Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangkit dari Luka
Ibu Ryan mendadak harus pergi untuk urusan mendesak, Elma menawarkan diri untuk tinggal dan merawatnya. Elma berdiri di dekat jendela kamar Ryan, ponselnya terpegang erat di tangan. Ia menghubungi orang tuanya dengan suara yang sedikit bergetar.
“Assalamualaikum, Ibu, Ayah,” Elma memulai, suara lembut tetapi penuh tekad. “Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan. Saya menemukan Ryan terluka parah tadi malam, dan saya ingin tinggal bersamanya sampai ia pulih sepenuhnya.”
Suara Ibu di ujung telepon terdengar sedikit terkejut, namun penuh perhatian. “Waalaikumsalam, Nak. Kamu yakin bisa menangani ini?”
“Aku akan tetap menjaga tanggung jawab di rumah dan sekolah, Ibu. Aku hanya ingin memastikan Ryan mendapatkan perawatan terbaik hingga ia benar-benar pulih,” Elma menjelaskan dengan mantap.
Ayahnya kemudian bergabung dalam pembicaraan. “Elma, kamu tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi kami percaya padamu, selama kamu tidak mengabaikan kewajibanmu yang lain.”
“Terima kasih, Ayah,” Elma menjawab dengan suara lembut. “Saya tidak akan melewatkan tanggung jawab. Saya hanya ingin membantu Ryan sekarang, dan saya tahu kalian mendukung saya.”
Setelah beberapa detik, suara Ayah terdengar lembut di ujung telepon. “Jaga dirimu, Nak. Kami percaya kamu akan melakukan yang terbaik.”
“Terima kasih, Ayah, Ibu. Saya akan menjaga semuanya dengan baik.” Elma menutup teleponnya dengan hati yang tenang. Ia kembali ke sisi Ryan, keyakinannya semakin kuat untuk membantunya sembuh sepenuhnya. Setelah meminta izin dari orang tuanya, ia memutuskan untuk tetap di sisi Ryan sampai ia pulih.
Cahaya pagi perlahan merembes melalui jendela kamar Ryan, menyentuh wajahnya yang pucat. Tubuhnya terbungkus perban, dan napasnya masih berat, mencerminkan perjuangan yang baru saja ia lewati. Luka-luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun Elma telah berusaha melakukan yang terbaik dengan bantuan lentera cahayanya.
Di sisi tempat tidur, Elma duduk dengan cemas. Matanya tidak pernah lepas dari Ryan yang masih tidak sadarkan diri. Malam sebelumnya adalah malam yang panjang, penuh dengan kekhawatiran dan ketegangan.
Elma akhirnya terlelap dalam posisinya yang duduk di kursi kecil di samping tempat tidur Ryan. Kepalanya tertunduk lembut di atas tangan yang bersandar pada lututnya. Wajahnya terlihat lelah, tetapi penuh tekad. Cahaya lentera yang setia bersinar lembut di dekatnya, membantu menyembuhkan luka-luka Ryan dengan perlahan.
Sore itu, ketika Ryan akhirnya membuka matanya, ia menatap langit-langit kamar yang tak asing baginya. Ingatannya samar, tetapi rasa sakit di tubuhnya mengingatkan pada apa yang telah terjadi. Ia mencoba duduk, tetapi tubuhnya terlalu lemah.
“Ryan!” suara Elma memecah keheningan. Ia segera mendekat, membantunya bersandar. “Jangan terlalu memaksakan diri. Kau belum sepenuhnya sembuh.”
Ryan menatap Elma, matanya penuh kebingungan. “Bagaimana aku bisa sampai di sini?” tanyanya pelan.
Elma tersenyum tipis, tetapi ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Aku menemukanmu di taman tadi malam. Kau terluka parah, Ryan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku... aku takut kau tidak akan selamat.”
Ryan terdiam, memutar kembali ingatan tentang dimensi bayangan dan pertarungannya melawan kegelapan dirinya sendiri. Ia tidak ingin Elma tahu terlalu banyak. “Aku hanya... terjatuh saat latihan,” jawabnya singkat, meskipun jelas ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Elma menatapnya curiga, tetapi ia tidak memaksa. “Yang penting sekarang adalah kau beristirahat. Aku akan memastikan kau pulih sebelum minggu depan.”
Malam itu, suasana di kamar Ryan terasa sunyi, hanya diiringi suara napasnya yang berat. Elma duduk di sisi tempat tidur, membersihkan luka di lengan Ryan dengan hati-hati. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tetapi karena rasa bersalah yang terus menghantui pikirannya.
“Maafkan aku, Ryan,” bisik Elma tanpa sadar. “Kalau saja aku lebih kuat, mungkin aku bisa mencegah ini terjadi.”
Ryan membuka matanya perlahan, mendengar suara itu. “Bukan salahmu, Elma,” katanya pelan. “Aku yang memilih jalan ini. Aku tahu risikonya.”
Elma berhenti sejenak, menatap Ryan dengan mata yang penuh rasa peduli. “Tapi aku tidak ingin kau terluka seperti ini lagi. Aku tidak tahu apa yang kau hadapi, tapi aku ingin ada di sisimu. Aku ingin membantumu, Ryan.”
Ryan tersenyum lemah. “Kau sudah membantuku lebih dari cukup. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak menemukanku tadi malam.”
Elma terdiam, merasa jantungnya berdebar. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa sukanya lebih lama. “Ryan, kau tahu...” Elma menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku... aku peduli padamu lebih dari sekadar teman. Aku takut kehilanganmu.”
Ryan terkejut mendengar kata-kata itu. Ia menatap Elma, mencari kata-kata yang tepat, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk merespons dengan jelas. “Elma, aku...” kata-katanya terputus, dan ia kembali terbaring lemah. Elma mengerti bahwa ini bukan waktu untuk membahas perasaannya lebih jauh.
Ia menggenggam tangan Ryan dengan lembut, berusaha menyalurkan ketenangan. Lentera di dekatnya bersinar lembut, tetapi cahaya itu mulai goyah. Elma menyadari bahwa ia belum cukup kuat untuk menggunakan kekuatan penyembuhannya dengan maksimal. Rasa frustrasi mulai menyelimuti dirinya, tetapi ia tidak membiarkan itu menghentikannya.
“Aku akan mencoba lagi,” gumam Elma pada dirinya sendiri. Ia menutup matanya, memusatkan pikirannya pada lentera di tangannya. Cahaya lentera perlahan memancar lebih terang, menyelimuti tubuh Ryan. Beberapa luka mulai terlihat memudar, tetapi tenaga Elma juga terkuras dengan cepat. Napasnya mulai tersengal, tetapi ia menolak berhenti.
Saat itu, udara di ruangan tiba-tiba berubah. Cahaya lentera Elma mulai bergetar, dan dari sudut ruangan, muncul sosok wanita berjubah putih. Elma tersentak, tetapi tidak terkejut sepenuhnya. Wanita itu menatapnya dengan ekspresi tenang.
“Elma,” katanya dengan suara lembut tetapi tegas. “Apa yang kau lakukan adalah bentuk kepedulian yang luar biasa. Tetapi kau harus ingat, kau belum menguasai kekuatan cahaya sepenuhnya, terutama untuk penyembuhan. Apa yang kau lakukan sekarang hanya permulaan. Jika kau tidak segera melatihnya, kau tidak akan siap saat benar-benar membutuhkannya.”
Elma berdiri, mencoba menjelaskan. “Aku tahu. Tapi Ryan membutuhkanku sekarang. Aku tidak bisa meninggalkannya seperti ini.” Tatapannya menjadi lembut, tetapi penuh tekad. “Selain itu, minggu depan adalah minggu terakhir sebelum ujian kelulusan. Aku ingin tetap ada di sisinya, setidaknya sampai ia cukup kuat.”
Wanita berjubah putih mengamati Elma dengan tatapan penuh arti. “Kau memiliki hati yang kuat, Elma. Tapi ingat, rasa pedulimu juga bisa menjadi kelemahan jika kau tidak berhati-hati. Jangan biarkan perasaan mengalihkanmu dari tanggung jawab yang lebih besar.” Setelah mengatakan itu, ia perlahan menghilang, meninggalkan ruangan dalam keheningan yang kembali.
Elma kembali duduk, menggenggam tangan Ryan dengan erat. Air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. “Aku tidak akan membiarkanmu sendirian, Ryan. Tidak sekarang, tidak pernah,” bisiknya pelan, memastikan dirinya tetap kuat meskipun hatinya dipenuhi kecemasan. Ia memandang wajah Ryan yang tenang dalam tidurnya, merasa bahwa beban yang ia pikul kini menjadi lebih dari sekadar tanggung jawab, tetapi juga perasaan yang tak bisa ia hindari.