Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dibalik panah dan perlawanan
Haidar tiba di tempat memanah dan langsung terpana melihat Najiha yang sedang memanah dari atas kuda.
Gerakannya luwes, penuh percaya diri, dengan panah yang meluncur tepat mengenai sasaran. Aura dingin tapi anggun membuatnya terlihat seperti seorang ratu dalam pertempuran.
"Naj!!" teriak Haidar, mencoba menarik perhatiannya.
Namun, Najiha tidak menggubris. Ia terus menunggangi kudanya dengan kecepatan yang semakin bertambah, fokus pada aktivitasnya.
Merasa di abaikan, Haidar yang tidak ingin kalah ikut menunggangi kuda untuk mengejarnya. Tapi malang, ia kehilangan keseimbangan.
Dbukk!
Haidar jatuh keras ke tanah, menahan nyeri di kakinya. "Aghhh… Naj!!" teriaknya, suaranya penuh rasa sakit.
Najiha menghentikan kudanya dan menoleh ke belakang. Tatapan dinginnya berubah cemas saat melihat Haidar tergolek di tanah. Ia segera berbalik dan turun dari kudanya dengan cepat.
"Astagfirullah, Haidar! Lo kenapa sih? Kalau nggak bisa naik kuda, jangan sok-sokan!" sergahnya, suaranya terdengar tegas namun ada nada khawatir yang tersembunyi.
Haidar meringis, memegang kakinya. "Kaki gue keseleo… Aghhh, sakit banget, Naj!"
Najiha menghela napas panjang, berusaha menutupi kekhawatirannya. "Lo ini bener-bener nyusahin, tahu nggak?" ucapnya kesal, tapi tangannya dengan cekatan membantu Haidar berdiri.
Tanpa menunggu jawaban, Najiha memapah tubuh Haidar yang jauh lebih besar darinya ke atas kuda.
Haidar meronta kecil, wajahnya memerah karena malu. "Naj, nggak usah kayak gini! Harga diri gue hancur banget!"
"Shut up, Haidar," balas Najiha dingin. "Kalau lo terus ribut, gue jatuhin lo dari sini."
"Astaga, Naj… Gue cowok, lo tahu itu kan?" protes Haidar, meski ia memegangi tubuh Najiha erat-erat agar tidak jatuh.
"Kalau lo cowok, buktikan dengan nggak bikin masalah!" ucap Najiha sambil mengendalikan kuda dengan sigap.
Haidar hanya mendesah lelah, akhirnya menyerah pada situasi. "Gue cuma khawatir, Naj. Lo tiba-tiba nggak masuk kuliah tanpa kabar. Gue nggak bisa diem aja."
Najiha tak menjawab, hanya tersenyum tipis. Namun, senyum itu penuh ironi, seolah ia sedang mengejek kekhawatiran Haidar.
Setelah beberapa menit berkuda, Najiha menghentikan tunggangannya di dekat kursi panjang. "Turun!" ucapnya tegas.
Haidar perlahan turun sambil memegangi kakinya yang masih nyeri. "Awas aja kalau gue jatuh lagi," gumamnya.
"Masalah lo, bukan masalah gue," balas Najiha datar.
Mereka duduk di kursi panjang. Najiha memanggil seorang bapak yang menjual minuman di dekat sana. "Pak, air mineral dua, ya," katanya. Setelah menerima minuman, ia menyerahkannya pada Haidar. "Nih, minum."
"Thanks, Naj," ucap Haidar pelan sambil membuka botol.
Najiha meneguk airnya dengan santai, sebelum menatap Haidar dari sudut matanya. "Lo tahu gue di sini dari Kasih, kan?"
Haidar terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya… Dia yang kasih tahu gue."
"Terus, kenapa lo bolos kuliah?" tanya Haidar, mencoba mencari jawaban.
"Bukan urusan lo," jawab Najiha dingin, suaranya tegas namun terdengar sedikit getir.
Haidar menatapnya lama, mencoba membaca emosi di balik tatapan dingin itu. "Naj, lo tahu kan gue cuma peduli? Lo nggak harus ngadepin semuanya sendirian."
Najiha tertawa kecil, namun tawa itu tanpa kehangatan. "Peduli? Haidar, lo nggak ngerti. Kadang ada hal-hal yang lebih baik gue simpan sendiri."
Haidar terdiam, merasa tak berdaya. Namun, ia tidak ingin menyerah. "Naj… Kalau suatu hari lo butuh tempat buat cerita, lo tahu gue selalu ada, kan?"
Untuk pertama kalinya, Najiha menatapnya langsung, tatapan tajamnya melembut. "Gue nggak butuh pahlawan, Haidar. Gue cuma butuh orang yang ngerti gue tanpa ngasih ceramah."
Haidar tersenyum kecil meskipun hatinya berat. "Gue ngerti, Naj. Gue ngerti."
Mereka duduk dalam keheningan. Angin berhembus lembut, membawa sedikit kedamaian di tengah konflik emosi yang masih menggantung.
......................
"Yaudah... Lo pulang aja sana, gue mau sendiri," ucap Najiha sambil memalingkan wajahnya dari Haidar, menatap lurus ke depan dengan dingin.
Haidar memandangnya, mencoba mencari celah untuk tetap tinggal. "Biar gue anterin, Naj," ucapnya pelan, penuh niat baik.
Najiha menoleh, tatapannya tajam namun tetap tenang. "Nggak, gue nggak mau deket-deket sama yang bukan mahram lagi, apalagi satu motor. Abi gue bisa marah kalau tahu," jawabnya dingin, penuh ketegasan.
Haidar terdiam sejenak, menghela napas panjang. Ia paham prinsip Najiha, meskipun hatinya sedikit terasa berat mendengarnya.
"Hmm… Baiklah kalau gitu. Gue balik ya, Naj," ucap Haidar akhirnya, mencoba untuk tidak memaksakan dirinya.
Najiha hanya mengangguk kecil. "Hmm," gumamnya singkat, tanpa menatap Haidar lagi.
Haidar berdiri perlahan, menatap Najiha untuk terakhir kali sebelum pergi. "Hati-hati ya, Naj," katanya lirih. Namun, ia tahu Najiha tidak akan membalas ucapan itu.
Tanpa menunggu lebih lama, Haidar melangkah menjauh, meninggalkan Najiha yang tetap duduk diam, terhanyut dalam pikirannya sendiri.
Begitu punggung Haidar menghilang dari pandangan, Najiha menarik napas panjang, merasakan sedikit kelegaan tapi juga kesepian.
"Kenapa dia selalu bikin semuanya terasa lebih rumit…" bisik Najiha pada dirinya sendiri, sebelum kembali memandang langit yang mulai memerah di ufuk barat.
......................
Langit yang mulai senja memancarkan semburat jingga keemasan di ufuk barat.
Najiha mengendarai motornya dengan tenang menuju apartemennya. Namun, ketenangan itu sirna ketika tiga motor menghadangnya di tengah jalan yang sepi.
"Pasti cewek ini pacarnya Reyhan, kan?" salah satu dari mereka berkata sambil turun dari motor, menatap Najiha dengan pandangan meremehkan.
Najiha, tanpa sedikit pun rasa takut, mematikan mesinnya dan turun dari motor. la berdiri tegap, tatapannya tajam menusuk.
"Ngapain kalian cegat saya, hah?!" suaranya dingin namun tegas, membuat ketiga orang itu sedikit terkejut dengan keberaniannya.
"Wiih, keren juga nih cewek," ujar salah satu dari mereka sambil terkekeh, namun nada suaranya penuh ejekan.
"Hmm... Apa gara-gara dia, tadi malam Dion dihajar habis-habisan sama Reyhan?!" tanya salah satu dari mereka dengan seringai licik, berusaha memprovokasi.
Saat situasi memanas, tiba-tiba terdengar suara lantang dari kejauhan. "Hei, kalian!!!"
Mereka semua menoleh, melihat seorang pemuda dengan jaket kulit hitam berjalan cepat mendekati mereka. Itu adalah Rio.
"Jangan ganggu dia!!" bentak Rio dengan suara penuh wibawa.
Salah satu dari mereka tertawa kecil, lalu melipat tangannya di dada. "Hahaha... Ternyata ada juga pahlawan kesiangan. Lo Rio, kan? Yang dikeluarin dari Reylios?" ucapnya dengan nada mengejek.
"Udah nggak usah sok jago. Mendingan lo gabung ke geng kita aja. Bakal lebih seru!" kata yang lain dengan arogan.
Rio mengepalkan tangan, emosinya tak bisa dibendung. "Kurang ajar lo ya!!" teriaknya sambil melayangkan pukulan keras ke salah satu dari mereka.
Perkelahian pun tak terhindarkan. Rio berusaha melawan mereka bertiga sekaligus, namun jelas ia kewalahan. Salah satu pukulan telak mengenai tubuhnya hingga ia terjatuh.
Melihat Rio yang kesulitan, Najiha melangkah maju dengan keberanian luar biasa. "Woy, pengecut!!! Beraninya cuma main keroyok. Kalau memang jago, maju satu-satu lawan gue!" tantangnya dengan suara lantang.
Salah satu dari mereka terkekeh, meremehkan. "Hahaha... Sok keren lu, Naj. Rio aja kalah sama kita, apalagi lu. Cewek!"
Najiha menyeringai dingin. "Ayo sini buktikan. Gue juga nggak sabar buat nonjok muka lo pada!" ucapnya dengan penuh keyakinan.
"Jangan, Naj! Biar gue yang hadapin mereka!" Rio mencoba bangkit, meski tubuhnya lemah.
Namun, Najiha tidak peduli. Dengan keberanian dan kemampuan bela dirinya, ia menghadapi ketiga orang itu.
Perkelahian sengit pun berlangsung, dan meskipun mereka meremehkannya, Najiha berhasil melumpuhkan satu per satu dengan gerakan yang cepat dan akurat.
Rio yang terkejut melihat kemampuan Najiha, segera mengeluarkan ponselnya. Dengan napas terengah-engah, ia menelpon Dendi. "Halo, Den... Kasih tahu Haidar soal ini, cepat!"
Setelah beberapa menit yang melelahkan, ketiga anak geng itu tergeletak di tanah, mengerang kesakitan. Najiha berdiri tegap, meski nafasnya terengah-engah. la menyeka keringat di dahinya, lalu menatap mereka dengan dingin
"Hahaha... Segitu aja kekuatan kalian? Payah," ucap Najiha dengan nada meremehkan.
Rio menatap Najiha dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. "Naj... Lo gila, tahu nggak?"
najiha hanya melirik Rio dengan dingin, tanpa menjawab sepatah kata pun.
Beberapa menit kemudian, suara deru motor terdengar mendekat. Haidar dan Dendi tiba di tempat itu. Mereka langsung syok melihat kondisi sekitarnya.
Anak-anak geng motor yang tadi mengganggu Najiha tergeletak di tanah, berusaha bangkit untuk kabur dengan tubuh penuh memar.
Pandangan Haidar terpaku pada Najiha yang berdiri di dekat motornya dengan bibir sedikit berdarah.
"Najiha!?!" Haidar berlari menghampirinya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Tanpa berkata banyak, ia meraih wajah Najiha dengan lembut, mengelap darah di bibirnya dengan hati-hati menggunakan tisu yang ia keluarkan dari sakunya.
Sesekali, Haidar meneguk saliva, pikirannya mulai liar melihat bibir Najiha yang terlihat kenyal.
"Lo ini, Naj! Ngapain coba lawan mereka sendirian?!" ucap Haidar dengan suara penuh kecemasan.
"Hmmm... Gue bisa sendiri," jawab Najiha dingin, mengambil tisu dari tangan Haidar tanpa sedikit pun rasa terima kasih.
Haidar memandang Rio dgn tatapan tajam mencekam, namun males untuk berbicara.
Rio, yang merasa diabaikan, ikut tersulut emosinya. "Haidar, lo denger ya! Gue udah coba ngelindungin najiha, tapi gue di keroyok mereka!" ucapnya dengan nada kesal.
Haidar menatap Rio tajam lalu berucap karena geram. "Lo ini Rio, gimana sih? Nggak becus banget ngelindungin cewek!"
Rio mendekat, tidak terima dengan tuduhan itu. "Lo pikir gue nggak ngelawan? Kalau lo yang ada di posisi gue tadi, belum tentu lo lebih baik, Dar!"
"Udah, udah!" potong Dendi sambil berdiri di antara mereka. "Kalian ini dulunya sahabat, malah ribut begini. Bukannya kerja sama, malah saling salahin."
Najiha, yang sudah kehilangan kesabaran dengan drama mereka, memutar matanya. "Urus aja masalah kalian berdua. Thanks bantuannya. Gue mau pulang," ucapnya dingin sebelum menaiki motornya.
"Naj, lo masih terluka!" seru Haidar dan Rio hampir bersamaan, namun Najiha tidak peduli. Ia menyalakan motornya dan melaju pergi tanpa menoleh ke belakang.
Melihat Najiha pergi begitu saja, Haidar segera menaiki motornya dan mengejarnya. "Naj, tunggu! Lo nggak bisa pulang dalam kondisi kayak gini!" serunya, mendekati Najiha yang melaju di depan.
Saat berhasil sejajar dengannya, Haidar berbicara dengan nada khawatir. "Naj, ayo kita ke rumah sakit. Gue nggak bisa biarin lo kayak gini!"
Najiha melirik Haidar dengan tatapan dingin, lalu berkata tanpa emosi, "Lebay. Luka kecil aja pake ke rumah sakit. Gue nggak selemah itu, Haidar."
"Naj, ini bukan soal lemah atau nggak. Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa!" balas Haidar, tapi Najiha tetap melaju, tak menggubrisnya sedikit pun.
Haidar hanya bisa menghela napas panjang, merasa frustasi. Tapi di balik rasa cemasnya, ada kekaguman pada keberanian Najiha, meski ia tahu keberanian itu juga sering membawa masalah.