Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Sampailah mereka di tempat penjual martabak. “Kamu mau yang mana An?” tanya Angga.
“Kamu yang mana?” Ana justru balik bertanya.
“Aku, sih ikut kamu aja,” jawab Angga.
“Lho, maksudnya seporsi bagi dua?” tanya Ana dengan alis yang berkerut.
“Emang, kamu bisa habisin semua?” jawab Angga dengan pertanyaan.
“Bisalah! Kenapa? Nggak boleh?” tanya Ana ketus.
Angga terkekeh, ia tahu Ana suka sekali dengan martabak dan bisa menghabiskan satu porsi seorang diri. “Boleh, mau dua porsi juga boleh. Ya udah, aku mau martabak telor aja.” Angga senang menggoda Ana.
“Bener, aku beli dua, ya? Tapi mau beda rasa." Ana menatap Angga dengan mata berbinar berharap Angga mengiyakan.
“Sok, beli aja. Aku tunggu di sana.” Angga tentu tidak akan menolak apalagi di beri tatapan seperti itu. Ia lalu pergi ke tempat duduk yang kosong. Ana pergi memesan martabak dengan empat jenis rasa berbeda, untuknya dua porsi, untuk Angga satu dan pesanan ayahnya satu. Setelah memesan Ana duduk di samping Angga.
“Untung belum begitu ramai, jadi bisa langsung dibikinin abangnya. Kita nggak perlu nunggu lama,” ucap Ana seraya duduk di samping Angga.
“Iya, kalau lama nanti Bunda marah.”
“Ga, ada angin apa, nih? Tiba-tiba pengen beliin martabak. Dapat lotre, lo?” tanya Ana.
“Lotre apa, sih? Gue lagi jenuh aja di rumah pengen keluar ama lo.” Angga terkekeh.
“Oh, ada apa? Pasti ada yang mau lo omongin, ya?” Ana kenal betul sifat Angga, ia tahu Angga sedang banyak pikiran.
Angga terlihat sedang ragu, mulutnya sudah terbuka ingin bicara, tetapi diurungkannya. Ia merasa belum saatnya Ana tahu. “Ngomong apa? Gue cuma pengen jajanin lo aja.” Angga berkilah.
“Oke, kalau lo belum mau ngomong nggak apa-apa, gue nggak maksa. Ingat aja, kalau lo butuh gue, gue siap anytime.” Ana tersenyum hangat pada Angga. Ia tahu kadang memang berat untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi pada orang lain.
“Eh iya, pesenan Ayah udah belum?” tanya Angga mengalihkan pembicaraan.
“Udah,” jawab Ana.
"Eh, iya. Gue lupa, tadi kan Ayah kasih uang buat beli martabak. Duit lo selamat Ga!" Ana menepuk dahinya sendiri.
"Duit dari Ayah, lo simpan aja. Buat beli pulsa. Gue kan emang udah niat mau traktir lo."
"Benaran, Ga?" tanya Ana memastikan.
"Iya!" jawab Angga tegas.
"Ah, Angga baik banget, deh! Makasih Angga, my bestie!" Ana berteriak kegirangan, ia lalu memeluk Angga sebentar.
Angga terkekeh, melihat respon Ana. Suasana menjadi hening. Terdengar bisik-bisik dari belakang mereka, “Lucu, ya. Bajunya couple, cocok! Cowoknya ganteng, ceweknya juga cantik.”
Ana dan Angga melirik baju masing-masing, benar, hoodie yang mereka pakai sama hanya beda warna. Ana ingat ia beli ini memang bersama Angga. Waktu itu ada diskon beli dua harganya dipotong 50%. Ana tak sadar jika mereka memakai baju yang sama.
Angga dan Ana saling tatap lalu mereka tertawa.
“Masa kita dibilang couple, kalau bajunya sih iya, tapi kita kan bukan pasangan,” ucap Angga.
“Mereka nggak tahu aja kalau kita sahabatan.” Ana menambahkan sambil tertawa.
“Kenapa, ya? Banyak yang salah paham dengan kita? Di sekolah aja, banyak yang mikir kita pacaran,” ucap Ana.
“Ya, mungkin memang menurut mereka nggak ada namanya persahabatan yang murni antara lelaki dan perempuan, salah satunya pasti akan jatuh cinta atau bisa aja keduanya diam-diam jatuh cinta,” jawab Angga.
Ana tersenyum miring pada Angga. “Kalau lo, diam-diam jatuh cinta nggak ama gue?” tanya Ana dengan wajah tengilnya.
“Enggak lah! Ngebayangin aja nggak pernah. Aneh nggak, sih, kalau kita saling jatuh cinta? Geli aja, gitu!” Angga langsung menyanggahnya.
“Iya, sih. Gue udah pernah lihat lo naked, gue udah tahu lo luar dalam, nggak mungkin gue jatuh cinta ama lo!” Ana lalu tertawa begitu juga dengan Angga.
Mereka bersahabat sejak kecil sebelum sekolah TK, pernah dimandikan bareng sama mamanya Angga. Sering tidur satu kamar kalau mereka dititipkan waktu SD. Jadi mereka menganggap seperti saudara.
Pesanan mereka akhirnya jadi, Angga membayar martabak yang dibeli tersebut lalu pulang. Angga melirik Ana yang berjalan bersisian dengannya. Ia merekam wajah manis yang selalu membuat harinya bahagia. Ia akan selalu ingat cerianya seorang Ana, meskipun mereka berjauhan nanti.
“Kenapa lihatin terus, ih?” Ana yang merasa diperhatikan menjadi salah tingkah.
Angga tersenyum, “Nggak, gue cuma lagi mikir, cowok sial mana yang nanti jadi pacar lo? Kasihan banget,” ucapnya menggoda Ana.
“Sembarangan! Cowok gue nanti itu bakal jadi cowok paling bahagia karena gue bakal melimpahkan cinta dan kasih sayang seratus persen. Pokoknya dia bakal merasa beruntung karena jadiin gue pacarnya!” ucap Ana menggebu-gebu. Ia tidak terima karena dibilang pacarnya itu akan sial bersamanya.
“Iya, iya, dia bakal jadi cowok paling beruntung dan bahagia, tapi An, ingat ya, jangan beri hati lo seratus persen karena jika dia pergi meninggalkan lo, maka lo yang akan terluka karena tidak ada cinta yang tersisa. Cukup sewajarnya aja, kecuali suami lo, cintai dia sepenuh hati.” Ada kesedihan di dalamnya karena ia tidak akan terus bersama Ana.
Ana mengernyit, “Sejak kapan, lo jadi bijak gini? Tenang aja Angga Teguh, bagi gue cinta itu nggak penting. Yang penting gue harus bisa kuliah dan mewujudkan cita-cita gue!” Ana mengepalkan tangannya ke udara.
“Pintar, gue yakin lo bisa wujudin semua mimpi, lo. Gue akan selalu dukung lo di mana pun berada.” Angga menepuk puncak kepala Ana. Gadis itu tidak menyadari kejanggalan di balik kata-kata Angga.
Mereka akhirnya sampai di rumah Ana. “Nih, martabaknya, yang ini kasih sama Ayah. Terima kasih, udah temenin gue ngobrol.” Angga memberikan kantong plastik berisi pesanan Ana.
“Justru gue yang harus terima kasih, udah dibeliin martabak banyak banget, makasih ya, Angga. Jangan kapok traktir gue. Eh ini buat Mama aja.” Ana menerima kantong plastik itu, tetapi ia ingin mengambil satu dus martabak untuk mamanya Angga.
“Nggak usah, ini aja udah cukup. Mama sukanya martabak telur. Udah masuk, gih! Udah malam, jangan lupa kerjain PR!” Angga menolak. Ia mendorong tubuh Ana agar masuk ke pekarangan rumahnya.
“Eh, iya. PR gue. Katanya lo mau bantuin?” Ana berbalik menatap Angga.
“Iya, gue bantuin, nanti video call aja.” Angga kembali membalikkan badan Ana. Ia mendorong bahu Ana hingga melewati pagar.
“Ya udah, bye!” Ana menoleh sekilas lalu melambaikan tangan. Ia kemudian berjalan menuju pintu tanpa menoleh lagi.
Angga membalas lambaian tangan Ana. Ia lalu melangkah menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, ia disambut oleh kedua orang tuanya yang duduk di ruang keluarga, sengaja menunggu Angga sambil menonton TV. Untung saja Angga membeli martabak telur tadi. Ia bisa menikmatinya bersama mereka.
Angga duduk di depan orang tuanya. “Gimana, udah ngomong sama Ana?” tanya Rita.
Angga menghela napas. “Kayaknya belum,” ucap Samuel, papa Angga.
“Aku bingung gimana ngomongnya Ma, Pa?”
“Papa tahu pasti berat buat kamu, kalian selalu bersama, tiba-tiba kalian akan berpisah dan dalam waktu yang lama. Saran Papa kamu lebih baik ngomong secepatnya, jangan sampai Ana tahu dari orang lain atau Ana pasti akan kecewa sama kamu. Jangan sampai kamu menyesal.” Samuel menasihati Angga.
“Tapi, aku nggak tega. Dia pasti akan sedih.”
“Mama tahu, mungkin awalnya sulit bagi Ana menerima, tapi dia pasti akan sadar kalau itu yang terbaik buat kamu dia pasti juga akan bahagia dan mendukungmu. Ana bukan orang yang egois, dia menyayangimu seperti kakaknya sendiri. Yakin sama Mama, Ana pasti akan baik-baik aja. Jika dia sedih, dia hanya butuh waktu untuk menerima semuanya.” Rita juga menasihati Angga.
“Apa perlu Papa yang bilang?” tanya Samuel.
“Jangan! Biar Angga aja, tapi bukan sekarang, nanti aja kalau abis ujian. Biar Ana bisa konsentrasi belajar.” Angga langsung melarang, ia tidak ingin Ana mendengarnya dari orang lain.
“Iya, terserah kamu aja,” ucap Samuel.
“Papa sama Mama juga jangan ngomong masalah ini sama Ayah dan Bunda.”
“Iya. Kami usahakan tutup mulut,” ucap Rita.
“Aku ke atas dulu. Mau ngerjain PR sama Ana.” Angga berlalu. Ia pergi ke kamarnya di lantai dua.