," gumamnya, merasakan air hangat mulai mengalir di kulitnya.
Namun, ketika ia berbalik untuk mengambil sabun yang terjatuh ke lantai, kakinya tanpa sengaja menginjak genangan air sabun yang licin.
"AAHHH!" serunya, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Dalam sekejap, ia terpeleset ke belakang. Tari mencoba meraih apa pun untuk menahan tubuhnya, tapi yang ada hanya udara kosong. Ia mendarat dengan pantat lebih dulu di lantai kamar mandi, membuat suara berdebam yang cukup keras.
"Aduh... sial!" keluhnya, meringis sambil mengusap punggungnya yang terasa nyeri.
Di luar kamar, Yudha menempelkan telinganya pada pintu, mencoba mendengar apa yang terjadi di dalam. Namun, tidak ada lagi suara yang terdengar, membuatnya semakin khawatir.
Setelah berpikir cukup lama, ia memutuskan membuka pintu kamar Tari, yang ternyata tidak terkunci.
Tap... tap... tap! Yudha melangkah cepat ke dalam, matanya memindai ruangan, tetapi Tari tidak terlihat di mana pun. Pandangannya kemudian tertuju pada pintu kamar mandi, di mana ia mendengar suara lirih, seperti rintihan kesakitan.
Tanpa pikir panjang, Yudha membuka pintu kamar mandi. Detik berikutnya, matanya membelalak, tubuhnya seolah membeku.
Di sana, Tari sedang berusaha bangkit, tangannya berpegangan pada besi penyangga di sisi dinding. Namun, tubuhnya masih dalam keadaan tanpa sehelai kain pun.
"AAAAHHHH!" teriak Tari histeris, suaranya menggema di seluruh apartemen.
Teriakan itu membangunkan Yudha dari keterkejutannya. Ia langsung memalingkan wajah dengan gugup, wajahnya memerah hingga ke leher. "A-aku minta maaf, Tari. Aku tidak sengaja! Aku mendengar teriakanmu dan khawatir terjadi sesuatu..." ucapnya tergagap, mencoba menjelaskan.
Namun, Tari semakin marah melihat Yudha yang tidak langsung keluar, hanya memalingkan wajah. "WOY, SIALAN! KELUAR, BODOH, MANUSIA TAK BEROTAK!" bentaknya keras. Ia mengambil botol sampo di dekatnya dan melemparkannya ke arah Yudha.
"Ughh!" Yudha meringis ketika botol itu mengenai mata kirinya. Ia memejamkan matanya sambil memegang bagian yang terkena.
Melihat Yudha kesakitan, Tari tiba-tiba merasa bersalah. Namun, perhatiannya teralihkan sepenuhnya sehingga ia tidak menyadari posisinya yang masih tidak stabil.
"Ughh!" Tari kembali terjatuh, tubuhnya menghantam lantai dengan keras.
Mendengar suara itu, Yudha membuka sebelah matanya, meski terlihat beberapa bulir air mata di mata kirinya. "Tari!" panggilnya panik, langsung bergegas menghampirinya.
Ia mengambil handuk yang tergeletak di lantai dan menyampirkan handuk itu dengan lembut ke tubuh Tari yang terduduk lemas, bersandar pada dinding kamar mandi.
"Kau bisa berdiri?" tanya Yudha cemas, melihat raut kesakitan di wajah Tari.
Tari hanya menggeleng lemah, tidak mampu berkata apa-apa. Melihat itu, Yudha tanpa ragu menopang punggungnya dengan lembut, sementara tangan lainnya memegang bagian belakang pahanya. Perlahan, ia mengangkat Tari ke pelukannya.
Tari memejamkan mata, terlalu lelah dan kesakitan untuk memprotes, meski ia sadar sepenuhnya bahwa tubuh polosnya kini berada dalam pelukan Yudha.
Dengan langkah hati-hati, Yudha membawa Tari keluar dari kamar mandi, lalu membaringkannya perlahan di atas kasur. Saat ia memastikan Tari nyaman, handuk yang hanya tersampir di tubuh Tari tersingkap, memperlihatkan tato bunga mawar di dada kirinya.
Yudha yang sempat terpaku segera menggelengkan kepala, mencoba mengembalikan fokusnya. Ia berjalan menuju lemari, mengambil selimut, dan kembali menyelimuti tubuh Tari dengan hati-hati.
Tari masih memejamkan mata, bukan karena tertidur, tetapi karena pusing yang melanda kepalanya. Namun, ia menyadari setiap hal yang dilakukan Yudha-tatapannya, perlakuan lembutnya, hingga cara ia menyelimuti tubuhnya dengan perhatian.
Hal ini membuat nya teringat dengan nenek dan Riana, hanya dua orang itu yang pernah memperlakukan nya lembut seperti ini.
Dan sekarang ia sangat merindukan Riana yang sudah cukup lama ia tidak lihat.
Tiba-tiba, Tari terisak. Isakan pelan itu membuat Yudha yang sedang membereskan kamar sontak berbalik.
"Hei, kenapa? Apa sakitnya sangat parah?" tanya Yudha dengan nada khawatir, segera duduk di tepi tempat tidur.
Namun, Tari tidak menjawab, hanya menangis semakin pelan. Melihat itu, Yudha spontan menunduk dan mencium kening Tari dengan lembut-kebiasaan lamanya saat merawat seseorang yang sedang sakit.
Isakan Tari perlahan mereda karena rasa terkejut nya dengan perlakuan Yudha, tetapi ia masih menatap Yudha dengan ekspresi tak terbaca. Ketika Yudha menggenggam tangannya dan mencium punggung tangannya, Tari langsung menarik tangannya dengan cepat.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya tajam, meski wajahnya merah.
Yudha tersentak. Ia berdiri dengan gugup, menggaruk tengkuknya. "Kau sudah tidak kesakitan?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
"Keluarlah," ucap Tari dingin, menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
"Kau yakin tidak apa-apa sekarang?" tanya Yudha lagi, ingin memastikan.
"AKU BILANG KELUAR! HARUSKAH AKU TERUS MENGULANG HAL YANG SAMA?" teriak Tari dari balik selimutnya.
Mendengar suara Tari yang tinggi, Yudha tidak membantah lagi. Ia berbalik dan berjalan keluar, menutup pintu dengan perlahan.
Tari menurunkan selimut dari wajahnya, menghela napas panjang. Telinganya memerah, dan dadanya masih berdebar kencang. Ia tidak tahu apakah itu karena rasa sakit yang dirasakannya atau karena perlakuan lembut yang dilakukan Yudha barusan.
"Aku harus menjauh darinya" Ujarnya lirih.