Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Teh Linda sudah membawa kue-kue Laila, tapi di rumah Laila masih menggoreng pisang dan mengukus bolu pisang. Adanya bantuan dari Arman sangat mempercepat pekerjaannya dengan jumlah yang cukup banyak.
Arman datang lagi untuk membantu Laila, laki-laki itu merasa sangat dibutuhkan Laila. Padahal itu hanya perasaannya saja yang ingin dibutuhkan perempuan itu.
"Teh Linda meminta dikirim kue lagi." Ucap Arman sembari bergerak menyiapkan setelah membaca pesan dari Teh Linda.
"Banyak banget ya yang beli?" kadang Laila masih tidak percaya.
Arman tersenyum.
"Kamu mau ikut ke sana untuk melihat antusias orang-orang membeli jualan kamu."
Laila segera menggeleng.
"Aku jalan dulu."
Laila hanya mengangguk.
Sudah tidak ada yang digoreng atau dikukus Laila lagi. Persediaan pisangnya pun sudah habis. Beberapa persediaan bahan-bahannya juga, Laila harus segera ke pasar.
Arman kembali lagi untuk mengambil sisanya dan Laila menemai kedua anaknya tidur. Setelahnya baru dirinya bisa membersihkan teras rumah dan yang lainnya. Menunggu kepulangan Arman dan Teh Linda, Laila kembali mengingat obrolannya di dapur bersama Teh Linda.
Menikah, sejak awal tidak pernah ada dalam keinginannya untuk menikah muda. Hanya karena paksaan Ayahnya sebelum meninggal. Sebab Ibunya sudah lebih dulu meninggal. Mengingat pernikahan pertama dan keduanya gagal, semakin membuat Laila tidak ingin menikah lagi. Terlebih ada Salwa dan Halwa yang harus dibesarkannya. Laila ingin fokus menyenangkan dirinya sendiri dan kedua anaknya terlebih dahulu.
Tiga motor datang beriringan, Arman, Teh Linda dan Pak Dadang. Karena itu sudah larut malam, Teh Linda dan Pak Dadang langsung pamit pulang. Sementara Arman menutup kompor itu dengan terpal. Tapi sejauh ini kampung Telaga merupakan kampung yang aman, tapi meski begitu tetap harus waspada.
Laila menghitung banyaknya uang yang dibawa pulang Teh Linda. Laila pun segera membagi-baginya. Tidak mengambilnya sendiri. Laila pun ingat ada gas yang harus digantinya pada Arman. Atau uang sewa untuk bantuan Arman.
Walau terasa sangat lelah tapi Laila selalu mengusahakan bersyukur dengan tetap melaksanakan shalat disepertiga malamnya. Karena itu sudah merupakan kebutuhannya.
Keesokan paginya.
Sudah dua kali Teh Linda mendatangi rumah Laila tapi tidak ada satu pun di sana. Ini yang ketiga kalinya dan barulah mereka bertemu di depan rumah.
"Kamu dari pasar?."
"Iya, Teh."
"Kenapa tidak bilang? kalau begitu bisa aku antar."
"Tidak apa-apa, Teh."
Salwa membuka pintu dan ikut membantu Ibunya menaruh beberapa barang bawaan yang kecil-kecil.
"Aku ke sini mau menyampaikan pesan Arman. Katanya besok ada yang pesan kue kacamata sama kue nagasari masing-masing tiga puluh. Sama bolu pisangnya lima loyang."
"Alhamdulillah."
"Siapa yang pesan?."
"Aku juga tidak tahu, tapi Arman memintaku mengantarnya ke pabrik."
"Oh gitu."
"Besok pagi aku ambil ya, Laila."
"Iya, terima kasih banyak, Teh. Oh iya ini uang yang semalam."
"Terima kasih, Laila."
"Saya yang terima kasih, Teh
Tidak henti-hentinya Laila berucap syukur. Semuanya terasa sangat dipermudah.
Mbah Poni sudah datang membawa lima tandan pisang Uli berukuran besar. Laila mendapat harga murah karena memang harga pisang sedang turun.
"Bu, aku bantu kupas pisangnya, ya?."
"Iya, Kak. Minta tolong kulitnya taruh di baskom."
"Oke, Bu."
Laila sibuk dengan pekerjaan yang lain dengan mata dan telinga yang terus mengawasi anak-anaknya.
"Aku senang celengan sudah mau penuh sama uang seribuan." Ucap Halwa.
"Iya, nanti kita minta Ibu beli celengan yang lebih besar lagi. Supaya uangnya tambah banyak." Timpal Salwa.
"Kita harus terus rajin berdoa, kalau uang Ibu sudah terkumpul banyak kita bisa sekolah." Lanjut Salwa.
"Iya, Kak."
"Memangnya Kakak mau sekolah?."
"Mau dong, Kakak mau jadi perancang busana."
"Perancang busana apa, Kak?."
Salwa pun menjelaskan apa yang diketahuinya tentang perancang busana. Orang yang suka menciptakan pakaian-pakaian. Informasi itu didapatkannya kala mendengar guru lesnya bercerita.
Laila tersenyum sembari mengaminkan apa yang menjadi keinginan kedua anaknya. Semoga saja nanti menjadi kenyataan.
Malam ini Laila bisa santai sebelum nanti pagi mulai bekerja lagi. Ada banyak rencana yang mulai memenuhi kepalanya. Tapi Laila juga harus realistis dengan kehidupan sekarang ini.
Di tengah pikirannya yang sibuk, pintu rumah ada yang mengetuk dan ternyata Teh Wulan dan Mang Wawan yang datang bertamu.
"Jualan kamu sudah maju, kalau tidak mau pergi dari sini, bayar saja rumahnya." Ucap Teh Wulan langsung.
"Berapa?." Tanya Laila.
"50 jt sudah sama tanahnya."
Laila terdiam, uang sebanyak itu memang tidak ada. Tapi membayar rumah ini salah satu keinginan terbesar Laila. Supaya tidak berurusan lagi dengan Teh Wulan dan Mang Wawan.
"Sertifikat rumahnya bisa kita urus menjadi nama kamu. Kalau sekarang masih namaku."
"Untuk sekarang uang itu tidak ada, tapi akan saya usahakan." Laila menyanggupi.
Hari itu datang lagi dan dirinya benar-benar tidak siap. Karena uang sebanyak itu akan didapatnya dari mana.
Semangat pagi, segera menyelesaikan pesanan pagi ini dengan semangat empat lima. Mengais rezeki setiap rupiahnya penuh syukur. Teh Linda telah datang guna mengantar pesanan. Teh Linda juga memberitahu kalau ada pesanan lagi untuk minggu depan.
"Alhamdulillah, Teh."
"Oh, iya. Yayuk mau ikut bantu-bantu kamu kalau lagi banyak pesanan seperti kemarin, boleh tidak?."
"Sudah pulang ke sini Teh Yayuk nya?."
"Belum, baru minggu depan. Ibunya masih pemulihan."
"Tidak apa-apa kalau mau membantu. Datang saja langsung ke sini."
"Iya, nanti aku bilang."
"Pesanannya sudah siap aku antar 'kan?."
"Sudah, Teh."
Teh Linda menaruh kue-kuenya di atas motor kemudian pamit.
*****
Setelah beberapa hari absen, Arman baru terlihat lagi. Pria itu juga sibuk dengan pekerjaannya di pabrik. Itu pun hari ini sebenarnya sangat sibuk tapi karena sudah janji mau mengantar pesanan bolu pisang untuk temannya.
"Mobil Pak Arman sangat bagus" ucap Salwa sembari memegangi mobil. Ya, hari ini Arman berpakaian formal dan membawa mobil sedan berwarna hitam untuk pertama kalinya.
"Kamu nanti duduk di depan sama Pak Arman."
"Mau...mau..." Salwa berantusias.
"Aku juga mau di depan." Sahut Halwa merengut.
"Iya, nanti kalian duduk di depan."
Laila cukup terhipnotis dengan penampilan Arman kali ini. Semakin tampan dari biasanya.
"Sudah semua?."
"Sudah."
"Sudah dipotong-potong juga 'kan?."
"Iya."
"Oke, kita jalan."
Laila duduk sendiri di bangku belakang, menyaksikan kedua anaknya yang begitu antusias dengan mobil Arman.
"Wangi mobil ya, Bu?." Celetuk Halwa.
"Iya."
"Aku juga mau punya mobil." Celetuk Salwa.
"Aku juga mau, Kak." Sahut Halwa.
Kedua anak itu begitu sibuk bicara tentang mobil, sedangkan Arman sibuk mencuri pandang pada Laila melalui kaca spion. Walau penampilannya sangat sederhana namun kecantikan tetap terpancar. Perasaan Laila sendiri begitu berisik seperti ada yang menabuh gendang.
Bersambung.....