"Aku dimana?"
Dia Azalea. Ntah bagaimana bisa ia terbagun di tubuh gadis asing. Dan yang lebih tidak masuk akal Adalah bagaimana bisa ia berada di dunia novel? Sebuah novel yang baru saja ia baca.
Tokoh-tokoh yang menyebalkan, perebutan hak waris dan tahta, penuh kontraversi. Itulah yang dihadapai Azalea. Belum lagi tokoh yang dimasukinya adalah seorang gadis yang dikenal antagonis oleh keluarganya.
"Kesialan macam apa ini?!"
Mampukah Azalea melangsungkan kehidupannya? Terlebih ia terjebak pernikahan kontrak dengan seorang tokoh yang namanya jarang disebut di dalam novel. Dimana ternyata tokoh itu adalah uncle sang protagonis pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMB! (7)
Selamat membaca
*****
Aldrick memberikan satu buah Ipad pada Auris. Ia juga memberikan beberapa peraturan dan hal-hal yang tidak ia sukai.
"Mulai besok jangan pakai celana. Saya tidak suka."
Auris mengangguk, "Baik pak."
"Kita hanya berdua, jangan terlalu formal Auris."
Auris mengerjap pelan. Jadi maksudnya ia harus berbicara santai? "Lalu aku harus memanggilnya dengan sebutan apa?"
"Tidak papa pak, saya tidak-"
"Ini perintah."
Auris mengangguk lagi. Ia menunduk hormat kemudian keluar dan duduk di meja kerjanya.
Tanpa Auris ketahui, dari dalam Aldrick terus menatapnya. Kaca transparan yang di design khusus agar Aldrick dapat memantau keadaan dari luar, tapi tidak dengan orang dari luar. Mereka tidak dapat melihat apapun.
Di luar, Auris mempelajari berkas dan mulai menyusun jadwal Aldrick. Ia mencatat beberapa hal-hal penting di sticky note dan menempelkannya di meja miliknya.
Telepon di meja Auris berbunyi. Tanpa menunggu lama ia langsung mengangkat telepon tersebut.
"Iya pak?"
"... "
"Baik Pak, saya segera ke sana."
Auris bangkit dan masuk ke ruangan Aldrick. Ia melihat pria itu yang hanya duduk sambil menatapnya.
"Ada apa pak?"
"Pak?"
Seketika Auris gelagapan. "Maaf pak." Auris menutup mulutnya, "Maksudnya om." "Jangan salah lagi plis!"
Tatapan Aldrick seketika berubah tajam. "Saya tidak setua itu Auris."
"Terus aku harus panggil apa? Mas? Kak? atau-"
"Yang pertama."
"Hah?"
Aldrick berdecak. "Kata pertama yang kamu sebutkan. Panggil saya seperti itu."
"Mas?" ulang Auris ragu.
Aldrick mengangguk. "Jika sedang berdua, panggil saya seperti itu." Aldrick berdiri dan menghampiri Auris.
Kini posisi mereka saling berhadapan. Tubuh Auris yang hanya sebatas dagu Aldrick memudahkan pria itu mencium aroma harum dari rambut Auris.
Dalam hati Auris tersenyum. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Auris semakin mendekatkan dirinya ke tubuh Aldrick. Dengan sengaja ia menggambar abstrak di dada pria itu. "Apakah tidak papa aku memanggilmu seperti itu? Aku cuma sekretaris baru mu. Bagaimana jika-,"
Aldrick mengangkat Auris dan mendudukkannya di atas meja kerjanya. Ia mengurung tubuh Auris dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas meja. "Memangnya siapa yang berani melarang?"
Auris tersenyum sambil memainkan dasi Aldrick. "Baiklah, sesuai permintaan mu boss." Auris menyingkirkan tangan Aldrick. Ia menatap Aldrick sambil melipat tangannya di dada. "Jadi, ada apa mas memanggilku?"
Aldrick bersandar pada meja kerjanya. Memasukkan tangannya di kedua saku celananya. "Buatkan mas kopi, tapi ingat jangan terlalu manis."
"Oke," singkat Auris kemudian pergi dari sana meninggalkan Aldrick yang tersenyum menatap punggung Auris.
"Cukup berani," gumam Aldrick terkekeh kecil mengingat bagaimana Auris dengan berani menyentuh dadanya.
Sepeninggal Auris pergi, pintu ruangan Aldrick kembali terbuka dan menampilkan Gracella. Gadis itu masuk kemudian duduk di sofa yang ada di sana. "Papa, dimana Auris?"
"Di pantry," jawab Aldrick singkat.
Gracella berohria mendengar jawaban papanya. "Oh ya papa, nanti malam keluarga Reynold akan datang ke kediaman Dirgantara."
Aldrick menghentikan kegiatannya, "Kediaman Auris?" Gracella mengangguk. "Untuk apa?"
"Malam ini Adalah malam dimana Auris akan membatalkan pertunangannya dengan Reynold," jelas Gracella.
"Tunangan?"
Gracella mengangguk, "Iya, Auris dan reynold sudah bertunangan sejak 1 tahun yang lalu. Tapi Reynold tidak mencintai Auris, dia malah menyukai sepupu Auris yang bernama Caramel. Perempuan caper, tidak tahu malu, playing victim, sok polos! Cih! Aku benci sekali padanya. Papa tahu?"
Aldrick menggeleng.
"Gara-gara Caramel, Auris sering disiksa sama papa dan kakak-kakaknya sendiri. Di tampar, di kurung di gudang, bahkan tidak di beri makan hanya karena Caramel menangis. Padahal itu bukan salah Auris," jelas Gracella panjang lebar. Ia seketika emosi jika mengingat wajah Caramel. "Ngomong-ngomong kenapa auris lama sekali papa, ini sudah hampir 15 menit." Gracella melihat jam tangannya, "Membuat kopi tak selama ini kan?"
Keduanya saling bertatapan kemudian beranjak dari tempat masing-masing menuju pantry. Aldrick berjalan tergesa-gesa menuju pantry. Keduanya terbelalak melihat orang yang mereka cari dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Auris!"
Tampilan Auris sangat berantakan. pakaiannya yang basah terkena tumpahan kopi, pipinya yang terlihat memerah, dan sepatunya yang sudah terlepas.
Tanpa berlama-lama Aldrick segera menggendong Auris. "Hubungi dokter Grace!"
*****
Saat Caramel sibuk mencoba beberapa pakaian di kamarnya. Sejak pagi ia sibuk mempercantik tubuhnya untuk acara nanti malam.
"Bagaimana mama?"
Sofia tersenyum lembut, "Sangat cantik sayang. Mama yakin Reynold akan terpesona denganmu."
Caramel tersenyum, "Pokoknya malam ini pertunangan mereka harus batal ma. Reynold harus menjadi milikku."
"Tentu sayang. Lagipula dari dulu Reynold memang hanya menyukaimu." Perkataan Sofia sukses membuat Caramel tersenyum malu. "Oh ya sayang, tadi malam kamu kemana? Mama sempat ke kamarmu tapi kamu tidak ada di kamar."
"Aa.. itu. Aku pergi ke rumah Naina Ma, iya aku pergi ke sana."
Kening Sofia mengerut, "Untuk apa malam-malam ke sana Car? Bahkan kamu tidak memberitahu mama atau yang lain. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan mu?"
Caramel tersenyum, "Mama tidak usah khawatir. Lagipula sekarang aku sudah di sini. Aku tidak papa ma."
"Tetap saja Car, mama khawatir. Seorang perempuan juga tidak baik keluar malam-malam seperti itu. Orang-orang akan mengira kamu perempuan tidak benar sayang."
Wajah Caramel berubah drastis, "Mama menuduhku melakukan hal tidak senonoh seperti itu?" bentaknya pada Sofia.
"Tidak sayang, bukan seperti maksud mama." Sofia meraih tangan Caramel. "Mama tidak menuduhmu sayang, jangan marah oke."
Caramel diam menatap Sofia. "A-aku minta maaf ma. Aku tidak bermaksud membentak mama, aku-," ucapan Caramel terhenti saat Sofia memeluknya. Wanita itu mengusap lembut kepala Caramel.
"Tidak papa sayang."
"Untung mama percaya, syukurlah."
*****
Sore hari pun tiba. Matahari yang tadinya tanpa malu menunjukkan keberadaannya perlahan mulai menghilang. Tapi seorang gadis cantik masih saja betah menutup mata cantiknya.
Perlahan-lahan mata cantik itu terbuka. Matanya melirik sekeliling tempat yang sekarang terlihat sangat asing.
Auris menatap sekelilingnya bingung. "Ini kamar siapa? Kamarku tidak seperti ini." Sadar akan sesuatu, Auris langsung memeriksa tubuhnya. Ia terkejut karena pakaiannya sudah berganti menjadi sebuah dress berwarna baby blue.
Auris perlahan-lahan beranjak dari kasur menuju pintu. Tepat saat ia memegang knop pintu, pintu itu terbuka dan menampilkan Aldrick yang datang sambil menenteng jas nya.
"Mau kemana?"
Auris diam menatap Aldrick. "Aku mau-" belum sempat menyelesaikan ucapannya Aldrick lebih dulu menggendong Auris dan mendudukan gadis itu di pinggir kasur.
"Apa yang sakit?"
Auris menggeleng, "Tidak ada. Hanya kepala ku yang terasa sedikit pusing. Mungkin karena terbentur meja tadi."
"Siapa yang melakukannya?" Aldrick berjongkok di hadapan Auris. Ia meletakkan kaki Auris di atas pahanya dan membersihkannya dengan tisu, lalu memakaikan kembali sepatu milik Auris.
"Beberapa karyawan perempuan. Mereka mendatangiku dan tiba-tiba menamparku," jawab Auris.
"Lalu?"
"Mereka menumpahkan kopi milik mas ke pakaianku lalu mendorongku hingga kepala ku terbentur ke meja," jelas Auris. "Aku bisa pulang kan? Malam ini ada hal penting yang harus aku selesaikan."
Aldrick mengangguk, "Mas akan mengantarmu pulang."
"Jangan, aku bisa pulang sendiri," cegah Auris. "Mas tidak perlu mengantarku." Auris berdiri dari duduknya. Tapi dengan cepat Aldrick menggenggam tangan Auris. Ia memakaikan jasnya ke tubuh Auris.
"Cuaca dingin," singkat Aldrick kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Auris yang tersenyum.
"Sedikit demi sedikit aku akan membuat mas Aldrick sepenuhnya menjadi milikku. Tidak sia-sia aku pura-pura lemah tadi" gumam Auris lalu mengikuti langkah Aldrick. Katakan saja Auris gila karena menyukai papa temannya sendiri. Ia bahkan rela di tampar dan di dorong saat di pantry tadi. Tapi demi keselamatan hidupnya dan dukungan melawan keluarganya, Auris akan melakukan apapun itu.
*****
Terimakasih sudah membaca>