“Regina Meizura Carlton sebenarnya sudah mati. Namun, tuhan memberikannya kesempatan kedua untuk membalas dendam*
Bagaimana rasanya dikhianati oleh suami, adik, ibu tiri dan juga ayah yang selalu memihak pada mereka. Hingga kematian merenggut Regina dan kesempatan kedua kali ini dia tidak akan melewatkan kasih sayang dari Axel Witsel Witzelm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleena Marsainta Sunting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong Temanku
Jam pelajaran berlalu dengan cepat. Bahkan saat dikelas aku juga menjauh dari Minna dan dua dayangnya.
Terlihat Minna memicing kesal padaku. Dia benar-benar memikirkan cara bagaimana bisa mendekatiku juga memberikanku pelajaran.
Sampai saat jam usai dan karena sudah berakhir di jam makan siang kebanyakan dari mahasiswa mampir ke kantin dulu sebelum mereka pulang.
“Beneran mau traktir aku kan?” kata Renata saat kakinya berhenti di depan kantin.
“Iya dong, kamu mau makan apa aja. Aku yang traktir. Bungkus juga boleh!” Kataku tanpa ragu menggandeng tangannya terlebih dulu.
Rena tersenyum dan bersiap menarikku masuk ke kantin.
“E–eh, mau ngapain kesini,” kataku.
“Katanya mau traktir aku, ayok!” katanya sedikit menyeretku dan Rena ikut masuk ke dalam antrian untuk memilih makanan.
Aku membiarkannya padahal tadi aku akan mengajaknya makan bersama aku diluar kampus lalu aku akan mengantarkan pulang.
Aku tersenyum melihat Rena yang semangat dan gesit memilih beberapa makanan dan memasukkan ke dalam kotak makannya.
Tata cara makan di kantin kampusku adalah semua mahasiswa mengambil kotak makan dan memilih juga menaruh makanannya ke kotak tersebut lalu melakukan pembayaran.
Aku mengangguk saat Rena menunjuk beberapa makanan yang dipilihnya.
“Kamu mau makan apa? Aku ambilkan juga,” kata Rena penuh antusias.
“Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan di luar, tapi ya sudahlah kamu pilih makan disini dulu. Habis dari sini kamu ikut aku ya,” kataku, aku gak mungkin memilih makanan karena aku yakin sebentar lagi Axel akan menghubungiku.
“Waaah, benarkah?” Aku mengangguk pasti.
“Jadi, sisakan perutmu. Kita akan jalan-jalan habis ini,” bisikku memberitahu dan Rena mengangguk dengan mata penuh binar.
Di sudut meja sudah terlihat Minna, Alda dan Jessy mengingat pembicaraan kami.
“Baiklah, kalau begitu aku cari meja ya. Kamu bayar ini dulu!” Kata Rena lagi, sekarang dia sudah tidak terlihat malu-malu seperti di awal pertemuan kami tadi.
Aku benar-benar bersyukur mendapatkan teman baru seperti dia. Dia terlihat lugu dan baik seperti diriku yang dulu.
Aku melihat Rena mengangkat kotak makannya selagi aku berjalan ke counter untuk melakukan pembayaran. Dan saat di depan counter aku memberitahu pesanan yang diambil Rena.
Kemudian ponselku berdering. Aku tersenyum. Ini pasti Axel yang menelepon.
Aku mengeluarkan ponsel dan meletakkan di telinga ketika aku membuka dompet untuk membayar apa yang di pesan Rena.
“Iya, sebentar ya, aku akan keluar setelah …,” belum selesai aku melanjutkan ucapan aku mendengar suara nyaring seseorang yang terjatuh disertai dengan bunyi dari kotak makan aluminium yang terjatuh di lantai.
Aku menoleh dan membulatkan mataku. Aku melihat Renata sudah tersungkur kembali di lantai dengan makanan yang sudah memenuhi kepala juga bajunya.
“Aggh!! Tidak!” Teriakku segera berlari ke arah Rena yang terlihat sedang di manipulasi oleh Alda dan Jessy.
Bagaimana bisa? Aku benar-benar ceroboh. Aku seharusnya tahu kalau ada mereka disini, berarti akan ada hal yang buruk terjadi.
“Ada apa, Regi?” suara Axel manjadi cemas ketika mendengar aku berteriak.
“Sayang, tolong aku, aku ada di kantin!” Kataku segera memasukkan ponselku, tapi lupa mematikannya.
“Renata!!” Aku segera berjongkok dan membantunya, kemudian aku menatap Alda dan Jessy dengan tajam.
“Bukan salah kami, dia saja yang jalan gak pake mata, Reg. Sudah tahu ada kami, kami ini gede loh … masa dia ga lihat. Mentang-mentang bawa makanan setumpuk,” ejek Alda sambil mencibir Rena yang tertunduk dan malu.
“Iya, lagian dia norak banget sih. Mentang-mentang ada yang bayarin jadi dia ambil makanan segitu banyak. Susah memang kalau jiwa-jiwa orang miskin dan kelaparan,” tambah Jessy semakin mengolok-olok Rena.
Aku melirik dan terlihat Rena begitu sedih. Aku gak mau dia salah paham. Aku gak mau kalau Rena berpikir kalau aku berbuat baik padanya karena ingin mempermainkan juga mempermalukan dia seperti ini.
Mereka benar-benar jahat. Bahkan merusak mental seseorang seperti itu.
“Sudahlah Kak, ngapain juga sih Kak Regina dekat-dekat dengan orang seperti dia. Rugi Kak dan bikin malu aja. Dia ini gak selevel dengan kita!” Tambah Minna yang benar-benar sengaja berkata dengan lantang sampai semua orang yang berada di dalam kantin saling berbisik dengan argumentasi menyudutkan.
Kemudian Minna maju dan menarik tanganku, “Ayo, Kak, kita pergi saja. Nggak usah ngurusin orang jelek dan miskin itu,” katanya tambah sarkas mengejek Renata.
Aku berdiri dan menghempaskan tangan Minna.
“Apalagi sih yang kakak mau? Sebentar lagi Nick datang menjemput kita, Kak. Kakak gak usah mikirin orang miskin itu,” kata Minna yang terbawa emosi karena aku menghempaskan tangannya.
Minna menunjuk-nunjuk Renata yang terlihat semakin terpuruk. Rena bahkan tidak berani mengangkat kepalanya. Dia berdiri tertatih dengan rasa malu dan penghinaan yang diberikan oleh tiga wanita ulet keket itu.
“Rena, tunggu aku!” Kataku mencoba menahan kepergian Rena yang disertai dengan deraian air mata.
“Kakak sudahlah, kita pergi saja sebentar lagi Nick menjemputmu,” kata Minna masih bersikeras dan kembali menarik kembali tanganku.
“Lepaskan!!” Kataku berteriak dan tanganku secara tidak sengaja malah menampar wajah Minna.
“Kakak! Apa sih kak? Kakak tega? Malah membela orang luar, bukannya aku. Aku ini adik Kakak Regi,” kata Minna malah semakin berteriak di hadapan semua orang seolah mencari perhatian.
“Diam. Aku bilang, kamu jangan ganggu dia lagi. Dia itu gak pernah ganggu kamu kan? Ngapain kamu masih saja membuat orang lain susah. Dasar wanita tidak tahu diri. Jangan pernah sekali lagi kamu panggil aku kakak, aku gak sudi.”
“Keluargaku keturunan keluarga terhormat, sudah sepantasnya wanita terhormat tidak pernah melakukan hal seperti ini. Sungguh memalukan!!” Kataku masih tetap dengan nada keras.
Aku benar-benar membenci sikap Minna yang selalu saja meremehkan seseorang.
Aku segera berbalik dan mengejar Rena yang sudah berlari keluar sambil menangis.
“Renata, tunggu, Renaaa …,” aku berteriak dan terus mengejarnya.
Aku benar-benar bisa merasakan rasa malu dan kesedihan yang dirasakan Rena saat ini.
Bruk!! Aku menabrak seseorang dan terhuyung karena mengejar Rena. Aku jadi lemas sendiri karena gelisah belum bisa mengejar Rena.
“Ma–maaf, aku gak lihat!” Kataku spontan membungkuk beberapa kali lalu menghindar dan akan pergi.
Aku tidak melihat siapa orang yang kutabrak tadi. Tiba-tiba saja dia mencengkram tanganku.
“Tenanglah aku sudah menyuruh Billy untuk mengejarnya,” saat aku menyadari suara itu aku segera berbalik, “Axel … huhuhu … tolong temanku dulu,” kataku malah jadi menangis tersedu saat mendengar suara bariton milik Axel.
Aku menghamburkan diri ke dalam dekapannya. Menerima pelukan hangat dari Axel yang terlihat cemas. Dan dari kejauhan kedua tangan Minna terkepal melihat adegan dramatis tersebut.